Cooldown(2)

167 26 12
                                    

Satu hal yang mereka bisa lakukan sekarang, bersiap!

Nando gerak cepat dengan mengambil sebuah ransel sitaan dan mengisinya dengan berbagai macam barang yang dirasa perlu. Ia merasa jika semua barang itu akan dibutuhkan nanti, entah kapan, ragu apakah ia selamat setelah ini atau tidak.

Bel kembali berbunyi dan pastinya tak ada satupun dari mereka yang menekan tombolnya. Jangan tanya degub jantung mereka saat ini, kacau.

Pintu depan terbuka sendirinya, sedangkan pintu belakang tempat mereka masuk tertutup. Berbunyi tiba-tiba membuat semakin kacaunya degub jantung individu itu.

"Bagaimana?" Fikri memecah kebingungan dengan kebingungan. "Keluar?"

"Apa kita gak bisa sembunyi disini? Biarkan orang lain yang menyelesaikan permainan ini," Risa mengeratkan genggamannya pada Zikri.

Tepat setelah Risa berkata seperti itu, tanah kembali bergetar. Gedung itu kokoh terhadap getaran, namun pelatihan mitigasi bencana membuat mereka refleks berlari keluar.

Beni melihat, hampir semua orang yang bersembunyi dalam gedung, berlari ke luar dan menjauhi gedung. Lio berjalan dengan tertatih karena Nando yang membantunya sudah berlari keluar lebih dulu.

"Aiiish! Ada yang ketinggalan," Nando berbalik ke arah Lio. "Hadeh, ngerepotin aja."

"Siapa yang lo bilang ngerepotin?" sinis Lio.

"Lo."

"Gak iklas?"

"Gak."

"Ngapain mau?" Lio menghempaskan tangan Nando.

"Mau aja."

"Kepaksa gak?"

"Gak."

"Itu iklas namanya tai!"

"Gak."

"Ada jawaban selain enggak, gak?" ucap Lio kesal.

"Gak."

"Homo anjim, sempet-sempetnya mesra-mesraan disituasi gini," sorak Beni dari pinggir lapangan, berdiri dengan kuda-kuda agar tidak ikut dengan ayunan tanah. Aneh.

Nando mengacungkan jari tengahnya. Sedikit susah membantu Lio berjalan dengan telanjang dada serta punggung yang masih penuh luka menganga.

Dari arah kanan, Dian, Verga, Indah dan Frada mendekati mereka. Sedikit berlari walau kadang kacau gegara guncangan itu. Gempa sedikit mereda saat Dian sudah sampai di pinggir lapangan.

Sempat ada perdebatan Dian dan Daren saat mereka bertemu, namun gempa yang tadinya mereda, kembali berguncang dengan skala yang besar-sekitar 7,3-7,5 SR-dalam sekali hentakan. Keseimbangan mereka hilang, lalu tumbang ke tanah.

Tanah berguguran tepat di tengah lapangan, memunculkan sebuah lubang yang besar. Tampak seperti cekungan dengan kedalaman titik tengah sedalam 2 meter.

"Apa itu permainan selanjutnya?" gumam Lio.

Hening. Mereka belum siap mental untuk melanjutkannya. Tubuh mereka kaku, bahkan sekedar untuk menelan ludah saja terlalu susah.

MAMATRAWhere stories live. Discover now