[1]Kamu Siapa?

372 52 8
                                    

Fikri bangun dari tidurnya. Suara bising murid lain mengganggu tidurnya yang mau tak mau ia harus menekan rasa pusing vertigonya. Fikri tahu kalau situasi sekolahnya sedang tak aman, tapi ia tak bisa apa-apa jika vertigonya sudah kumat.

Fikri memijat pelipisnya. Nando, yang kebetulan teman sekelas Fikri seakan paham situasi Fikri.

"Masih pusing? Mau gue bantuin?" tawar Nando.

Fikri mengangguk ragu. Nando bukan pertama kali melihat Fikri seperti ini. Bahkan saat di kelas, Fikri sering headstand dengan bantuan dinding untuk mengurangi rasa pusingnya.

Nando mengangkat kaki Fikri perlahan dan membuatnya tegak lurus dengan kepala Fikri. Nando setia memegang kaki Fikri sampai lima menit kemudian. Cukuplah untuk mengurangi rasa pusingnya.

"Lo gak mau coba dulu?" tanya Nando lagi setelah Fikri duduk sempurna.

"Apaan?"

"Itu ... bambu panjang itu," tunjuk Nando pada bambu yang dipegang oleh salah seorang siswa.

Fikri merapihkan rambutnya. "Gak perlu. Gue pernah maininnya waktu kecil."

"Bisa ajarin gue gak?"

"Mainan sesimpel itu gak perlu diajarin. Sistemnya hampir sama kek pistol, tapi pelurunya diisi manual."

Nando mengutak-atik pletokan itu, seperti halnya murid lainnya yang penasaran. Nando membuka kantong kecil yang bertumpuk disamping pletokan itu. Disana terdapat banyak benda silinder seperti peluru hanya saja ukurannya lebih kecil dan lebih pendek. Benda silinder itu Nando masukkan ke dalam pletokan seperti penjelasan Lio tadi.

Nando mengarahkan pletokan itu ke salah satu pot di pinggir jalan. Ia mencari tempat yang jauh dari keramaian agar lebih aman.

"Pluk."

"Pluk."

Nando bingung kenapa suaranya ada dua kali. Apakah kedua buah benda silinder yang ia masukkan itu keluar secara bersamaan? Dua detik kemudian, Nando hanya melihat satu ledakan di pot itu, namun terdengar ledakan lain di tempat berbeda.

"Kyaaa!!" seorang gadis refleks melepaskan pletokan yang ada di tangannya.

Gadis itu terduduk lalu menyeret tubuhnya menjauh dari posisi awalnya. Tubuhnya bergetar hebat dan air mata mulai membasahi pipinya. Gadis itu menekuk kakinya dan kepalanya ia selipkan di lututnya.

"Nggak ... nggak ... bukan," dia meracau tak jelas.

Perhatian murid lain tersita dengan kedua ledakan itu. Ledakan kedua membuat mereka menoleh setelah melihat ledakan pertama. Seorang siswi yang duduk beberapa meter dari robohan gedung hall meledak karena terkena peluru gadis itu. Murid lain kembali menoleh acuh dan sibuk dengan benda yang ada di tangan mereka.

"Sa ..., it's okay," ucap Zikri menepuk bahu gadis yang bernama Risa itu.

Risa menatap Zikri dengan mata yang basah. "Ta ... tapi ba ... barusan aku bunuh orang."

"Gak apa-apa Sa."

"Ta-tapi-,"

"Apa yang kamu cemasin Sa? Kamu takut kamu bakal dibunuh juga? Semua orang disini juga takut Sa."

"Kalau ada yang nggak terima aku bunuh dia gimana?" suara Risa bergetar. "Aku bakal dibunuh juga."

"Sa ..., kamu lihat? Gak ada yang peduli," Zikri berdiri lalu mengulurkan tangannya, membantu Risa berdiri.

Risa menggenggam erat tangan Zikri yang memang lebih tua darinya. Suasana kembali hening, namun tak bertahan lama. Ledakan kembali terjadi, namun targetnya sekarang adalah pohon di taman jalan menuju gerbang.

MAMATRAOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz