Dia Yang Tak Pernah Mencoba Hidup Selayaknya

4.5K 467 14
                                    

Perempuan itu berdiri di balik punggung dua perempuan lain yang mengantre di meja transaksi. Bunyi-bunyian indikator pengecek barang terdengar saling menyahut dengan derit pintu minimarket yang ditarik dan didorong ketika dilalui orang.

Lengan kurusnya memeluk sebuah benda yang teksturnya empuk. Bukan bantal, bukan pula sejenis makanan kenyal yang harus dilumat berkali-kali agar tertelan. Hanya sebuah barang khusus milik perempuan. Dan kali ini ia benar-benar membutuhkan.

Matanya yang seperti dibuat sayu itu memerhatikan tiap-tiap orang yang ada di sana. Lelaki berseragam yang mengurung diri di bilik sempit dengan bibir seolah disetel untuk mengembang seharian, dua perempuan bergincu koral yang nyaris mengangkut seisi tempat kalau-kalau keranjangnya muat, dan bayi lima tahun yang merangkak menuju rak selai kacang. Entah di mana pengawal bayi itu, ia tak tahu.

"Ini saja, Mbak?"

Suara serak milik lelaki berseragam membuatnya terjaga. Perempuan itu mengangguk. Ketika sang lelaki menyebut nominal barang, tangan si perempuan beringsut merogoh saku jaket. Mencari lembaran yang kiranya bisa ditukar.

"Mas punya toilet?" tanyanya pada si lelaki yang baru saja mengembalikan logam-logam uang padanya.

Lelaki itu menoleh ke kanan. Seperti memastikan sesuatu. "Toilet kami sedang tidak ada air."

"Aku tidak perlu air."

Perempuan itu membuka bungkus luar benda yang baru saja resmi jadi kepunyaannya, "Aku hanya ingin memasang ini."

"Di seberang jalan ada pom bensin, Mbak bisa menemukan toilet di sana." Lelaki itu berujar sembari tersenyum kilat. Menelisik penampilan perempuan di depannya, sudah terbayang sekotor apa ia. Orang macam perempuan ini pasti akan meninggalkan banyak kotoran seperti para gelandang yang pernah ia biarkan masuk. Dan daripada berujung membereskan sisa-sisa mereka, lebih baik dia menutup rapat aksesnya.

Di sisi lain, perempuan itu tampak terusik oleh perkataan si lelaki. Dia tersenyum miring, lalu merobek bungkus benda itu sampai habis berikut kertas-kertas yang menutupi perekatnya.

Setelah itu ia mundur. Tidak jauh, hanya selangkah. Tanpa memedulikan tatapan bingung sang lelaki atau orang-orang yang hendak mengantre, perempuan itu mengendurkan ikat pinggang roknya.

Ia melakukan itu tanpa ragu seseorang akan berteriak mencegah. Walau pandangannya masih tak lepas dari bola mata si lelaki berseragam, namun tangannya tetap aktif memisahkan mata kancing rok dari lubangnya.

Dia si perempuan itu.

Perempuan malang yang baru tiba sejam lalu. Turun di pinggir jalan tanpa punya satupun tujuan selain minimarket yang memberinya alat penampung cairan yang biasa ia keluarkan setiap bulan. Lain daripada itu, ia tak tahu hendak ke mana kakinya memutuskan.

Ia berdiri di sana. Di depan minimarket kecil yang berseberangan dengan tempat pengisian bahan bakar. Setelah lelaki pegawai berakhir menyuruhnya ke toilet sebab nyaris melakukan sesuatu yang konyol di depan meja kasir, perempuan itu pun melenggang keluar.

Pada dasarnya dia memiliki wajah cantik. Hanya jaket lusuh dan rambut acak-acakan yang membuat dia tampak kumal. Seperti biasa pula, dia tak pernah peduli bagaimana rupanya dilihat orang-orang. Yang dia pikirkan hanya cara memulai hidup baru sekarang.

Perempuan berambut ikal itu bahkan tak tahu menahu tentang tempat yang kakinya pijaki. Yang dia tahu, untuk sampai ke sini, butuh waktu sehari semalam menumpang bus dari tempat lamanya berada.

Berbekal lembaran uang yang ia simpan rapat di saku jaketnya, perempuan itu teguh untuk menemukan kehidupan yang membuatnya lebih hidup di sini. Bahkan ia sudah berencana menukar namanya dengan nama baru yang ia suka. Sisanya, dia hanya perlu melihat alam raya bekerja.

Baginya, hidup memang harus seperti itu. Mengikuti ke mana garisnya bergerak menjauh. Ia tak pernah kenal apa itu rencana. Rencana hanya milik orang-orang yang menggantungkan harapan pada semesta. Rencana adalah sesuatu yang fana. Memikirkan sesuatu yang belum terjadi di saat kita sendiri tak bisa memastikan ada di sana sama seperti membohongi diri atas hal-hal yang tidak terjadi padahal nyatanya terjadi.

Entah masalah apa yang kiranya akan ia buat di tempat ini. Setidaknya, dia mencoba hidup tanpa melibatkan orang lain. Dia tidak lagi mengikutsertakan orang-orang yang memiliki peran di hidupnya. Bukan berarti mereka dilupakan, dia hanya merasa lebih baik jika saling berjauhan.

Perempuan itu mengangkat kakinya menyusuri jalanan kota yang mendung. Puluhan meter setelahnya, ia mampir ke pasar induk yang pedagangnya sedang mengemasi jualan mereka. Ia menengadah pada cakrawala. Awan-awan tebal itu sepertinya serius akan memuntahkan muatan mereka.

Ia duduk di salah satu lorong. Tepat di lorong toko mas yang pintu besi lipatnya sudah terkunci rapat. Gembok-gembok besar bergelayut. Kamera pengintai seolah menyapa dari langit-langit.

Kakinya diselonjorkan dengan kepala yang bersandar pada dinding yang catnya mulai mengelupas. Perlahan mata perempuan itu memejam seiring jatuhnya air dari langit. Ia mengencangkan jaket. Menekuk kaki.

Beberapa jam tertidur, perempuan itu terbangun untuk mengganti posisi. Tak lama, seorang lelaki lewat di depannya dan duduk di dipan tempat para penjual bawang. Awalnya ia tak berpikir apa-apa. Namun gerak-gerik lelaki itu ternyata cukup mampu menarik ekor matanya berbelok memerhatikan.

Lelaki itu sama sekali tak melihatnya. Dia duduk membelakangi. Dipandanginya lelaki itu tanpa ekspresi. Sama sepertinya, lelaki itu hanya duduk, menekuk kaki dan bersandar. Bedanya, ia ditemani beberapa botol minuman di sebelah pahanya.

Ia terus mengamati gerak-gerik si lelaki sampai-sampai melupakan dinginnya sendiri. Ia tahu sesuatu yang jahat sedang bergumul di kepala lelaki itu. Terlihat dari bagaimana dia menilik berkali-kali botol kecil di tangannya.

Memang sudah seperti kebiasaannya yang suka ikut campur urusan orang, perempuan itu beranjak untuk menghampiri. Entahlah ini akan jadi masalah pertamanya di tempat yang baru. Yang jelas, setan di kepala lelaki itu harus dilenyapkan lebih dulu.

>>

LuruhWhere stories live. Discover now