Hidup Untuk Yang Sekarang

530 103 5
                                    

Penjara?

Sasi mengulang-ulang kata itu di kepalanya seolah penjara adalah kosakata baru yang ia pelajari. Arion pernah hidup di penjara? Apa sebabnya? Apa yang dia lakukan? Apa benar dia merampok? Berapa lama lelaki itu dipenjara? Bersama siapa? Apa dia betah? Kapan dia keluar? Pertanyaan-pertanyaan itu bercokol di pikiran Sasi layaknya virus. Dan meski ia bisa mengeluarkannya, ia memilih tidak. Sasi hanya ingin membiarkan lelaki berambut gondrong itu bercerita, jika ia mau. Dan walau ia ingin sekali tahu, ia tak berniat memaksa. Terlihat dari raut mukanya yang masih saja datar sejak kejadian beberapa saat lalu di toko spare part tersebut.

Ia sedang duduk bersebrangan dengan Arion. Lelaki itu tengah bersandar di tembok kusam rumahnya, dengan pandangan kosong entah ke mana. Tak jauh dari mereka ada lampu semprong yang terpaksa dinyalakan sebab mereka tak tahu kenapa listrik mereka padam.

Suasana malam itu sunyi. Hanya suara katak yang bersaut-sautan mau kawin, dan jangkrik yang memang sudah jadi penghuni tetap rumah itu. Tak ada suara kendaraan lewat, apalagi cengkrama penduduk sekitar. Mungkin faktor sehabis hujan. Orang-orang lebih memilih tidur sambil memeluk seluruh anggota keluarga mereka di rumah.

"Penjara?" Akhirnya Sasi melontarkan kata yang ia yakini sudah saling tindih di sana, di batang otaknya. Sekarang kata itu lebih tampak seperti pertanyaan dibanding kata tunggal saja.

Arion melirik Sasi, tapi tak mengubah posisinya sama sekali. Dalam pandangan lelaki itu, Sasi merasakan sesuatu. Semacam beban, rahasia, dan sesuatu yang tidak bisa ia tebak pakai intuisi.

"Sudah kubilang, kan?" ujar Arion dengan suara berat.

"Penjara?"

"Sudah kubilang apa yang kulakukan percuma." Lelaki itu kembali memandangi kosong yang entah apa.

"Berapa lama?" untuk saat ini Sasi hanya peduli pada rasa penasarannya perihal kehidupan Arion sebelum bertemu dia.

Lelaki itu tak menjawab, lebih kepada malas. Ia malas menjelaskan pada Sasi yang mungkin saja akan mencecarinya dengan berbagai kata-kata menyudutkan seolah gadis itu paling tahu ke mana hidupnya akan berakhir. Lantas ia memilih abai. Membiarkan gadis itu bergumul dengan rasa ingin tahunya sendiri.

"Tak usah dijawab. Kupikir jawabannya sama persis dengan yang kupikirkan," lirih Sasi pasrah. Ia kemudian mengambil posisi berbaring membelakangi Arion. Namun matanya masih menunggu jawaban lelaki itu.

Hening.

Sasi menerawang jauh ke masa lalu. Bukan masa lalu Arion, tapi masa lalu yang pernah ia alami dulu. Lalu sedetik setelahnya berujar. "Kau tahu? Dulu aku pernah menghilangkan sapi-sapi ternak milik Pak Broto, kepala desaku. Ayahku yang bekerja mengurusi sapinya. Lalu suatu hari, ayah menyuruhku membawa mereka ke padang rumput. Karena saat itu aku masih terlalu cuek untuk mengerti tanggung jawab, jadi kutinggalkan mereka. Ah, sapi-sapi itu pasti tak akan ke mana-mana sebab di lapangan itu banyak sekali rumput, pikirku."

Arion tak merespon. Sasi juga tak bisa lihat ekspresi lelaki itu karena posisinya yang memunggungi. Tapi ia tak peduli. Ia hanya mau bercerita. Tak urus jika Arion malah sudah lelap di belakangnya.

"Tapi saat aku kembali, sapi-sapi itu sudah tidak ada lagi. Lalu aku menganggap mereka masih ada di sekitaran sana. Kucari-cari mereka sampai gelap, tapi tak kunjung dapat. Mereka hilang. Sapi-sapi itu hilang. Dan ayahku mau dilaporkan ke polisi oleh Pak Broto. Lalu aku meminta kemurahan hatinya untuk membiarkan kami mengganti rugi. Ayah langsung pergi meminjam uang. Dan uang-uang itu berhasil ia bawa pulang. Tapi ayah lupa, yang ia pinjam itu adalah uang panas. Uang rentenir."

Dengan getir Sasi menceritakan masa lalunya yang nyaris membuat ayahnya celaka. Ia jadi sedikit rindu dengan sosok laki-laki yang membesarkannya itu. Tapi cepat-cepat ia menghapus perasaan tersebut. Baginya keputusan pergi menjauh seperti sekarang ini sudah yang terbaik.

LuruhWhere stories live. Discover now