Sembunyi Di sini

2.3K 319 30
                                    

Anneke Janessa adalah nama lahirnya. Memikul tugas ke bumi sejak kesepakatannya soal hidup dan mati ia setujui dengan Tuhan. Bukan tergolong anak pesohor atau saudagar. Dua orang yang darah dagingnya mengalir di tubuh perempuan itu hanyalah petani miskin di sudut terpencil kota.

Tumbuh besar pada lingkungan yang saling berlomba untuk bertahan hidup membuat kepribadiannya jauh dari kata normal. Alih-alih menjadi perempuan yang rela mengorbankan apa saja, dia justru lebih terlatih untuk mendapatkan sesuatu hanya dengan taktik-taktik sederhana.

Entah bagaimana kepalanya bekerja memproses apa-apa yang akan dia lakukan. Yang jelas, perempuan itu bersikap seolah dunia akan selalu ramah dalam genggamannya.

Beberapa jam yang lalu ia tiba di kota ini. Kota dengan penghuni dua kali lipat lebih sesak dari kota lama yang ia tinggali. Namanya pun berubah menjadi Sasi. Tak ada alasan pasti mengapa ia mengubah nama. Ia hanya ingin hidup seperti baru dilahirkan. Melupakan masalah yang ia cipta dan membiarkan orang-orang menanggung getahnya.

"Jadi ini katamu?" tanyanya pada laki-laki yang menuntun ia sampai ke sini.

Lelaki itu menggumam. Mengiyakan jawaban meski faktanya tak ada kata yang ia keluarkan. Ia merogoh saku celana, mencari kunci di antara uang-uang logam yang senantiasa menghuni kantongnya. Lalu ia mendekat pada daun pintu. Membuka lebar-lebar seperti memamerkan apa saja yang ada di dalam tempat itu.

Lelaki itu namanya Arion Reagan. Baru dua bulan lalu menginjak usia dua puluh delapan tahun. Tapi tak ada yang menarik di umurnya yang sekarang, pun di umur-umur sebelum ia semakin berubah jadi manusia pecundang. Ia hanyalah si pembangkang yang terseok-seok digerus kejamnya kehidupan.

"Masuklah!"

Arion menyilakan perempuan itu memasuki tempat yang bahkan ia sendiri lupa kapan terakhir ada tamu di rumah kontraknya. Tanpa ia duga, perempuan itu langsung melangkah mendahului posisinya di ambang pintu.

Tak ada satupun yang membuat Sasi tertarik dari rumah itu. Kasur tebal ditumpuk sembarangan. Langit-langit penuh bercak cokelat tanda air hujan pernah lolos dari genteng. Lemari dengan debu yang bisa ditulisi. Tali rafia melintang melewati kepala bersama baju-baju yang dijemur. Serta botol-botol minuman dan abu rokok yang teronggok di sudut ruangan.

"Kau tahu? Aku punya kandang babi yang lebih bagus dari tempat ini!" Sasi berujar dengan nada datar. Mata gadis itu masih menelusuri perkakas rumah yang lebih tampak seperti timbunan rongsokan.

Arion memutar bola mata malas. Ia beralih menutup pintu sambil mengintip rumah cat biru dari jendelanya.

Lalu ia beralih pada Sasi.

"Aku tidak mengajakmu ke sini untuk mengomentari rumahku. Istirahatlah! Masih ada beberapa jam lagi sebelum pagi," titah Arion yang sebenarnya tak dipedulikan gadis itu.

"Sejak kapan kau tinggal di sini?" Bukan Sasi namanya jika ia tak penasaran pada hal-hal yang menurutnya aneh.

"Bukan urusanmu."

"Woah!" Gadis itu berseru tatkala melihat jaring-jaring halus yang menjulur dari bohlam lampu. Ekspresinya takjub.

"Apa kau selalu begitu tiap melihat sarang laba-laba?" decak Arion tak habis pikir. Lelaki itu kini sedang mencari sesuatu dari lemari tinggi di dekat jendela. "Tak pernah melihat yang seperti itu di planet asalmu?"

"Tidak, tidak! Aku hanya tidak menyangka seseorang membiarkannya tergantung di situ!" kata gadis itu bersemangat. "Kau seperti memberinya tempat hidup!"

"Hah?" Arion menutup engsel lemarinya setelah membawa gulungan tikar keluar.

"Kau rela tinggal di rumah yang seperti kandang. Hidup berdampingan dengan para binatang. Kau seperti orang-orang di televisi! Uhmm, apalagi yang ada di tempat ini? Apa aku bisa menemukan sesuatu yang lain?" perkataan yang dilontarkan secara menggebu itu membuat Aulion justru menghela napas.

Ia memilih tak mendengarkan Sasi dan menggelar tikar di tengah-tengah ruangan. Sementara gadis itu mencerocos panjang lebar soal kaitan alam bebas dan rumahnya, Arion menyingkirkan barang-barang ke satu sudut agar tercipta ruang yang lebih luas.

"Kau tahu? Dulu aku pernah bertengkar dengan ayahku! Lalu aku kabur. Tapi saat itu aku sedang mengantuk. Akhirnya aku tidur di kandang kambing pamanku! Kambing-kambing itu berisik! Aku jadi tidak bisa tidur! Aku benci kambing!" Sasi begitu lepas tertawa menceritakan apa yang ia alami saat kecil dulu.

Arion masih menggeser barang-barangnya menjauh. Kalau bukan karena ada satu manusia ikut berbagi oksigen di dalam rumahnya, ia tak akan pernah melakukan ini. Dan kalau bukan karena dia mengincar sesuatu dari perempuan itu, ia pasti sudah mengusirnya tanpa ampun. Terlebih menyumpali mulut gadis itu agar berhenti mengoceh.

Sesaat ia menggeser lemari kayu setinggi dengkul ke sisi kanan, seekor tikus muncul dan berlari ke arah lemari lain. Jika Arion berjingkat kaget, Sasi justru tertawa kegirangan.

"Begini, sejujurnya rumahmu jelek dan bau. Tapi aku suka! Aku suka ada di tempat yang tak seperti kebanyakan tempat lain!" aku Sasi dengan mulut yang bergetar sebab tertawa.

Arion menatap sinis gadis itu, meluapkan kekesalan karena ia telah terang-terangan menghina rumahnya. "Dasar perempuan sinting!"

"Tak perlu repot-repot beberes! Aku akan beradaptasi dengan mudah di sini!"

"Pikirmu aku membereskan ini karena aku ingin kau nyaman?" balas Arion, nyaris tersulut.

"Bukankah begitu?" Sasi tersenyum lebar. Senyum yang dibuat-buat.

"Aku hanya tak ingin merasa sempit di rumahku sendiri dengan adanya kau." tatap tajam milik Arion menghunus kornea si perempuan.

"Huh! Padahal aku hanya makan semangkuk pangsit malam ini!" gumam Sasi sambil mengelus perutnya layaknya perempuan mengandung.

"Sudah! Aku sudah menyiapkan tikar. Terserahmu kalau mau tidur di sini atau menyatu dengan alam seperti anjing di halaman depan!" sentak Arion tak sabar. Lelaki itu kemudian beranjak keluar setelah mengambil kotak sigaretnya di atas meja.

Belum sempat Sasi bertanya mengapa ia disuruh tidur, tubuh tinggi Arion telah lenyap dari hadapannya. Dan bukannya malah beringsut ke atas tikar, ia kembali meneliti apa saja yang ada di rumah itu.

Rumah itu hanya terdiri dari satu ruangan utama yang ukurannya sekitar tiga kali lima meter. Di sisi kiri terdapat lorong kecil menuju ke belakang, ke kamar mandi. Di sebelah kanan dari lorong, ada satu kamar yang kala itu terkunci, sehingga Sasi tidak dapat menjelajahi isinya.

Gadis itu kembali ke ruangan utama. Duduk di atas tikar sambil melakukan peregangan. Ah, dia baru menyadari rasa lelah itu. Ternyata sengaja menghilangkan diri begitu banyak menguras energi. Lebih baik ia tidur, pikirnya. Toh, dia butuh tenaga lebih untuk menghadapi hari esok di tempat asing ini.

Di tempatnya berada, Arion baru saja menyelesaikan hisapan terakhir dari rokok selinting miliknya. Setelah menginjak puntung, ia menoleh ke rumahnya yang kini dimasuki gadis itu.

Matanya menyipit. Senyum sinis tertaut di bibirnya. Arion sudah siap dengan rencana-rencana itu. Ia tahu harus melakukan apa lebih dulu. Ia masuk ke rumah. Ia tak sabar.

Benar saja, Sasi sudah lelap di tikar miliknya. Gadis itu meringkuk miring dengan tangannya sendiri sebagai alas kepala.

Lamat-lamat Arion memerhatikan wajahnya saat tidur. Gadis itu... tampak polos. Bibir mungilnya terkatup sempurna. Mungkin kelelahan mengoceh, batin Arion. Ia perhatikan lagi rambut ikalnya yang menutupi sebagian wajah. Warnanya bagus. Lelaki itu jadi memalingkan pandangan. Takut tiba-tiba menjadi tidak tega.

Sebenarnya ia tak pernah sengaja jahat pada perempuan. Tapi kali ini, ia merasa harus sebab hidupnya lebih penting untuk diutamakan. Ia juga tak kenal siapa perempuan ini. Bisa jadi Sasi sengaja dikirim padanya untuk memberinya sedikit kesenangan.

Gadis itu cantik. Bahkan sedikit lebih manis dari Sukma Puji-nya. Tapi tetap saja, ia hanyalah asing yang kebetulan datang di malam ia nyaris menenggak arsenik. Dan ia tak peduli dengan gadis ini. Ia hanya ingin mengambil sesuatu darinya sebelum kemudian pergi bersenang-senang hingga tiba waktu dia akan kembali merasa dipecundangi lagi oleh dunia.

Esok pagi gadis itu akan terbangun sendiri dalam keadaan bertanya-tanya. Mungkin ditambah sedikit penyesalan sebab terlalu percaya pada laki-laki semacam ia.

>>

LuruhWhere stories live. Discover now