Alasan Untuk Tinggal

2.4K 379 15
                                    

Basah tak lagi lekat di langit. Basah hanya tersisa pada genangan-genangan yang berkelompok di jalanan. Meski hujan sepenuhnya sudah reda, namun dingin masih tinggal di lapisan kulit milik siapa saja.

Tak ada yang peduli pukul berapa malam itu. Dua orang dengan tinggi kepala hampir sejajar berjalan iring di atas trotoar. Si perempuan melangkah di depan, sang lelaki satu meter lebih jauh di belakang. Si perempuan mencari-cari pedagang makanan yang masih butuh uang, sedang si lelaki hanya pasrah mengikuti jalan.

Ke mana para penjajak makanan? Pikir perempuan itu. Dia bahkan belum memasukkan apa pun ke mulutnya sejak tiba di kota ini. Kalau saja dia ingat dia bukan kanibal, mungkin dia akan melahap habis kepala pria di belakangnya.

Ke mana perempuan sinting ini akan membawanya? Tidakkah dia tahu tak ada penjual makanan yang masih buka di tengah malam seperti ini? Si lelaki bergumam. Sejujurnya, dia ingin sekali pergi. Namun, terpikir ia pada omongan si perempuan beberapa saat yang lalu jika perempuan itu memiliki banyak uang hasil curian. Apakah itu betul? Bagaimana jika ia meminjam sedikit uang-uang itu? Atau mungkin mengambil semuanya?

Mereka terus menyusuri pinggiran jalan yang mengarah ke tanah lapang di sebelah kanan. Tanah lapang itu biasa digunakan sebagai tempat pertunjukan musik. Bisa juga diperuntukkan sebagai tempat bermain bola sepak.

Lamat-lamat mata si perempuan memandang cahaya remang di ujung jalan. Ternyata cahaya itu sumbernya dari gerobak mi pangsit. Serta merta korneanya melebar. Ia seperti menemukan oase di bulan.

Perempuan itu menengok ke belakang. Pada si lelaki yang diam-diam memikirkan sesuatu di balik ekspresi biasa sajanya itu. Dan seperti paham yang dimaksud, pandangan lelaki itu langsung merujuk ke gerobak penjajak makanan yang ada di ujung jalan.

Mereka mempercepat langkah, duduk di bangku kayu panjang ketika sampai, lantas memesan dua mangkuk mi pangsit pada laki-laki paruh baya sang empu gerobak. Si perempuan minta tambahan sawi, sementara si lelaki belum juga mengganti raut datarnya sejak tadi. Yang ada di kepalanya adalah, kenapa ia jadi terus-terusan mengikuti perempuan ini?

"Kau tahu kenapa penjual mi pangsit ini masih buka malam begini?" tanya si perempuan ketika makanannya diantar.

"Tidak." jawab lelaki itu acuh. Ia tak sedang ingin berteka-teki ria dengan perempuan aneh di hadapannya.

"Karena dia tahu kita akan datang!" balas perempuan itu sambil berjingkrak di bangkunya. Ia kemudian mengambil botol kecap, menyiram cukup banyak mi pangsitnya sampai berwarna sedikit gelap.

"Yang paling masuk akal itu karena mereka sedang butuh uang. Aku jamin tak ada orang yang membeli pangsit di jam-jam seperti ini selain kita," ujar si lelaki sambil makan. Ada hal yang baru dia sadari, ternyata dia juga cukup lapar.

"Ini juga aku tidak yakin, mi pangsit yang kita makan benar-benar mi. Jangan-jangan sebentar lagi berubah jadi cacing," sambung lelaki itu yang langsung disambut gelak tawa si perempuan.

"Kau itu memang begitu, ya?"

"Begitu apa?" si lelaki bertanya, matanya menyipit tajam.

"Memandang sesuatu lewat mata orang lain?"

"Maksudmu?"

"Memangnya kau pernah menyaksikan mi pangsit berubah jadi cacing?" selidik si perempuan sambil menahan tawa.

"Setidaknya begitu yang kulihat di film-film horor malam," jawab lelaki itu malas. Entah merasa terpojok atau tidak, dia kembali menunduk melanjutkan kegiatan makannya.

"Itu namanya kau melihat sesuatu dari mata orang lain! Hidupmu hanya terbatas mendengar dan melihat apa yang diberitakan orang, tidak dari dirimu sendiri! Pantas saja hidupmu membosankan!" ucap perempuan itu telak.

LuruhWhere stories live. Discover now