Belum Saatnya Mati Demi Cinta

506 94 18
                                    

Malam itu, sekitar pukul sepuluh lebih sedikit, Arion dan Sasi benar-benar pergi menukar cincin tersebut dengan sesuatu yang bisa dipakai untuk menyewa rumah. Awalnya, mereka kesulitan mencari toko yang masih buka sebab itu hampir larut. Jelas saja. Mana ada toko semacam itu yang buka di jam-jam seperti sekarang. Menghindari perampok, alasannya.

Akhirnya mereka memutuskan tidur di pelataran gereja. Tepat di bawah temaramnya langit dan gelapnya awan. Tak masalah bagi keduanya sebab mereka pikir itu adalah malam terakhir mereka tidur di alam bebas. Esoknya dua orang itu akan tidur beralas kain dan bernaung atap.

Sebelum melelapkan diri, Arion memandangi bintang di atasnya yang jumlahnya tidak sedikit. Tanpa sepengetahuan lelaki itu, Sasi pun juga. Mereka saling memandangi objek yang sama. Tiada kata. Tiada suara. Hanya fokus pada apa yang mereka saksikan saja.

Pikiran mengenai Sukma Puji masih bergumul di kepala Arion. Entah dapat perumpamaan dari mana, ia jadi membayangkan bintang itu selayaknya Sukma Puji, dan dirinya sebagai bumi. Kemudian ia mulai menghitung berapa jarak yang dihabiskan untuk mencapai bintang di langit itu. Apakah menghabiskan banyak waktu? Atau justru menghabiskan banyak nyawa? Lain yang dipikirkan Arion, lain pula yang dipikirkan Sasi. Gadis itu sedang membayangkan diri tengah mencintai seseorang. Apakah dia akan menjatuhkan harga dirinya seperti Arion? Atau malah lebih buruk dari itu? Ia jadi bergidik.

Akibat terlalu banyak menggerus pikiran dengan hal-hal tak penting, dua orang itu berakhir terlelap dengan sendirinya. Entah juga penyebabnya karena terlalu lama menatap bintang. Barangkali benda langit itu punya ilusi meninabobokan orang-orang.

Pagi datang. Bintang-bintang pelelap itu pun menghilang. Hari itu hari Minggu. Tidak ada jam kerja di toko Koh Aseng karena hari Minggu adalah hari untuknya beribadah. Waktu yang pas sekali untuk Arion dan Sasi mengurus cincin dan rumah sewa mereka. Tanpa banyak bertanya, keduanya langsung bergegas mencari toko berlian yang buka. Pertama-tama, mereka coba mencarinya dulu di pasar.

Pasar induk yang dimiliki kota ini sedikit lebih sepi dibanding kota lama yang mereka tinggali. Arion dengan gampang menemukan tempat incarannya hanya dengan sebentar menelusur. Dan sesuai yang ia duga di awal, berlian milik Sasi dihargai cukup mahal. Sementara gadis bekas pemilik berlian itu tak peduli. Pikirannya masih berkutat dengan ketidakpercayaannya akan perbuatan lelaki gila ini.

"Dari awal kulihat kau membawa cincin itu, aku sudah yakin benda itu bernilai tinggi. Kau lihat, kan? Cincinmu itu punya harga yang fantastis. Dengan ini kita bisa menyewa rumah selama enam bulan ke depan!" Arion berseru girang. Tangannya menepuk-nepuk tas hitam yang dipenuhi banyak lembaran uang.

Di sebelahnya Sasi memilih tak merespon apa-apa. Ia hanya menanggapi dengan cuek ketika Arion bertanya soal rumah mana yang akan mereka sewa. Lalu Arion teringat pada rumah kosong yang tak jauh dari tempat mereka bekerja. Ia berniat untuk menyewa rumah yang itu. Sasi pun menyetujuinya.

Sesampainya mereka di sana, Arion langsung mencari pemilik rumah kosong tersebut untuk ditanyakan. Sang empu yang seorang muslimah taat itu bilang jika dia tidak mengizinkan orang yang bukan muhrim tinggal di rumah sewanya. Atas dasar itu, Arion terpaksa mengakui Sasi sebagai perempuan yang ia nikahi. Saat si pemilik rumah menanyakan surat nikah mereka, Arion bilang jika rumah lamanya terbakar sehingga surat-surat itu hangus dilalap api. Mujur, kebohongannya itu dipercayai.

Mereka diperbolehkan tinggal di rumah itu setelah membayar uang muka sejumlah biaya tiga bulan ke depan. Rumah yang mereka sewa cukup sederhana. Terdapat pohon belimbing wuluh dan nangka di depan, sirih yang merambat di tembok samping, dan pagar kayu di sekeliling.

"Ahh, sepertinya aku harus berterima kasih pada Sukma Puji. Kalau bukan karena dia, kau pasti tidak akan mau menjual cincin itu demi rumah ini." Sasi berujar sembari kepalanya menengadah memperhatikan detil rumah.

LuruhWhere stories live. Discover now