Nayara - 4

1.4K 98 2
                                    

"Jadi gitu, Nay. Gue sih gak tau mau mihak yang mana, toh, bukan urusan gue juga, kan?"

Aku mengangguk, tetapi setelah mendengar cerita singkat dari Patricia, entah mengapa aku seakan memihak pada Kak Rian. Vivi terlalu egois dengan apa yang ia miliki saat ini.

"Terus ya, kan Vivi kemaren cuma lecet dikit aja. Jadi, hari ini dia ke sekolah. Sekalian masuk BK, udah bikin heboh, sih. Sekolah kita viral dalam hitungan sehari doang. Gila sih, omongan netizen parah banget. Sampai ada yang berasumsi kalau Vivi itu korban bullying di sekolah. Ya gak mungkinlah," ujar Patricia.

Jagonya bergosip memang si Patricia, omongannya barusan mampu membuat bangku kami menjadi ramai. Beberapa teman sekelas mendekat dan ikut mendengarkan cerita. Di keramaian ini, biasanya Dita menjadi penengah, tetapi perempuan itu malah berdiri di depan pintu kelas tanpa tertarik sedikit pun.

"Terus, kok dia tiba-tiba mau bunuh diri gitu? Alasannya apa?" tanya Alfina, sekretaris kelas yang hampir sama dengan Patricia. Biang gosip.

"Cowok dia meninggal beberapa minggu lalu, katanya penyebab kematian cowoknya itu ... kakaknya sendiri."

Awalnya ingin memilih dia dan menjadi pendengar saja, tetapi mendengar alasan Vivi ingin bunuh diri, rasanya ada yang janggal.

"Kak Rian? Ngebunuh cowoknya Vivi?" tanyaku.

Kulihat perempuan dengan rambut ikal sebahu itu menggaruk tengkuknya dengan wajah bingung berkerut pada kening. "Ya gak bisa disebut ngebunuh juga kali, Nay. Terlalu kasar."

"Ya, lo juga sih ngomongnya asal. Lagian, kalau Kak Rian penyebabnya, pasti udah dilapor ke polisi. Udah ah, daripada ngomongin yang belum pasti, mending diem di tempat duduk kalian masing-masing. Bentar lagi bel bakal bunyi, tuh!"

Mereka berhamburan menuju bangku masing-masing, walaupun sempat memasang ekspresi kesal, toh lebih baik cerita ini dihentikan. Patricia kembali ke tempat duduknya tepat di depanku, dan Dita duduk di sebelahnya, sedangkan orang yang duduk di sebelahku adalah Syakira. Kembaran Dita. Namun, walau begitu, Syakira tidak pernah dekat denganku juga Patricia dan Dita. Dia mempunyai anggota sendiri.

Pagi ini pun diisi oleh pelajaran Matematika yang diajarkan oleh Bu Hasmi. Setelahnya pelajaran Bahasa Indonesia oleh Bu Nadira, salah satu pelajaran favorit dari Patricia, walaupun selama ini nilainya belum pernah menyaingiku.

"Jadi kita tuh bakal ngewawancarin profesi apa aja, kan? Dit, Nay, kita sekelompok, ya! Kan kata Bu Nadira buat kelompok sendiri, jadi kita bertiga aja!" seru Patricia.

"Gue sih setuju aja," ucapku.

"Gue ikut," sahut Syakira, padahal biasanya ia tak pernah ikut sekelompok denganku dan yang lain.

"Tumben, Kir?" seru Patricia.

Syakira sempat melirikku. "Buat jagain kembaran gue," ucapnya sinis. Walau begitu, Patricia dan yang lainnya menganggap biasa. Toh, Syakira memang seperti itu.

Ingin meneruskan, tiba-tiba Kak Rian sudah berdiri di hadapanku. Patricia sempat membulatkan mata lalu memberi kode yang sulit kuartikan.

"Udah istirahat, 'kan? Gue pinjem Nay sebentar, boleh?" tanya Kak Rian pada yang lain.

Patricia yang lebih dulu mengangguk dan berseru, "Boleh! Asal baliknya selamat, sehat, dan gak kurang sedikit pun!"

Kak Rian hanya mengacungkan jempol ke arah Patricia lalu menarik tangan ini keluar dari kelas. Sebenarnya bukan lagi perasaan aneh, tetapi malu. Sepanjang jalan melewati koridor, rasanya semua mata terarah padaku dan Kak Rian.

Sampai pada bangku belakang di dalam perpustakaan. Tepat di belakang rak yang lumayan tinggi.

"Kenapa ngajak ke sini?" tanyaku.

"Kalau ke tempat lain, gue bisa ketahuan guru BK. Lu tau sendiri sepatu gue, 'kan?"

Embusan napas kasar keluar begitu saja, orang aneh memang sulit dibuat normal seperti sedia kala. Atau memang, Kak Rian dari dulu sudah tidak normal.

"Oh iya, Vivi gimana? Gue baru tau lho, kalau Kak Rian sama Vivi sodaraan."

"Disuruh istirahat dulu di rumah, biar gak kecepean, terus sampai stres kayak kemarin," ujar Kak Rian. Walau sedikit tak acuh, terlihat ekspresi tak enak saat ia mengutarakan tentang Vivi.

"Kak Rian ...," ucapanku belum selesai, laki-laki itu sudah menggenggam jemari ini. Mata bulat iti fokus ke satu titik.

"Gue cerita, biar lo gak salah paham."

"Cerita soal Vivi?"

Dia mengangguk. "Lo pikir, gue yang bunuh cowok Vivi, 'kan?"

Dengan cepat kugelengkan kepala ini. Memang benar, rumor itu sudah kudengar, bahkan telah meracuni pikiranku. Namun, tak ada sedikit pun perasaan yang beralih untuk mengambil keputusan yang belum benar adanya.

"Tapi kayaknya itu bener," ungkapnya mampu membuatku menganga dalam beberapa detik, "gak usah cengo gitu, deh!"

Tawanya tak begitu lepas, seakan hanya formalitas belaka.

"Gue ... gue yang salah," ucapnya, "andai waktu itu gue gak maksa, semuanya gak akan seperti sekarang."

"Gimana? Maksa gimana? Coba lebih jelas lagi," sahutku sedikit memaksa.

"Gue sama cowok Vivi itu sahabatan dari kecil, jauh sebelum gue sodaraan sama Vivi. Gue juga yang buat mereka kenal. Kejadiannya bulan lalu, gue minta tolong ke dia buat nganterin gue ke makam nyokap gue. Sayangnya, gue gak tau kalau waktu itu dia dalam keadaan kurang sehat. Ngendarain motor sampai gak fokus dan akhirnya kita kecelakaan. Bego banget, ya, kenapa waktu itu bukan gue aja yang meninggal. Biar gue bisa nyusul nyokap gue ke sana," ucapnya dengan cepat, lalu terhenti tuk menahan tangisnya yang hampir pecah.

"Gak, Kak Rian gak salah," ujarku mencoba menguatkan, walau kepala itu tetap menunduk, menyembunyikan betapa terpuruknya dia saat ini.

Namun, di balik itu, aku jadi tahu bahwa Vivi dan Kak Rian bersaudara tanpa ikatan darah. Itu artinya, mereka berbeda ayah maupun ibu. Lalu, kenapa saat itu ayah Kak Rian begitu marah?

"Penampilan gue yang selama ini terlihat gak seperti yang mereka pikir. Gue gila? Iya, dengan kehidupan yang sekarang gue pijaki. Gue gak punya siapa-siapa, Nay," ucapnya.

"Kakak punya aku," ujarku sembari memeluk laki-laki itu dengan erat. Bukan tanpa apa-apa, semua ini kulakukan karena tidak mampu melihat wajah terpuruk itu.

Semakin erat, walau sedikit sesak, kurasa seragam sekolahku telah basah karena air mata. Kak Rian menumpahkan semuanya, ada rasa haru menyerbu saat semua beban menjadi ringan di depan mata.

Sayangnya, tidak berlangsung lama, sebuah buku dengan lembar yang lumayan tebal melayang dan jatuh di depanku dan Kak Rian. Membawa suara yang mengagetkan dan menghentikan tangis Kak Rian saat itu juga.

Bu Silvia, guru BK.

"Kalian berdua malah pacaran di perpustakaan? Ikut Ibu ke ruang BK sekarang juga!"

Kulirik ke arah Kak Rian yang sudah menghapus jejak air mata hingga tak terlihat bekas sedikit pun. Ia berbalik ke arahku dengan senyum khas yang biasa dipancarkan ke semua orang.

"Kangen gue masuk ruang BK, makin semok aja tuh guru," ujarnya sembari terkekeh-kekeh.

Astaga, gilanya kumat.






Tbc.
Part ini nulis aja, ngalir aja, tanpa baca dua kali ataupun editing. Edisi ngejar deadline. Maaf banget kalau banyak typo yang berkeliaran.

Nayara (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now