Nayara - 9

972 88 2
                                    

Entah ada apa, akhir-akhir ini hidupku semakin keruh. Layak mendapat saringan agar kembali jernih seperti biasanya. Duduk lemas dengan menyandarkan tubuh ke tembok. Di tempat ini, tidak akan ada yang menemukan, tepat di belakang kelas 12, di mana penuh rerumputan liar dan orang-orang pastinya enggan ke sini.

Lalu, di tengah teriknya matahari, hujan pun turun membasahi pipi. Air yang terjun dari mata ini seakan tertumpah karena tampungan yang tak muat lagi menahan genangan. Rasanya sesak, seperti kembali ke masa lalu, bukan bahagianya, tetapi kesakitannya. Kak Rega, maksudku Rega hadir seperti masa lalu yang mengotori batin ini tuh amburk kembali.

Suara ranting pohon yang terinjak pun menyadarkan. Sepatu berwarna hitam dengan bawahan putih itu terhenti di sebelahku. Mendongak perlahan, kutemukan dia.

"Keliling sekolah gak ketemu-ketemu. Gila, anti-mainstream banget pilihan lo ngumpet di sini," ujar Rega sembali membolak-balikkan pandangannya ke seluruh penjuru, "keren sih, lu dapat tempat bolos yang aman banget. Gue yakin, Bu Silvi gak bakal ngeh sama tempat ini!"

"Lo nyariin gue?" ucapku lirih.

Dia mengangguk sembari menunduk da membersihkan tumpukan ranting di sebelahku. Kemudian, dia duduk di sana.

"Gue baru tau kalau temen lu itu sangar. Si Patricia, ngamuk dia. Gara-gara lu nangis, dia nyuruh gue tanggung jawab. Gila, gue nyentuh lu aja, kagak!" gerutunya.

"Ya tapi omongan lu jahat," ujarku.

Ia menggaruk tengkuknya dengan cara cepat lalu berbalik ke arahku. Mata itu tersorot tepat pada wajah ini. "Lo kalau diliat-liat, cakep juga, ya."

"DIH! APA SIH!" teriakku sembari berbalik membelakanginya.

"Anggap aja gue nebus kesalahan gue dengan muji lu. Dah ya," ujarnya seraya bangkit dan menepuk-nepuk celananya yang terkena debu, "utang gue lunas."

"Kok gitu?"

Sayangnya, Rega telah berjalan menjauh. Kupanggil pun, dia tak menengok. Memang aslinya menyebalkan, ya, tetap menyebalkan. Dia juga belum memgucapkan kata 'maaf', benar-benar tak terdengar sedikit pun. Ah, rasanya ingin kujambak rambut laki-laki itu.

Getaran di ponsel membuatku harus menjeda sebentar rasa kesalku.

Merica Squad

Sebuah nama grup WA, dan seseorang baru saja mengundangku ke dalamnya. Saat melihat isi grup, ternyata Patricia yang membuatnya. Namun, yang membuat mataku tak terima adalah ... anggota di dalamnya.

Anda.
Patricia
Dita
Martia
Syakira
Vivi

Syakira? Martia? Patricia tidak salah membuat grup, kan? Harusnya kedua orang itu tidak perlu bergabung ke dalam grup.

Patricia
Welcome to new group Merica-Merica qoeh! Gue sengaja buat grup ini buat kita-kita aja, geng Merica Squad. Gimana, gimana? Keren, 'kan?

Vivi
Keren dong!

Dita
Kerenlah, hihiw❤

Martia
Keren ish, kayak chibi-chibi gitu hahah.

Syakira
Keren, heheh makasih udah diajak.

Nayara
G, alay! Ratain ajadah.

Martia
Kalau alay, keluar ajalah. Ngapain juga lo masuk.

Syakira
Setuju sama Tia💪💪

Dita
Jangan buat ribet, tuh buka info grup, paling bawah ada tulisan keluar.

Vivi
Sudah, sudah, jangan berteman! Eh, berantem maksudnya. Anggap aja ini tuh grup silaturahmi @nayara

Patricia
Iya, Nay! Di sini aja, ya. Gak ada lo, gak asyik tau, gak?

Vivi
Iya, kurang human nyolot kalau gak ada lo😂

Patricia
Nah iya! Lu kan sahabat dabest gue, ish!

Martia
Gak usah dibujuk juga kali, Pat! Dia bukan anak kecil lagi.

Dita
Kalau mau out, out aja, ribet banget carsen mulu.

Sialan. Satu kata umpatan dari mulut ini akhirnya keluar. Mengatakan hal seperti itu memang wajar. Kalau mau buat grup, jelas bagi yang memang akrab. Aku, Pat, Vivi, dan juga mungkin Dita yang sekarang entah masih pantaskah disebut seorang sahabat.

Bangkit dari dudukku sembari menengok sebuah benda yang melilit pergelangan tangan. Jarumnya mengarah ke jam 2 siang. Berarti sudah melewati satu mata pelajaran. Ah, kenapa semakin hari semakin banyak membolos hanya untuk hal-hal yang tak penting.

Berjalan melewati koridor yang cukup sepi, akhirnya langkah terakhir terhenti di kantin. Memesan segelas jus jeruk dan roti bakar karena makhluk-makhluk di perut ini sudah melakukan demostrasi. Rasanya melilit, sepertinya cacing-cacing tengah melakukan aksi bakar ban.

"Nih, Neng!" seru Kang Ehsan sembari meletakkan sepiring roti bakar, "gak sekalian pesan bakso? Kayaknya lapar banget, Neng."

"Iya nih laper, hati terlalu lelah, bikin laper ternyata," jawabku.

Kang Ehsan terlihat menggelengkan kepala. "Neng ini lucu juga, jadi pengen jadiin mantu," ujarnya mampu membuatku tertawa.

Namun, tawa itu terhenti saat seseorang mengambil posisi duduk di hadapanku. Bahkan, roti bakar yang baru saja masuk ke dalam mulut rasanya enggan untuk tertelan.

"Gue ikut, ya," ucap Kak Rian.

"Ikut?" tanyaku tak paham.

Dia mengangguk sembari mencubit sedikit roti di hadapanku lalu memasukkannya ke dalam mulut. Menunggu sebentar dia mengunyah, kembali bersuara.

"Katanya mau kafe depan sekolah, kan? Abis itu ke monas? Gue ikutlah, Martia juga ikut kan katanya," sahutnya.

Tak terima, aku memukul meja di hadapanku hingga membuat seketika menjadi pusat perhatian.

"Gak! Ini tuh acara gue bareng Pat sama Vivi. Lu kalau mau pacaran, bikin agenda sendirilah, jangan nyusahin! Lo pikir kita bahan buat lu bisa pacaran, gitu?" Bahkan, tak ada jeda saat kumengatakan semuanya. Emosiku membuncah hingga tak sadar situasi.

Namun, saat melihat ekspresi Kak Rian yang terdiam dan berbalik ke sebelah, membuatku ikut mengikuti arah pandangnya.

Martia berjalan ke arahku dan Kak Rian, tak sendiri, Patricia dan Vivi pun berada di sebelahnya.

"See? Kalau cemburu, bilang. Keliatan banget lho, patah hati gitu. Retaknya sampe kedengeran ke semua orang. Bener, gak, Pat?" seru Patricia.

Patricia menggelengkan kepala ke arahku. "Lo benci sahabat sendiri cuma karena cowok?" ucapnya tak percaya.

"Apa sih? Sahabat? Martia maksud lo? Sejak kapan dia jadi sahabat gue?"

Martia berbalik ke Patricia hingga membuat fokus perempuan itu tertuju padanya. "Sekarang lo percaya sama gue, kan, Pat?" ucapnya lirih.

AH ULAR! MARTIA ITU ULAR!

"Lo naksir gue, Nay?" tanya Kak Rian yang tadinya hanya sebagai pendengar.

Aku menggelengkan kepala, tak tau harus berbuat apa lagi.

"Ya enggaklah, mana mungkin Nay naksir sama lo. Nay pacar gue," ucapan itu keluar dari Rega yang baru saja muncul dan menggenggam telapak tangan yang sudah bergetar semenjak tadi.

Serius, fokusku sudah tak dapat terbagi lagi, hanya pada pandangan Patricia yang berbeda padaku. Cukup Dita yang berubah, jangan buat Patricia pun menjauh dariku.

Aku tak punya siapa-siapa lagi.

"Lo punya gue," ujar Rega seakan mengerti apa yang baru saja kurasakan.



Tbc. Sorry for typo. Serius, gak baca dua kali. Ini ngejar deadline, wkwkwk.

Jangan lupa vote dan komen, ya❤❤❤

Nayara (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now