Nayara - 14

947 78 0
                                    

Tidak ada percakapan lebih panjang lagi setelah mengucapkan dua kata yang membungkam mulut ini. Bahkan, dia sudah beranjak lebih dulu sebelum terkumpul semua kesadaranku. Angin di siang ini begitu panas dengan awan kelabu yang menggumpal. Sebentar lagi hujan.

Sendiri, melangkah turun tuk memikirkan apa yang harus dilakukan setelah ini. Berharap Vivi hanya bercanda, tetapi tak ada canda disertai tangisan pilu.

Saat memasuki kelas, ternyata semua sudah berkumpul. Termasuk Vivi yang duduk bersama Patricia. Bekas tangisan tak terlihat di wajahnya. Bahkan, ia memberi respons tawa saat Patricia bercerita. Aneh.

Aku duduk di sebelah Rega yang memegang bungkusan somay.

"Dari mana aja?" tanyanya.

"Atas," jawabku tanpa menoleh ke arahnya, "ini buat gue, 'kan?" Kurebut bungkusan itu dan mulai memakan perlahan.

Jam istirahat tinggal 5 menit lagi, tetapi mulut ini tak bisa mengunyah lebih cepat jika pikiran berada di mana-mana.

Jika Vivi benar hamil, apa urusannya dengan Kak Rian?

"Mau gue suapin?" tawar Rega membuat kepala ini menoleh ke arahnya, tak lupa dengan sepasang mata yang melotot.

Aku mendengkus kesal seraya menepuk pundaknya dengan kasar. "Jangan bikin masalah lagi, ngerti? Udah dituduh pacaran sama lo, ini mau pake acara suap-suapan segala. Alay tau, gak?"

Dia memutar bola matanya jenuh. Menopang wajah dengan tangan kanan yang sikunya tertahan di meja. "Kalau Kak Rian yang suapin, pasti gak alay," ujarnya.

Tawaku hampir pecah, tetapi mengingat keadaan saat ini yang tak boleh terlalu asyik, kubungkam mulut ini.

"Bener?" tanya Rega.

Aku menggeleng. "Gaklah, tetep alay menurut gue," jawabku.

Rega tampak berpikir dengan kerutan di dahi yang terlihat. Mungkin terlalu dalam hingga membuat ia menepuk dahinya dengan pelan. Laki-laki ini punya sisi bodoh juga, ya.

Percakapanku dan Rega tidak berlangsung lama saat Bu Serly, guru matematika memasuki kelas. Segera kupindahkan tubuh ini ke bangku semula. Tepat di sebelah Syakira. Saat duduk di sebelahnya, perempuan itu terdengar mendengkus kesal. Apa peduli, ini bangkuku, aku dulu yang duduk di sini hingga akhirnya menawari dia tuk duduk bersama. Ah, bodohnya keputusan waktu itu.

Pelajaran matematika berlangsung selama dua jam lamanya. Seperti biasa, Bu Serly akan menjelaskan contoh soal, lalu memberi soal latihan, selanjutnya memanggil nama secara random tuk mengerjakan soal di papan tulis. Hal menyebalkan dari matematika adalah, contoh soal dan latihan soal yang diberi berbeda. Jadi, pengin hilangin X dan Y dari abjad.

"Patricia," panggil Bu Serly.

Biasanya, saat mengerjakan latihan soal, Patricia selalu bertanya padaku. Juga, ia akan meminta tolong untuk membantunya saat di atas nanti. Namun, saat hal itu kuharapkan terjadi lagi, tenyata tak terjadi.

Patricia terlihat bingung. Ia menggigit bibir bawahnya sembari bangkit dari duduk. Wajah putihnya kini terlihat pucat.

Ia berdiri di depan papan tulis, membaca soal dengan saksama. Sayangnya, beberapa menit berlalu, tangannya belum menuliskan apa pun.

"Kenapa, Patricia?" tanya Bu Serly.

Ingin membantu, sangat. Patricia seperti kehilangan jiwa. Tak ingatkan ia padaku? Atau, begitu besarkan kesalahan ini hingga ia tak ingin meminta apa pun lagi?

"Hueek!"

Belum terdengar jawaban dari Patricia, Vivi lebih dulu mengeluarkan suara. Seiring dengan itu, ia berlari keluar.

"Vivi kenapa?" tanya Bu Serly.

Martia menggeleng sembari menjawab, "Sakit kali, Bu. Mual dia."

Permohonanku, semoga apa yang ada di pikiran ini tak terjadi. Namun, memang biasanya seperti ini, 'kan? Perempuan hamil yang sedang ngidam biasanya akab merasakan mual-mual yang luar biasa. Ah, diri ini terlihat sok tahu, tetapi begitu yang aku lihat di adegan sinetron televisi.

Aku bangkit dari duduk. "Bu, saya susul Vivi, ya?" ucapku meminta izin.

Bu Serly yang tadinya sibuk memberi penjelasan pada Patricia yang tak kunjung memberi jawaban pun menoleh seraya mengangguk. Dengan cepat kularikan diri ini menuju toilet. Semoga saja Vivi masuh ada di sana.

Sayangnya, langkah ini belum menggapai tempat tujuan harus terhenti. Seorang laki-laki dengan sepatu merah muda berdiri di hadapanku.

"Mau ke mana wahai Cucu Adam?" tanyanya.

Aku mendengkus kesal walau debaran di jantung tak menentu. "Mau ke toilet,wahai Cucu Megantropus."

Dia terkekeh-kekeh. Senyum yang lama tak terlihat itu menebar di sekitar hingga membuat debaran ini semakin kencang. Telapak tangan ini pun ikut andil, dengan merasakan dingin walau cuaca cukup panas.

"Kak Rian kenapa, sih?" tanyaku setelah berhasil mengontrol perasaan ini.

"Gak kenapa-napa, sih. Cuma kangen ketemu, lho! Eh, udah jadi pacar orang, ya?" ujarnya membuatku sedikit tersentak.

Pacar orang? Ah, ini karena insiden di kantin waktu itu. Mengesalkan. Masa iya aku harus dikenal sebagai pacar Rega? Si cowok aneh yang senyum aja suka gak ikhlas. Keliatan banget gak mau sedekah.

"Harusnya gue dapat pj, dong? Secara lo sama Rega sama-sama holkay!" sahut Kak Rian kembali.

Masih saja seperti ini. Entah kenapa, penilaian Kak Rian membuat jarak di antara aku dan dia semakin jauh.

Aku menggeleng. "Dah, ya, Kak, aku mau ke toilet," ucapku.

Namun, belum melangkah maju, Vivi sudah berada di sebelah Kak Rian. Belum sempat mengucapkan sepatah kata pun, Vivi hanya memicingkan mata tajam ke arah Kak Rian lalu menarikku menjauh.

Sempat kubalikkan kepala ini tuk melihat Kak Rian, laki-laki itu hanya tersenyum sembari melambai-lambaikan tangannya.

Tidak kembali ke kelas, aku dan Vivi duduk di ranjang UKS.

"Lo kenapa?" tanyaku.

"Kan gue udah bilang," jawab Vivi acuh tak acuh.

Kuembuskan napasku dengan kasar. Kalau saja tak mengingat kondisi perempuan ini, kuberi dia sedikit pelajaran biar mampus sekalian.

"Terus gimana sekarang?" tanyaku.

Dia menaikkan kedua bahunya tak acuh sembari memainkan benang-benang yang terlepas di ujung ranjang.

"Ayahnya ... siapa?" tanyaku. Kutahu ini akan sedikit sensitif, tetapi apa boleh buat.

Walau tak bersuara, Vivi kembali menangis. Kupeluk tubuh mungil itu, ada getaran yang ia tahan tuk keluar.

Dia perempuan kuat. Seperti bunda dulu.




Tbc.

Nayara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang