Nayara - 19

966 84 2
                                    


"Gimuana?" Walau dengan mulut yang penuh dengan bakso, Patricia tetap serius berbicara. Perlahan mengunyah dan menelan. "Lanjut gak, nih?"

Aku menggeleng. "Habisin aja makanan lo, nanti setelahnya baru cerita."

Patricia mengangguk semangat. Bagaimanapun masalah saat ini, bakso tetap lebih penting dari segalanya. Bahkan, karena bakso, Patricia pernah dihukum lari keliling lapangan. Ah, tak perlu kuceritakan panjang lebar.

Setelah lama bertarung bersama bola-bola daging yang begitu menggiurkan, Patricia mengusap kening yang penuh dengan keringat.

"Panas banget sih, kantin apa neraka sih ini?" gerutunya.

Kang Ehsan yang mendengar itu langsung berteriak dari stannya. "Kayak pernah ke neraka aja, Neng!"

"Diem lu, Kang Setan!"

Aku menggelengkan kepala. Patricia dan Kang Ehsan memang tak pernah akur sama sekali.

Saat akan bercerita, Patricia kembali membungkam mulutnya lalu mengarahkan fokusku ke Kak Rian yang baru saja keluar area kantin. Dengan cepat, perempuan itu menarik pergelangan tanganku untuk mengikuti Kak Rian secara diam-diam.

Sialan, aku dan Patricia seperti stalker. Dengan mengendap-endap mengikuti langkah kaki laki-laki itu hingga sampai di atap sekolah. Ah, aku benci tempat ini. Dua kali aku ke sini dan melihat Vivi hampir melakukan hal yang tak kuinginkan.

Bersembunyi di balik meja-meja berdebu. Patricia memberi kode untuk tidak bersuara dan tetap fokus dengan apa yang dilakukan Kak Rian.

Dering ponsel berbunyi membuatku sedikit terkejut. Untungnya, Patricia membungkam mulut ini dan membisikkan, "Itu suara ponsel Kak Rian.

Sialan. Persis seperti suara ponselku.

"Gimana?" ucap Kak Rian sembari mengisap satu batang rokok.

Serius, Kak Rian ta seperti biasanya. Ia berbeda. Tampilannya pun tak seabsurd biasanya. Yang kulihat sekarang ini, laki-laki itu tampak seperti anak nakal yang ada di novel-novel biasanya.

"Vivi hamil, sialan. Pusing gue," ujarnya sedikit berteriak.

Aku membulatkan mata. Ia berbicara dengan siapa?

Kembali, aku kaget saat Kak Rian menendang bangku yang ada di hadapannya. "Bukan gue yang hamilin. Cowok lain, dia juga sih. Gue sering bilang, kalau lagi ngelakuin, pake pengaman. Jelas, bukan gue. Kalau gue sama Vivi pastinya pake pengaman."

Ucapan dari Kak Rian membuat tubuhku menjadi lemas. Walau tahu, semuanya belum jelas, tetapi semua yang ia katakan sudah menjawab apa yang tak kuketahui. Sadar, aku tak perlu marah pada siswi yang membicarakan Vivi di koridor pagi tadi, karena yang mereka katakan itu benar.

Aku bangkit walau Patricia sempat menarik pergelangan tangan ini. Persetan, aku muak.

Melangkah lebih cepat ke arah Kak Rian. Ah, salah. Rian maksudku. Aku tak akan memanggil dia dengan sebutan 'Kak' lagi. Dia sudah tak pantas tuk dihargai.

Dengan sangat emosi, kutampar wajah itu hingga tubuhnya oleng dan ambruk ke bawah. Sudah kubilang, perempuan itu sangat kuat saat merasa tak dihargai dan emosi.

Rian bangkit dan ....

"Lo?!" tunjuknya dengan mata membulat.

"Iya, gue! Kenapa? Sialan! Lo laki-laki sialan. Tega lo lakuin semua ini? Lo sadar kalau Vivi itu adik lo?"

Dia mendengkus kesal. "Bukan adik gue. Dia anak dari nyokap tiri gue."

"Sama aja, Setan! Lo tega ngelakuin itu sama dia? Gue pikir lo cuma berbuat itu sama Martia."

"Bukannya semua cewek itu memang harus dipake?" ujar Rian membuatku semakin panas.

Saat hendak memukulnya kembali, sebuah bangku melayang dan menghantam punggungnya. Laki-laki itu ambruk dengan suara teriakan yang sungguh aku paham, itu pasto sangat sakit.

Melihat ke belakang Rian, di sana ada Rega. Wajah laki-laki itu sungguh menyeramkan. Lalu, dengan cepat ia menarik kerah baju Rian. Tertatih, Rian benar-benar lemah setelah kena timpuk.

"Gue gak akan pukul lo lagi, gue gak mungkin ngotorin tangan gue dengan menghajar orang lemah, tapi ... asal lo tau, perempuan itu bukan untuk dipake," ucap Rega sembari menghempaskan tubuh Rian ke lantai.

Rian meringis, pun aku ikut meringis. Sakit, pasti sakit sekali. Namun, mengingat apa yang ia katakan barusan sudah cukup pantas. Ia harusnya bisa mendapat serangan lebih banyak.

"Yuk, gue obatin tangan lo," ucap Rega.

Aku menatapnya bingung sembari mengikuti langkah kakinya. Patricia yang tadinya hanya menonton juga ikut berjalan di sebelahku. Selama jalan menuju UKS pun, sesekali Patricia menatapku seakan memberi kode bahwa Rega sangat menyeramkan kali ini. Memang benar sih, aku pun merasakan hal yang sama.

"Lo baik-baik aja, Nay?" tanya Patricia saat sudah sampai di UKS.

Rega baru saja keluar, katanya mulas karena terlalu banyak makan sambal. Bagus juga sih, selama ada Rega rasanya benar-benar canggung dan tak tahu harus berbuat apa.

"Iya, tangan gue cuma memar karena kekencengan mukul Rian," jawabku sembari terkekeh-kekeh. Jadi, bukan salah Rian juga.

"Rian?"

Aku mengangguk. "Iya, Rian. Dia gak pantes dipanggil 'Kak' dia racun buat semua cewek." Mengingat itu lagi, membuatku benar-benar sangat kesal.

Kulihat Patricia menggigit bibir bawahnya lalu berkata, "Sebenarnya bukan cuma Rian yang racun, Martia juga. Mereka berdua yang menjerumuskan Vivi jadi kek gini, dan lo tau? Korban selanjutnya si kembar."

"Maksud lo?"

"Siapa lagi, Dita dan Syakira. Mereka bakal jadi tumbal karena sekarang Vivi hamil. Lo mengkin liat Martia tampak sederhana di sekolah, tapi di luar dia tajir tau, gak, Nay? Dapatin duitnya ya dari jual Vivi selama ini. Bareng Rian juga."

"Gue gak ngerti, tapi kan dulu Vivi benci sama Rian?" tanyaku.

Patricia mengangguk. "Iya, tapi lo harus tau kalau Martia udah lama dekat sama Vivi. Jauh sebelum dia kenal sama kita."

"Jadi, kita harus gimana?"

Patricia berbisik, "Gue ada rencana buat ngancurin mereka."





Tbc.

Nayara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang