Nayara - 11

976 87 1
                                    


Sebuah rumah megah dengan tiga lantai dan beberapa ornamen bunga matahari menghiasi. Aku dan Rega berdiri di tempat ini tepat setelah melewati macetnya ibu kota dan melaksanakan salat Magrib. Terlihat sepi, walau dua satpam yang berjaga asyik bermain catur dengan sedikit teriakan kemenangan saat berhasil memakan satu bidak dari lawan.

"Gini doang, nih? Gak mau masuk?" tanya Rega sembari mengetuk-ngetuk jemarinya pada kemudi.

Mencerna pertanyaan Rega dengan mata fokus pada pintu rumah yang jauh di sana. Kuingin pintu itu terbuka dan menampilkan ayah, juga oma. Aku rindu, tetapi takut.

"Jadi, selama dua tahun ini lo gak pernah ketemu mereka?" tanya Rega.

Seperti sebuah keajaiban. Hari ini rasanya Rega banyak mengomel, bertanya banyak dan tak henti bila belum menemukan jawaban yang tepat menurut pemikirannya.

"Gak," jawabku.

"Kenapa?"

Jauh dari lubuk hati terdalam, ada kepingan yang melarang semua terucap. Seakan menahanku untuk membocorkan semua yang tak perlu orang lain tahu. Namun, aku pun merasa semua sudah membuncah, merengek meminta tempat berbagi.

"Oma gak ngebolehin, dari dulu oma gak setuju kalau ayah nikah sama bunda."

Kulihat Rega menggelengkan kepala tak percaya. "Gak ngebolehin, tapi udah punya cucu juga."

"Tapi untungnya, bunda bisa ngelahirin Kak Rega. Oma emang pengin punya cucu laki-laki," ucapku.

Baru saja Rega ingin mengeluarkan suara lagi, kulihat mobil ayah baru saja tiba. Suara klakson di depan pagar itu membuat mataku berbinar dan keluar dari dalam mobil Rega. Sebelum pagar itu dibuka oleh satpam, kularikan diri ini lebih cepat dan berdiri tepat di depan mobil ayah.

Tak peduli cahaya mobil yang begitu menusuk, bahkan kedua satpam sudah meneriakiku agar tidak menghalangi jalan. Tubuhku tetap tegap dan tak berpindah sampai ayah keluar dari mobilnya.

Kuingin bersyukur puluhan kali saat mesin mobil itu terhenti berbunyi, juga sorot cahayanya meredup. Seorang laki-laki dengan tubuh tinggi tegap dan perawakan yang sudah memakan usia hampir setengah tahun itu berjalan mendekatiku.

"Naya, tolong kembali."

Kupikir ia akan memelukku. Dua tahun ia memutuskan untuk mengikuti keinginan oma menjauh dari kehidupan lamanya, tetapi tak ada rasa rindu sedikit pun yang terlihat.

"Ayah ...," ucapku lirih. Bahkan, aku tak tahu harus mengatakan apa di hadapan laki-laki ini.

"Naya, dengarkan Ayah," ucapnya sembari memegang kedua bahuku, "kamu sayang Ayah, kan? Sayang oma juga? Tolong pulang, jangan pernah balik ke sini lagi. Ayah akan penuhi semua keperluan kamu, tanpa terkecuali. Ayah mohon, Nay."

Cukup. Seorang Nayara hanya keras kepala pada orang lain, tidak pada Ayah. Kuanggukan kepalaku dan berjalan menjauh dari Ayah. Tak ada salam perpisahan, pelukan, atau ciuman yang kudapat dari sosok pahlawan yang selama ini menjadi satu-satunya alasan aku bertahan.

Kembali pada Rega yang terdiam di depan mobil.

"Antar gue balik, ya, Ga. Kita ngambil keputusan yang salah ke sini," ucapku, lirih.

Seperti mengerti, dia langsung masuk ke dalam mobil dan mengambil posisi kemudi. Dijalankannya kendaraan roda empat ini menjauh. Ayah sama sekali tak peduli. Aku yang berharap, dan dia yang tak tahu apa-apa.

Menatap kosong ke arah jalan yang dipenuhi warna-warni lampu dan tingginya gedung yang menjulang. Terhenti pada lampu merah pertama, Rega menatapku. Ada kata yang terlihat sulit ia katakan.

"Ngomong aja," ujarku.

Terlihat dia mengembuskan napas pelan, lalu kembali menjalankan mobilnya saat lampu hijau terlihat.

"Gue ... gue mau ngantar lu pulang atau ke sekolah?"

"Pulang aja, besok deh baru gue ambil mobil gue," jawabku.

"Oh, terus ini jalannya di mana? Gue ... gak tau rumah lu."

Aku menepuk pelan dahi ini lalu berbalik ke arahnya. "Pantes dari tadi muter-muter mulu!" gerutuku.

"Ya, takutnya gue salag ngomong terus dibunuh sama lu di jalan. Kan serem," serunya.

Sialan, bisa juga laki-laki ini melawak. Biasanya juga cuma diam sebagai pendengar.

"Kita makan aja dulu, gue yang traktir!" seruku.

"Demi apa?"

"Demi apa aja, soalnya lo udah baik hari ini!"

Terlihat senyum yang hampir terukir. Laki-laki ini memang sulit tersenyum, ya? Atau sudah ditakdirkan sebagai laki-laki berwajah datar? Perbandingan yang sangat jauh berbeda dari Kak Rian. Yah, teringat dia lagi.

Kendaraan roda empat ini pun terhenti pada rumah makan khas Sulawesi Selatan. Namanya Konro. Makanan ini khas Makassar, daging sapi entah bagian apa, terus tulangnya gede-gede. Suka sih, tetapi kadang bingung cara makannya gimana.

"Kok?" ucapku.

"Enak, kok. Lo harus coba," jawabnya.

Dipikir aku belum pernah coba apa, ya. Dulu, waktu SMP kelas 1, Kak Rega punya teman cewek asal Makassar, terus karena mereka pengin dinner, gitu, makannya di sini. Ya, keliatan deh baru pertama kali pacaran, ngajak aku sebagai tameng. Eh, lebih tepatnya orang ketiga.

"Kok lo bisa suka?" tanya sembari mendaratkan posisi duduk di hadapannya sambil menunggu pesanan, "lo pesan yang bakar, kan?"

"Iya," jawab Rega yang fokus pada ponselnya.

"Terus, kenapa lo suka?"

Dia tak menjawab, tetapi masih fokus pada ponsel. Dua jempolnya sibuk mengetik sebuah pesan. Apa mungkin Rega punya kekasih? Atau ... Rega sedang memberi kabar pada keluarganya? Melihat dia mengetik sebuah pesan dengan senyum seadanya, membuatku semakin yakin, laki-laki di hadapanku bukan jomlo, sepertiku. Yah, nasib.

Dia meletakkan ponselnya di atas meja.

"Bokap gue asli Sulawesi Selatan, tepatnya Kota Enrekang. Cuma, besar di Makassar dengan makanan gini, gue jadi ikutan suka juga. Pokoknya, dulu kalau kakek gue abis gajian, pasti deh bokap gue sekeluarga diajak makan konro bakar. Kebiasaan kek gitu dibawa sampe sekarang. Walau di Jakarta, tapi bokap gue masih suka aja nyari konro."

Daebak! Ini kalimat terpanjang dari Rega untuk hari ini. Sampai menganga aku mendengar penuturannya. Namun, ada rasa hangat saat dia mencerikatan tentang keluarganya. Satu kata yang terpikir adalah manis. Seorang laki-laki yang lugas menceritakan tentang keluarganya pasti sangat terlihat manis.

Andai Ayah bisa membuat keluarga yang manis juga.

"Bokap lo ... coba bokap gue juga gitu," ucapku.

"Semua bokap itu punya cara masing-masing buat ngebahagiain keluarganya. Lo tau alasan bokap lu gak bareng lo lagi?"

Aku menggeleng.

"Nah! Kalau belum tau, jangan berpikir negatif. Akan ada waktu di mana bokap lu bisa ceritain semuanya."

"Kenapa Rega jadi sok bijak?" tanyaku dengan sengaja menampilkan wajah polos.

"Tolong hapus kata 'sok'-nya itu," pinta laki-laki itu hingga membuatku tertawa.

Malam ini, setelah hujan pada sepasang mata, ada tawa yang mengalir begitu berwarna. Sesuatu yang tak kuketahui kejelasannya bisa membuat semua terlihat baik-baik saja. Satu hal, bersyukur.

"Makan woiy! Jangan melamun," sahutnya.

Aku mengangguk dengan mata yang lebih memilih fokus pada laki-laki itu, walau indra penciuman begitu nafsu saat makanan sudah nampak di depan mata.

Suatu saat nanti, bukan ayah yang mengajakku ke sini seperti ayah Rega yang mengajaknya. Namun, aku yang mengajak ayah dan memberi ruang untuk segala hal yang ia pendam sendiri.








Tbc.

Nayara (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now