Nayara - 16

954 76 0
                                    


Pagi cukup berkabut, sudah dari subuh hujan deras mengguyur bumi. Basah di luar rumah menyeruak ke indra penciuman. Aroma tanah juga tumbuhan menyeruakan betapa segarnya pagi ini. Lalu, dengan terburu-buru, langkah kaki dari lantai dua terdengar. Vivi menuruni tangga dan berjalan ke arahku.

Tanpa kutawari, ia duduk dan mengambil roti juga mengoleskan selai di atasnya. Lalu, dengan mulut yang penuh makanan, ia menatapku dan berkata, "Gue laper banget sumpah."

"Oh," jawabku sembari menatap penampilannya yang tidak tertata setelah bangun tidur, "kenapa gak mandi dulu? Entar telat, lho!"

Kunyahannya terhenti lalu menatapku cukup tajam. Ah, berani juga dia seperti itu.

Embusan napasnya terhenti lalu mendengkus kesal. "Lo mau gue di-bully di sekolah karena masalah gue?"

Aku mengangguk-ngangguk lalu berkata, "Oh, jadi lo pengin jadi pecundang? Ya gak apa-apa, sih. Lo emang pantes jadi pecundang."

"Kasar banget!" teriaknya lalu bangkit dari duduk. Sebelum berlari menuju kamar tamu, ia menghentakkan kakinya dengan kencang ke lantai. Persis seperti anak kecil yang ngambek karena tidak dibelikan permen.

Melihatnya kembali ke atas, kuambil ransel dan kunci mobilku dan segera melesat dari rumah ini. Mungkin dia butuh waktu tuk berpikir lebih jernih, karena jika ia hanya terus mengurung diri dalam masalah dan kesalahan, semuanya tak akan baik-baik saja.

Kutinggalkan ia sendiri, semoga tak terjadi apa-apa. Pasti.

***

Cukup pagi atau orang-orang akan melakukan hal lambat karena cuaca pagi ini. Koridor masih tampak sepi, hanya hitungan satu dua orang di dalam kelas-kelas yang kulewati. Saat akan menaiki tangga, beberapa siswi tampak bercengkrama. Bukan hal aneh, dan tak pernah kupedulikan. Hanya saja, saat menaiki anak tangga pertama, cerita mereka membuat langkah ini terhenti tuk menyimak lebih banyak.

"Yang mana sih anaknya itu? Kelas 11, kan, yang hamil itu?" Pertanyaan ini jatuh dari anak perempuan berambut pendek.

Lalu, si anak perempuan dengan gigi berkawat menyahut, "Namanya Vivi, katanya sih adek tirinya Rian. Entah deh, adek tiri atau anak pungut. Dia emang suka dugem, sih, berapa kali gue liat di club."

Dua orang pendengar tampak terkejut. "What? Lo ke club?"

"Iya, anak sekolahan kayak kita banyak, kok. Lagian, gue cuma di meja bar doang, gak kayak si Vivi itu. Nari di lantai dansa, sampe dikelilingi om-om. Ngeri tau gak, sih!"

Cukup sampe sini, kembali kulangkahkan kakiku menjauh. Namun, suaranya masih terdengar saat ia mengatakan, "Dia tuh stres semenjak pacarnya meninggal. Siapa tuh nama pacarnya? Rega? Bener, gak, sih?"

"Stresnya bukan karena cinta kali, tapi karena si Rega tuh anak orang kaya!"

"Sst! Udah, gak baik ceritain orang yang udah meninggal," jawab salah satunya.

Si gigi berkawat tampak terlihat kesal. "Tapi Rega tuh sama aja kayak Vivi, sama-sama bukan anak yang beres!"

Sudah! Aku menyerah, tetapi bukan tetap naik, aku malah turun menghampiri gerombolan mereka satu per satu. Wajah mereka tampak bingung, sebagian menunduk. Aku juga masih mendengar salah satu di antara mereka berbisik.

"Dia anak donatur sekolah, lho! Abis kita kalau kena masalah."

Kuembuskan napasku secara kasa lalu berdengkus ke arah mereka. "Lo gak akan kena masalah kalau kalian semua bisa jaga mulut kalian. Siapa kalian bisa nyeritain orang seenang jidat? Hah? Sialan!"

Kuatur napasku yang mulai tak teratur. Melihat mereka menunduk, rasanya pun tak tega. Akhirnya kuputuskan tuk pergi. Namun, masih ada yang berani berbisik.

"Emang anak donatur, orang kaya, tapi bokapnya gak ngakuin dia deh sebagai anak."

"Masa, sih?"

"Iyalah, orang tuanya aja gak pernah nongol ke sekolah. Cuma main transfer-transferan doang."

"Lu tau dari mana?"

"Semua orang juga tau, hadeh!"

Ucapan itu mengingatkanku pada apa yang telah terjadi.

"Naya, tolong kembali."

Kupikir ia akan memelukku. Dua tahun ia memutuskan untuk mengikuti keinginan oma menjauh dari kehidupan lamanya, tetapi tak ada rasa rindu sedikit pun yang terlihat.

"Ayah ...," ucapku lirih. Bahkan, aku tak tahu harus mengatakan apa di hadapan laki-laki ini.

"Naya, dengarkan Ayah," ucapnya sembari memegang kedua bahuku, "kamu sayang Ayah, kan? Sayang oma juga? Tolong pulang, jangan pernah balik ke sini lagi. Ayah akan penuhi semua keperluan kamu, tanpa terkecuali. Ayah mohon, Nay."

Cukup. Seorang Nayara hanya keras kepala pada orang lain, tidak pada Ayah. Kuanggukan kepalaku dan berjalan menjauh dari Ayah. Tak ada salam perpisahan, pelukan, atau ciuman yang kudapat dari sosok pahlawan yang selama ini menjadi satu-satunya alasan aku bertahan.
"Naya, tolong kembali."

Kupikir ia akan memelukku. Dua tahun ia memutuskan untuk mengikuti keinginan oma menjauh dari kehidupan lamanya, tetapi tak ada rasa rindu sedikit pun yang terlihat.

"Ayah ...," ucapku lirih. Bahkan, aku tak tahu harus mengatakan apa di hadapan laki-laki ini.

"Naya, dengarkan Ayah," ucapnya sembari memegang kedua bahuku, "kamu sayang Ayah, kan? Sayang oma juga? Tolong pulang, jangan pernah balik ke sini lagi. Ayah akan penuhi semua keperluan kamu, tanpa terkecuali. Ayah mohon, Nay."

Cukup. Seorang Nayara hanya keras kepala pada orang lain, tidak pada Ayah. Kuanggukan kepalaku dan berjalan menjauh dari Ayah. Tak ada salam perpisahan, pelukan, atau ciuman yang kudapat dari sosok pahlawan yang selama ini menjadi satu-satunya alasan aku bertahan.

Namun, benar, ayah tak menginginkanku. Bagaimanapun aku berpikir positif, selalu akan ada pikiran negatif yang menghampiri. Apalagi sikap ayah yang tak pernah terlihat mempunyai kasih untukku. Aku yang terus berharap pada kemustahilan yang tak akan pernah terjadi. Ayah membenciku, dulu sampai sekarang.

.

Tbc

Nayara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang