Nayara - 23

1.2K 89 2
                                    


"Kalian kenapa gak masuk?" tanyaku. Dua orang perempuan di hadapanku hanya melirik sebentar lalu kembali menatap ke arah ruang kelas.

Mengikuti arah pandangannya, ternyata di dalam kelas itu sedang ada kakak kelas mempromosikan ekskul. Terdiam sejenak, lalu kembali bersuara.

"Kalian ikut ekskulnya?" tanyaku kembali.

Perempuan berambut pendek sebahu menatapku. Lalu dengan sedikit berbisik ia mengatakan, "Mahal."

Sedikit mengernyitkan kening lalu bertanya, "Ekskul berbayar?"

Lalu, perempuan berambut panjang di sebelahnya menggeleng. "Bukan, tapi kalau masuk ekskul itu harus beli almamaternya, seratus ribu."

Perempuan berambut pendek itu mengiyakan dengan mengangguk beberapa kali dan menyahut, "Gila, sih! Seratus ribu, kita harus nabung dua sampai tiga bulan."

Mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku, mereka menatapku seakan tak percaya.

Kusodorkan ke arah mereka.

"Yuk, kita gabung ke ekskulnya!" seruku.

Mungkin masih tak percaya. Mereka sesekali saling berpandangan hingga pada akhirnya menatapku dengan tajam.

Perempuan berambut panjang itu melangkah mendekat. "Lo nyuri duit emak lo, ya?"

Perempuan berambut pendek mengangguk-angguk seakan setuju dengan apa yang baru saja ditumpahkan padaku.

Aku menggeleng dengan cepat. "Ini uang jajanku. Bunda yang ngasih, kok. Kalau gak percaya, aku hubungi, deh," jawabku sembari mengeluarkan ponsel dari saku.

Sayangnya, mereka malah menarik pergelangan tangan ini dan menatap layar ponselku.

"Gila, ini yang ada di internet itu, kan, Pat?" seru perempuan berambut pendek.

"Iya! Gila, gue pikir di Indonesia belum keluar, lho!"

"Emang belum, anjir, ini puluhan juta atau berapa sih, Pat?"

"Gak tau, gak tau! Gila, keren banget. Mungkin harganya setara dengan motor deh."

"Lebih deh, kayaknya."

Kurang paham dengan apa yang mereka bahas, kutarik pergelangan tangan ini dan memasukkan ponselku kembali.

"Yah, pelit banget, sih."

"Kalian kenapa, sih?" tanyaku.

"Lo anak sultan, ya?

Aku menggeleng.

"Pejabat?"

Menggeleng lagi.

"Kok bisa punya hp kek gitu?"

"Gak tau, dibeliin sama ayah."

Setelah percakapan itulah, aku mengenal mereka. Dita dengan rambut pendek, dan selalu setia dengan rambut pendeknya agar terlihat seperti Taylor Swift versi Indonesia, dan Patricia si perempuan dengan rambut panjang dan tubuh tinggi.

Pertemuan itu terjadi di kelas 7 SMP. Dari hasil percakapan itu, kami bertiga masuk ke ekskul OSIS. Tidak bertahan lama, hanya tiga bulan dan pada akhirnya kami memutuskan untuk keluar. Cukup membosankan, untungnya kami sudah membeli almamaternya. Terlihat cukup keren digunakan.

Lalu, semenjak itu pula aku, Dita, dan Patricia selalu bersama. Walau sering tidak sekelas, tetapi kami selalu menyempatkan untuk selalu bersama di luar kelas. Ke kantin harus sama-sama, pulang sekolah gak boleh langsung pulang, singgah ke pasar membeli buah, lalu membuat rujak di rumahku atau Patricia.

Sebenarnya bukan hanya di hari sekolah, saat weekend, kami selalu ke pasar untuk membeli alat make up atau sekadar untuk menonton pertujukan topeng monyet. Ah, itu kesukaan Patricia. Juga, karena mereka, aku jadi rajin ke pasar. Suka koleksi bando yang awalnya beli di toko bersama bunda, kini tempatku berganti di pasar. Patricia dan Dita selalu turut andil untuk memilih bando yang pas untuk wajahku.

Teringat masa-masa indah itu, rasanya dadaku bergerumuh. Ada sebuah bongkahan yang menumpuk hingga membuat sesak dan nyeri. Aku kehilangan semua. Keluarga, juga sahabat. Bukannya aku yang memilih, tetapi mereka yang meminta.

Tangisku reda bersama rintik hujan yang berangsur pergi. Pasar ini banyak berubah dari tahun ke tahun. Pakaianku basah karena menembus derasnya hujan. Percuma juga berteduh di bawah pohon pisang. Lalu, saat satu per satu orang telah pulang, kuputuskan untuk melangkah yang sama.

Pasar sudah mulai sepi.

Aku sengaja ke sini untuk mengingat semuanya. Namun, itu sebuah keputusan yang sangat bodoh.

Nostalgia dengan hal yang tak dapat kuraih kembali.

"Ponsel lu gak aktif," ucap seseorang yang kini berdiri di hadapanku hingga langkah terhenti.

Mendongak, kudapati Rega dengan beberapa belanjaan yang ia bawa.

"Lo ngapain di sini?" tanyaku.

Rega mengangkat belanjaannya. "Nganterin nyokap belanja. Lo?"

"Serius?" tanyaku tak percaya.

Bukannya menjawab, ia melepas belanjaannya hingga jatuh ke tanah. Lalu, membuka jaketnya dan menempelkan di tubuhku. Ah, padahal pakaianku sudah basah. Tak ada gunanya diberi jaket.

"Gak usah kali, Ga. Udah basah juga, gue gak kedinginan, kok."

Dia mengembuskan napasnya lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Pertama, biar lo gak masuk angin. Kedua, nutupin tubuh lo. Sadar, gak? Seragam sekolah kita itu tembus pandang, dan lo beri tontonan gratis gitu?"

"Eh? Sedikit terkejut, lalu dengan cepat kututup tubuhku lebih rapat. "Gue gak sadar, Ga."

"Lo emang gak pernah peka," jawabnya sembari mengambil belanjaannya kembali dan menarik pergelangan tanganku untuk ikut bersama.

Tidak banyak bicara, aku mengikuti laki-laki di hadapanku hingga kami sampai di parkiran. Di depan mobil Rega, sudah terlihat perempuan paruh baya.

"Pantesan lama, pacaran dulu?" tanya perempuan itu.

"Ayo," jawab Rega sembari membuka pintu depan untukku. Bukannya masuk, aku malah melihat ke arah Rega. Berharap laki-laki itu paham maksudku. Sayangnya tidak.

"Gak apa-apa, masuk aja. Tante duduk di belakang, kok."

Malah perempuan paruh baya itu yang mengerti dan lebih dulu masuk ke mobil.

"Nyokap lo baik banget," bisikku pada Rega.

Namun, Rega tak membalas ucapanku. Aneh, tetapi enggan menanggapi. Aku duduk duduk di jok depan bersama Rega. Lalu, melirik ke belakang melalui kaca. Perempuan paruh baya itu sibuk memeriksa plastik-plastik belanjaannya.

Tidak tau juga harus berbuat apa, kupilih untuk diam. Benar-benar sunyi. Bahkan Rega tak berniat sedikitpun untuk menyetel sebuah lagu. Menyebalkan sekali makhluk satu ini.

Terhenti di sebuah rumah desain minimalis dengan banyaknya ornamel jingga. Perempuan paruh baya itu keluar. Namun, setelah itu ia mengetuk jendela di sebelahku.

Kubuka, dan perempuan itu malah mencubit pipiku.

"Tante titip hatinya Rega, ya," ucapnya lalu berlari kecil masuk ke dalam rumah.

Aku melirik ke arah Rega. Yakin bahwa laki-laki itu mendengar omongan ibunya, tetapi tak ada tanggapan. Malah laki-laki itu langsung menjalankan mobilnya tuk mengantarku pulang.

Bingung.






Tbc.
Belum tamat, wkwkwk satu part lagi.
Yuhuuu ... makasih sudah membaca ^^

Nayara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang