Nayara - 22

1.1K 91 2
                                    

Nayara kuat. Setelah bunda telah tiada, janji itu terus kulontarkan jika ada masalah. Namun, kali ini rasanya pertahananku goyah. Tak ada harapan sama sekali, tersisa hanya luka-luka yang telah lama disembunyikan. Langkah pertama saat keluar dari rumah sakit, mata ini tertuju pada Rega. Laki-laki itu berdiri dengan payung yang menghalangi hujan membasahiku.

"Lo sadar gak kalau lagi hujan? Main nyelonong aja keluarnya," ujar Rega.

Mendengar itu, ada senyum yang kini terukir. Setidaknya hidupku tak sesepi yang kurasa. Ada kebahagiaan yang tak pernah kusadari.

Kini, aku dan Rega berteduh di mini market. Dua kopi hangat menemani kami dalam keheningan sejenak. Akhirnya, Rega memutuskan tuk memulai pembicaraan walau suaranya sedikit tak jelas karena hujan.

"Masalah kecil yang dibesar-besarkan," ujarnya.

Sediki bingung, kutunggu Rega menjelaskan semuanya.

"Vivi hamil memang ulah dia sendiri. Katanya Vivi udah dijemput sama orang tuanya, orang tuanya yang bakal urus semua. Kemungkinan, dia bakal berhenti sekolah sampai anaknya lahir," jelas Rega.

Sedikit tak percaya dan menyayangkan semuanya. Vivi harus berhenti sekolah dan menjadi seorang ibu. Aku tak bisa membayangkan bila posisiku denganya bertukar, tak ingin.

"Terus, Dita dan Pat?" tanyaku.

"Itu urusan kalian, yang punya persahabatan kan, kalian. Selesaikan sama-sama."

Aku mengangguk. Memang benar sih, Rega tak mungkin ikut campur dengan masalah ini, tetapi sama saja. Ia juga sudah banyak menolongku selama ini. Hanya saja, untuk masalahku dan Dita, sampai saat ini aku belum tahu masalah sebenarnya.

"Rian, ditangkap polisi," ujar Rega.

Kalimat yang baru saja keluar dari mulut Rega berhasil membuat mataku melotot tak percaya. Bahkan, rasa panas di cangkir kopi ini rasanya tiba-tiba menghilang. Tidak mungkin, Rian tidak mungkin ....

"Pertama, kasus narkoba, kedua, kasus prostitusi anak di bawah umur."

Kugelengkan kepalaku tak percaya. Rian bukan orang seperti itu. Namun, mengingat apa yang terjadi pada Vivi, apakah ada hubungannya dengan Rian?

"Masalah Vivi juga ada sangkut pautnya dengan Rian," ungkap Rega, seakan tahu apa isi kepalaku.

Sungguh, aku tak mengerti jika masalah mereka sebesar ini.

"Ini bukan masalah kecil, Ga!"

Rega mengangguk. "Ya, tapi bukan masalah kita," jawabnya.

"Bagaimana dengan Martia?"

"Yang dikatakan Rian di perpustakaan gak bohong," jawabnya.

Artinya, Martia hanya sekadar iri padaku. Andai dia tahu bahwa semua yang terlihat dariku tak sebahagia penilaiannya. Namun, apakah kebencian bisa berubah? Bukannya, semua hal dari benci, dilihat dari mana pun, akan terlihat tak ada yang baik?

Setelah hujan reda, aku dan Rega pulang ke rumah masing-masing. Walaupun sempat ditawarkan untuk pulang bersama, tetapi kutolak dengan berbagai alasan, dan alasan sebenarnya adalah kubelokkan langkah kakiku. Bukannya pulang ke rumah, malah menuju rumah Dita.

Jarang sekali aku ke rumah dia. Setiap kami bermain, pastinya selalu di rumahku, atau rumah Patricia. Alasan utama karena rumah Dita yang paling jauh di antara kami. Kalau diingat-ingat juga Dita selalu memberi alasan agar bukan rumahnya yang dijadikan tempat main.

Terakhir aku ke rumah Dita, saat SMP. Itupun, aku hanya mengantarnya pulang karena ayahnya yang biasa menjemputnya sedang sakit.

Tibalah aku di rumah Dita. Rumah sederhana dengan corak berwarna cokelat. Dipenuhi banyak kembang, juga satu pohon mangga yang siap berbuah. Beberapa anak kecil juga terlihat senang bermain di halaman rumah Dita.

Saat sampai di depan teras rumah Dita, kudengar suara Patricia. Ternyata perempuan itu ada di sini juga.

"Gue benci sama Naya, Pat!" seru Dita. Sangat terdengar jelas hingga kuputuskan untuk bergeming mendengar percakapan mereka.

"Tapi kenapa? Naya sahabat kita dari SMP, Dit!" sahut Patricia.

"Lo nyadar gak, Pat? Selama kita sahabatan dengan Naya, kita tuh kayak dayang-dayang untuk seorang ratu."

Mendengar itu, aku dapat menyimpulkan. Apa yang dirasakan Dita, sama dengan apa yang dirasakan Martia.

"Gue gak ngerasa gitu, Dit! Naya itu nganggep kita sahabat, kalau nggak, nggak mungkin persahabatan kita terjalin selama ini," jawab Patricia.

"Gue udah berusaha gimana caranya dapat peringkat pertama biar dapat beasiswa, Pat, tapi diambil sama Naya. Lo ingat, kan? Gue udah berusaha mati-matian ikut lomba Fisika kelas 10 kemarin biar hadiahnya buat biayain pengobatan bokap gue, tapi siapa yang menang? Naya, Pat! Dan seenak jidatnya dia ngambur-ngamburin duit itu buat traktir temen sekelas. Gak sadar kalau di luar sana masih banyak yang butuh."

"Tapi, Dit ...," ucap Patricia.

"Pat, gue tau lo stres, kan? Lo jadi perokok karena stres? Lo stres karena Kak Rian nolak lo? Dia lebih milih Naya, 'kan? Kok lu masih bisa baik sama orang yang udah ngerebut apa yang lo mau? Lo juga stres, kan, karena harus ngikutin gaya hidup Naya yang serba mewah?"

"Gue ... gue ngelakuin semua itu biar kita gak diliat seperti babunya Naya, Dit. Gue cuma berusaha ngimbangin Naya," jawab Patricia.

Mendengar itu, aku terduduk di lantai teras Dita. Menatap langit yang masih mendung. Anak-anak masih semangat bermain hingga satu per satu pulang saat butiran hujan kembali turun.

Walau kaki ini rasanya mati rasa tuk menopang tubuhku yang semakin lemah, tetapi semuanya harus diselesaikan. Melangkah maju dan mengetuk pintu rumah Dita yang terbuka. Kulihat Dita dan Patricia menatapku cukup kaget.

"Maaf, gue gak bilang-bilang mau ke sini," ucapku.

"Masuk, Nay!" sahut Patricia. Aku mengangguk dan duduk di hadapan mereka. Walau, Dita masih enggan melihatku.

"Sebentar doang, kok. Mungkin cuma lima menit. Dit, lo bisa liat gue, 'kan?"

Dita menatapku. Dia perempuan hebat yang selalu mengalah, selalu menjadi penengah di saat aku dan Patricia ada masalah. Sejujurnya, selama ini aku dan Dita tak pernah punya masalah.

"Gue mau minta maaf sama kalian. Gue salah, gue terlalu egois."

Tak ada yang bersuara. Bahkan, Dita memalingkan wajahnya kembali. Kulihat Patricia yang menggenggam erat jemari Dita. Aku merasa kecil dan cemburu.

Kutarik napas panjang dan kuembuskan secara perlahan. "Gue janji, besok, kalian gak akan sengsara lagi karena gue," ujarku.

"Sengsara?" tanya Patricia.

Aku mengangguk. "Iya. Oh iya, udah sore banget, gue pulang, ya."

Dengan cepat kulangkahkan kakiku keluar dan menjauh. Walau hujan semakin deras, tetap kutembus dan berlari lebih cepat agar tak ada yang melihatku dalam keterpurukan. Ya, Nayara adalah perempuan hebat dan selalu bahagia. Penilaian seseorang tentang hidupku yang sempurna harus tetap seperti itu.

Nayara sempurna, aku sempurna. Bagaimanapun, tak akan terlihat hancur.




Tbc.

Satu part lagi, yuhuuu~
Sampai di part ini, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca, memberi vote, memberi dukungan melalui komentar. Gak kubales, ya? Bukan sombong, ya, aku ngerasa seneng banget baca komentar-komentar kalian, lho! Sampe kujadiin instastory, story WA, saking senengnya. Jangan berhenti membaca dan memberi komentar, ya. Soalnya komentar kalian benar-benar penyemangat banget ^^

Nayara (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang