3 - Episode-Episode Sulit

259 46 1
                                    

Hari ini hampir sama dengan hari kemarin. Dari tadi pagi Tiara masih mengurung diri di kamar. Setelah asar, barulah dia memaksakan diri untuk keluar membeli beberapa keperluan dapur. Dia tidak boleh terus-terusan mengandalkan Nenek untuk memasak. Kasihan, Nenek sudah cukup capek mengurusi orderan jahitannya.

Nenek Hamida mulai menerima orderan jahitan untuk berbagai macam model pakaian sejak masih muda. Ruang tamu rumah mereka merangkap jadi ruang kerja Nenek. Katanya itu salah satu strategi marketing. Jadi kalau ada tamu, mereka bisa sekalian lihat-lihat hasil jahitan Nenek.

Tiara pernah menyarankan agar berhenti saja, biar dia yang fokus cari uang. Namun, Nenek Hamida bersikeras tetap menjahit selama fisiknya masih sanggup. Katanya, badannya malah pegal-pegal semua kalau tinggal diam.

Karena gagal menyuruhnya berhenti, Tiara pun mencari cara agar suasana kerja Nenek semakin nyaman. Tiara pun membelikan mesin jahit yang lebih canggih, serta semua hal yang bisa mempermudah pekerjaan Nenek. Beberapa bulan yang lalu Tiara juga membiayai penuh renovasi rumah itu sehingga tampak jauh lebih nyaman dari sebelumnya.

"Eh, mau ke mana?" tanya Nenek Hamida di balik mesin jahit begitu melihat Tiara melintas.

"Ke depan bentar, Nek."

Nenek Hamida tersenyum. Dia lega melihat anak itu mulai membaik. "Ya udah, hati-hati."

Tiara belanja kebutuhan dapur di toko Karni. Di pelataran toko kelontong yang lumayan besar itu, Ikbal menyewa tempat untuk berjualan tahu goreng. Meski hanya penjual gorengan, Ikbal lumayan populer karena paras tampannya yang sepintas mirip aktor Malaysia. Entahlah, Tiara tidak pernah benar-benar memperhatikannya. Yang dia tahu, Ikbal itu sangat ramah. Makanya dagangannya laris manis.

"Hei, Bal." Tiara menyempatkan diri menyapanya. "Buka lebih awal lagi?"

"Eh, Ra." Ikbal yang sedang memotong tahu, berhenti sejenak. "Kayaknya bakal seperti ini terus. Aku lagi menyiapkan sesuatu, jadi harus lebih rajin kerjanya."

"Mau nikah, ya?" tebak Tiara sambil mengacungkan telunjuk.

"Maunya, sih, gitu. Tapi calon aja belum punya, nih." Cowok hitam manis itu terkekeh.

"Maksudnya belum ada yang diiyain, kan? Padahal yang ngantri banyak."

"Ah, kamu bisa aja." Ikbal kembali memperlihatkan barisan gigi putihnya.

"Eh, aku masuk dulu, ya."

Ikbal mengangguk mengiyakan seraya mengulum senyum. Namun, baru dua langkah Tiara berpaling, dia kembali memanggil. "Ra!"

Tiara menoleh. "Hm?"

Ikbal malah menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Eh, nggak deh. Cuma manggil." Dia nyengir salting.

Tiara tersenyum sambil geleng-geleng, merasa aneh. Dia pun melanjutkan langkahnya.

Ikbal meringis samar. Padahal tadi itu dia mau bilang, kalau dia senang melihat Tiara bisa senyum lagi. Namun, entah kenapa dia merasa tidak pantas mengucapkan kalimat itu.

Sejak Tiara tinggal di rumah Nenek Hamida, sejak saat itu pula Ikbal menyukainya diam-diam. Namun, mengingat dirinya hanya tukang gorengan, dia terlalu minder untuk mengutarakan perasaannya. Hingga akhirnya Tiara menjalin hubungan dengan Haikal. Ikbal semakin menutup perasaannya. Dia hanya tidak tahu, bahwa hubungan Tiara dengan cowok tajir itu sedang tidak baik-baik saja, atau malah sudah bisa dikatakan berakhir.

"Melihat kamu ke sini lagi seperti menyaksikan tarian hujan setelah kemarau panjang," sambut Karni dari balik etalase.

"Lebay." Tiara mengibaskan jemari. "Eh, tapi, kok, aku nggak asing, ya sama kalimat itu?"

TIARA (Bukan Anak Pelacur) [SEGERA TERBIT]Where stories live. Discover now