4 - Pulang

259 43 3
                                    

Satu minggu sudah berlalu sejak latar belakangnya bocor ke publik. Namun, Tiara tidak merasakan ada perubahan berarti. Dia belum berani buka sosmed karena komentar miring netizen masih ada di mana-mana. Lebih parahnya lagi, dia seolah kehilangan kemampuan menulisnya.

Tiara sadar, dia tidak bisa seperti ini terus. Dia harus tegas terhadap hidupnya sendiri. Malam-malam panjang dia gunakan untuk merenungi, mencari cara untuk keluar dari fase ini. Dari sekian banyak cara yang sempat terlintas, pada akhirnya tetap kalimat Nenek Hamida yang berdengung paling keras.

"Pulanglah, Nak. Barangkali ada yang ingin Allah tunjukkan. Ingat, ridho Allah adalah ridho ibu."

Karena itu, setelah enam tahun kukuh dalam pendirian, hari ini Tiara memutuskan untuk pulang. Dia akan menemui Ibu, melihat kembali wajah yang pernah sangat dia kagumi. Meski setelahnya, dia tetap akan kembali menjalani kehidupannya yang sekarang. Dia hanya ingin membuat Ibu dan dirinya sendiri lebih tenang.

Nenek Hamida adalah orang yang paling senang mendengar keputusan itu. Entahlah, tapi dia merasa bersalah kalau gagal membujuk cucu angkatnya itu untuk berdamai dengan ibu kandungnya.

"Kamu nggak lupa jalan pulang, kan?" tanya Nenek Hamida dengan nada setengah bercanda tadi malam, sambil menemani Tiara berkemas.

"Ya nggak lah, Nek."

Tiara tidak berniat lama-lama. Jadi, dia hanya bawa satu ransel yang hanya muat beberapa pakaian.

Saat ini Tiara berada di teras, menunggu mobil jemputan. Karni dan Nenek Hamida menemaninya. Mereka masih setengah percaya bahwa hari ini akhirnya datang juga. Bertahan untuk tidak pulang selama enam tahun bukan keputusan main-main. Mereka tidak bisa membayangkan sedalam apa luka di hati Tiara.

Setelah menunggu sekitar sejam, akhirnya mobil datang juga. penumpangnya sudah penuh, hanya menyisakan satu kursi kosong di samping sopir yang memang sudah dipesan Tiara sejak semalam. Si sopir langsung turun dan memasukkan tas Tiara ke bagasi.

"Nek, aku berangkat, ya."

"Semoga kamu menemukan jawaban di sana."

Meski agak sangsi, Tiara mengangguk, kemudian mendekap Nenek Hamida sangat erat. Dari perempuan renta ini Tiara belajar, bahwa keluarga bisa saja terbentuk tanpa ikatan darah.

"Kar, titip Nenek, ya," ujar Tiara setelah melepas pelukan.

Karni langsung mengacungkan kedua jempolnya.

"Tunggu, Ra!" teriak Ikbal dari jarak beberapa meter.

Tiara urung masuk ke mobil. Dia langsung menoleh ke sumber suara.

"Ada apa, Bal?" tanyanya begitu cowok itu tiba di depannya.

Alih-alih menjawab, Ikbal malah menyodorkan sekantong penuh tahu goreng. "Buat di jalan," katanya seraya tersenyum.

"Loh, jam segini udah buka?" Tiara sigap menoleh ke arah stan Ikbal, tapi ternyata masih tertutup rapat.

"Nggak, itu aku bikin di rumah, khusus untuk menemani perjalanan kamu." Ikbal tahu rencana kepulangan Tiara tadi malam dari Karni. Karena itu, tadi subuh selepas shalat, dia langsung memasak tahu goreng andalannya untuk sang pujaan hati. Andai tahu-tahu itu bisa ngomong, dia tidak perlu setersiksa ini memendam perasaan.

"Wah, makasih banyak, loh. Tapi kayaknya ini kebanyakan, deh." Tiara terkekeh ringan.

"Sengaja, kok. Biar kamu bisa bagi ke penumpang yang lain. Kan, pasti kamu nggak enak kalau makan sendiri."

"Duh ... baik banget. Nggak heran, deh, kalau banyak pelanggan yang jatuh cinta."

"Apaan, sih." Ikbal mengibaskan jemari sambil mengedarkan pandangan. "Loh, Haikal nggak datang lihat kamu berangkat?" tanyanya spontan. Padahal, itu jelas-jelas nggak ada hubungannya sama dia. Namun, dia tidak bisa menahan pertanyaan itu.

TIARA (Bukan Anak Pelacur) [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang