5 - Bumi Mendadak Gelap

240 46 0
                                    

SELAMAT DATANG DI KOTA WATAMPONE

KOTA BERADAT BUMI ARUNG PALAKKA

Tiara melongok ke luar demi membaca kalimat itu pada gapura yang dibangun di perbatasan Kota Watampone. Senyumnya merekah. Dulu, sempat bercokol niatan di benaknya untuk tidak kembali lagi ke kota ini selamanya. Tidak akan melihat lagi gapura bermodel songkok recca[1] itu.

Tiara menarik napas dalam-dalam ketika mobil yang ditumpanginya mulai memasuki kawasan Desa Bajoe, membiarkan aroma khas kampung halaman memenuhi rongga dadanya. Dia mulai memikirkan kalimat pertama yang akan dia ucapkan kepada Ibu nanti. Haruskah dia menangis dan langsung berlari mendekap perempuan itu? Atau bersikap biasa-biasa saja? Dia mendadak gelisah.

Tiara penumpang terakhir yang diantar ke tempat tujuan. Penumpang lain sudah turun satu per satu sebelumnya. Mobil yang kini hanya berisikan dia dan sang sopir berhenti di depan Masjid Nurul Huda. Di samping masjid itu ada jalan setapak. Di ujung jalan itulah rumah kontrakan yang pernah dia tempati bersama Ibu berada.

Tiara melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Waktu menunjukkan pukul dua siang. Dia memang merencanakan akan tiba jam segini, ketika kebanyakan orang di kampung itu masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing atau sedang lelap dalam tidur siangnya. Jadi tidak terlalu banyak orang yang akan menyoroti kedatangannya. Benar saja, sepanjang jalan sepi. Hanya terlihat beberapa bocah di pinggir jalan yang tengah sibuk dengan permainannya, dunia yang hanya dimengerti oleh mereka.

Langkah Tiara berhenti di halaman sebuah rumah petak yang tampak tidak terurus dan terkesan kumuh. Dindingnya masih telanjang, memperlihatkan susunan batu bata tanpa lapisan semen dan cat atau apa pun. Daun-daun kering serta sampah plastik berserakan.

Ada apa dengan Ibu? Kenapa jadi tidak sempat mengurus rumah seperti ini?

Tiara melanjutkan langkah hingga tiba di teras. Setelah menimbang beberapa detik, akhirnya dia mengetuk pintu sambil mengucap salam. Berselang lama, tidak ada jawaban. Diulanginya lagi setelah bola matanya berputar sejenak mengamati langit-langit teras yang dipenuhi sarang laba-laba. Masih tidak terdengar jawaban. Tiara mengintip lewat jendela yang setengahnya tertutup gorden dengan warna yang mulai pudar. Tidak ada tanda-tanda Ibu sedang di dalam. Kemudian dia teringat dengan Tante Siska, rekan kerja Ibu sesama biduan. Perempuan yang gemar mewarnai rambutnya itu juga mengontrak sepetak rumah tepat di samping rumah mereka. Dia pasti bisa memberitahukan keberadaan Ibu. Tiara bergegas beranjak ke rumah sebelah. Setibanya, dia mendapati hal serupa. Rumah Tante Siska juga kosong.

Atau mereka sedang ada job siang?

"Tiara ...?" Seseorang menyapa dengan ekspresi setengah tercengang, ketika Tiara hendak mengulang mengetuk pintu rumah itu sekali lagi.

Tiara menoleh dan mendapati wajah yang sangat dia kenal. Perempuan paruh baya yang gemar berdaster itu adalah Bu Hasna, pemilik warung kelontong yang hanya berjarak tujuh rumah dari rumahnya. Dulu, Tiara sering belanja kebutuhan sehari-hari di sana.

"Kamu benar Tiara, kan?" Tatapan perempuan bertubuh gempal itu masih menyemburkan tanda tanya.

Tiara mengangguk seraya tersenyum. Kemudian dia mendekat untuk menjabat tangan Bu Hasna, menepis riak-riak heran di wajahnya yang mulai mengeriput itu.

"Kamu dari mana aja? Kenapa lama sekali baru pulang?"

"Kerjaka di Makassar, Bu."

Bu Hasna hanya ber-o panjang, meski dia yakin jawaban itu bukan alasan yang sebenarnya. Bagaimanapun, dia sangat mengenal Ibu. Dia paham benang merah yang melintang di tengah hubungan pasangan ibu-anak itu. Sering kali dia menyaksikan langsung hari-hari sulit yang terpaksa dilalui Ibu pasca ditinggal kabur sang anak.

TIARA (Bukan Anak Pelacur) [SEGERA TERBIT]Where stories live. Discover now