6. Yang hilang

43 1 0
                                    

Dimas menunjukkan raut wajah yang tidak terbaca oleh Delia. Banyak pertanyaan berseliweran di benak Delia.

Bagaimana hubungan kami? Apakah kami dulu dekat? Teman?

"Ya, kita teman, teman satu kampus, satu departemen juga..." Dimas menjawab.

"Hah?" Delia langsung menutup mulutnya dan memandang kaget ke arah Dimas yang baru saja menjawab pertanyaan dalam benaknya.

"Aku nggak membaca pikiranmu, kamu yang nggak sadar sudah mengucapkan pemikiranmu. Itu sudah jadi kebiasaanmu." Dimas menjelaskan sambil memandang lurus ke arah Delia.

Delia mencoba mengatasi perasaan kagetnya dengan pertanyaan lanjutan. "Mengapa kita tidak bertemu setelah aku masuk kampus lagi?"

"Karena aku sudah lulus dan wisuda, jadi hanya sekali waktu saja aku datang ke kampus. Teman satu angkatan kita juga hampir semua lulus. Jadi kamu pasti juga nggak akan bertemu dengan yang lainnya."

"Hmm... Jadi itu sebabnya aku nggak bertemu dengan banyak orang mengenalku...." Delia terdiam setelah menyelesaikan kalimatnya.

"Apakah kamu mengingat mereka?" Dimas mengeluarkan sebuah foto dari tasnya.

Delia melihat foto tersebut yang memuat background gedung rektorat kampusnya dan 6 orang yang tersenyum sambil mengobrol. Dimas dan Delia ada dalam foto itu. Delia menatap Dimas dan menggelengkan kepalanya.

Rasa kecewa terbersit dalam benak Dimas.

"Ini adalah kelompok belajar kita dulu. Ini Teguh, Najwa, Qiya dan Evan. Kita adalah teman yang sangat dekat", tegas Dimas.

Mendengar nama mereka disebutkan, memang tidak terasa asing bagi Delia. Namun saat akan mengingat masa kampus bersama mereka, kepala Delia berdenyut-denyut. Ia memicingkan matanya menahan rasa sakit itu.

Dimas melihat perubahan wajah Delia. Dimas sering melihat ekspresi Delia ini.

"Kamu kenapa? Apa yang sakit?"

"Hah? Nggak ada yang sakit kok", Delia berusaha meyakinkan Dimas.

"Jangan bohong padaku Delia. Kamu nggak pernah bisa", Dimas berkata dan memperlihatkan rasa kecewanya pada Delia.

"Kepalaku sakit,", Delia menyerah membohongi lelaki di hadapannya dan mengatakan yang sebenarnya.

Dimas memperlihatkan wajah cemasnya dan melihatnya membuat kepala Delia makin sakit dan membuat sebuah adegan muncul di ingatannya.

"Kamu kenapa?" Dimas mengusapkan tangannya ke hidung Delia yang tiba-tiba mimisan.

"Ah, makasih ..Aku nggak apa-apa, mungkin karena cuacanya panas sekali hari ini..." Delia langsung mencari tisu dalam tasnya dan menyeka darah yang mengalir dari hidungnya ia juga memberikan helaian tisu pada Dimas untuk membersihkan tangannya. Dimas memperlihatkan kecemasannya saat darah memenuhi tisu Delia.

Dentuman di kepalanya menyakiti Delia dan ingatan itu berlalu. Sekarang ia menghadapi Dimas yang memperlihatkan wajah cemas yang sama seperti dalam ingatan itu. Delia meneguk minumannya berharap rasa sakit itu menghilang. Rasa sakit itu mereda saat Delia mengatur nafasnya dan menunduk menatap gelas yang ia pegang.

Dimas menatap Delia dengan cemas.

Apakah Delia mengingat sesuatu sekarang? Apakah ia mengingatku juga?

"Masih sakit?" tanya Dimas.

"Sudah tidak begitu sakit. Mungkin karena aku mencoba mengingat mereka semua tadi" lanjut Delia sambil mengetukkan jarinya ke foto kelompok belajarnya.

"Jangan dipaksakan" kata Dimas.

Meskipun aku sangat ingin kamu bisa mengingatnya.

"Bolehkah kusimpan foto ini? tanya Delia.

"Boleh. Ayo kita pesan makanan juga" kata Dimas, seraya membuka buku menu yang ada di atas meja mereka.

Delia memasukkan foto mereka dalam tasnya. Delia merasakan lambungnya mulai sakit karena belum mendapat asupan makanan yang layak sejak pagi. Ia pun mulai melihat-lihat menu yang ada di atas meja.

Delia memesan nasi goreng dan Dimas memesan soto ayam.

Delia memandangi Dimas karena ingin menanyakan sesuatu.

Dimas melihat ke arah Delia dan berkata, "apa yang mau kamu tanyakan Delia?"

"Huh?" Lagi-lagi Delia terkejut karena Dimas bisa mengetahui pikirannya.

"Tidak perlu sekaget itu, kita saling mengenal selama 4 tahun dan sudah bisa membaca pikiran satu sama lain." Mau tak mau Dimas merasa kecewa, karena biasanya Delialah yang lebih jago membaca pikirannya.

Delia melihat perasaan kecewa sejenak berada di wajah Dimas.

Mengapa ia terlihat kecewa?

"Oke, benar aku mau menanyakan sesuatu, apakah kamu mau menceritakan padaku masa kuliah kita? Aku tidak punya bayangan sama sekali tentang itu" ucapnya.

"Dari mana aku harus bercerita?"

"Dari awal."

Selama mendengarkan cerita Dimas, Delia merasa Dimas menyembunyikan sesuatu. Tapi ia tidak mengatakannya langsung pada Dimas dan terus mendengarkan. Makanan mereka datang saat Dimas menyudahi cerita ospek mereka di kampus.

Delia melihat acar di nasi gorengnya dan menyesal karena tidak secara khusus meminta agar tidak pakai acar.

Melihat acar di makanan Delia, Dimas pun meminta piring Delia dan gadis itu memberikan tatapan heran pada Dimas.

"Sini, aku ambil acarnya. Kamu nggak suka kan?" lanjut Dimas sambil mengambil acar dari piring Delia.

Delia menganggukkan kepalanya dan mengucapkan terimakasih pada Dimas. Lagi-lagi Dimas menunjukkan pengetahuannya tentang kebiasaan Delia, dan hal ini membuat rasa penasaran Delia semakin tinggi akan cerita masa lalu mereka.

"Bagaimana awalnya kita bertemu dengan 4 orang lainnya?"

"Hmm, tugas presentasi dari Bu Venny di psikologi perkembangan membuat kita jadi satu kelompok. Setelahnya kita selalu..."

Kepala Delia terasa mulai sakit.... Dan Dimas berhenti berbicara karena melihat rasa sakit di wajah Delia.

Apakah aku terlalu memaksanya? Aku nggak suka harus melihatnya kesakitan seperti ini.

"Sebaiknya kita berhenti, kamu nggak apa-apa?"

Delia tidak mendengar ucapan Dimas karena adegan yang tiba-tiba muncul kembali.

"Presentasi yang sangat menakjubkan, kata seorang wanita cantik dalam kelas. Sumber referensi yang lengkap, saya yakin anggota kelompok ini sudah bekerja sangat keras. Beri applause bagi kelompok pertama ini!, lanjutnya."

Kami kembali duduk di kursi kami dan Dimas menepuk bahuku.

"Delia, aku dengar dari kakak kelas dosen ini jarang sekali memberikan pujian pada mahasiswanya. Kita sudah melakukan yang terbaik!" Dimas tersenyum sangat lebar dan Delia menyukainya.

Rasa sakit di kepalanya menjadi tak tertahankan, sekelilingnya menjadi gelap dan Delia pun terjatuh dari kursinya.

UPS, sampai disini dulu update-nya. Ditunggu vommentnya readers!

Di suatu kelas,
Maifreya20

Did we met before?Where stories live. Discover now