10. Konsultasi

31 2 2
                                    

Ting tong~

Suara bel apartemen Delia berbunyi jam 7.30 pagi ini.

Sambil memegang segelas susu yang hendak dijadikan sarapan Delia membuka pintu dan melihat Satria yang membawa bungkusan eco-bag di tangannya dan memberikan senyumnya yang paling lebar untuk Delia.

Delia menahan nafasnya karena terkejut lalu mengerjapkan matanya sekali lagi untuk meyakinkan dirinya bahwa yang ada di hadapannya adalah lelaki yang sama yang telah memeluknya dengan spontan semalam.

Awalnya Satria masih mengeluarkan senyumannya, namun bibir Satria perlahan mengerucut karena melihat gelas susu di tangan Delia.

"Ish, lagi-lagi mau minum susu doang ya mah?" tuduh Satria.

Delia dengan tawa gugup langsung mengaku,
"Hehehe...Iya.... Kirain siapa pagi-pagi. Bawa apa, Pah?" tanya Delia sambil mencoba menenangkan kegugupannya.

"Bawain kamu sarapan, kamu kan nggak bisa dibilangin. Jadi aku bawain kita sarapan," kata Satria sambil memperlihatkan isi eco-bagnya pada Delia.

Ia melihat bungkusan bubur kesukaannya lengkap dengan sate usus dan telur puyuh favoritnya.

"Hee? Kita? Papah juga ikut sarapan?"

"Iyalah aku kan laper juga. Masa aku liat kamu makan aja. Aku kan juga kepengen.... Mmmm....Aku boleh masuk kan Mah?"

Satria agak menyesal dengan perbuatannya semalam karena biasanya Delia langsung menyuruhnya masuk begitu melihatnya di depan pintu apartemen.

"Eh, iya. Ayo masuk Pah." Delia baru menyadari kebodohannya yang sedari tadi belum juga mempersilakan Satria masuk apartemennya.

Mereka duduk sambil menikmati bubur dalam diam. Bukan apa-apa, Delia masih bingung bagaimana harus bersikap di depan sahabatnya ini. Satria pun akhirnya tidak tahan dengan keheningan di antara mereka.

"Mah, maaf ya kalau gara-gara semalem kamu jadi kepikiran. Sebenarnya nggak niat begitu caranya sih... Sejak ketemu sama mamah lagi, aku ingin jadi orang yang ngebuat kamu senyum setiap hari, yang jadi tempat berbagi cerita tiap kamu butuh, pokoknya aku ingin jadi orang yang istimewa buat kamu mah, dan mungkin yang lebih dari sekedar sahabat kamu. Jadi maaf kalau semalam tindakan aku bikin mamah kaget. Dan aku paham banget kalau mamah masih belum siap." Dengan jujur dan tulus Satria mencoba menyampaikan segala hal yang sejak semalam sudah mengganggu pikirannya.

Satria melihat Delia terus mengaduk buburnya.

"Hmmmm, jujur Pah, aku bukannya nggak tahu kalau papah tulus banget sayang sama aku. Aku juga sayang kamu pah. Tapi untuk yang semalam, aku beneran nggak tau harus kasih reaksi apa. Papah nggak marah kan?"

Delia mengangkat wajahnya untuk menatap mata Satria. Mata teduh Satria berbalik menatapnya, Satria lalu mengusap rambutnya perlahan.

"Nggak, aku nggak bisa marah sama kamu mah. Mana mungkin bisa. Aku akan berusaha ngerti mah. Aku janji, kita pelan-pelan saja mengerti perasaan masing-masing", ujar Satria sambil memberikan senyuman lembut pada Delia.

Delia merasa lega dengan perkataan Satria. Begitulah Satria, selalu nyaman untuk jadi tempat Delia untuk jujur dengan perasaannya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Delia tidak pernah suka bau rumah sakit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Delia tidak pernah suka bau rumah sakit. Namun pagi ini ada janji yang harus ia tepati dengan terapisnya dokter Sadewa.

Delia memasuki ruangan dokter Sadewa perlahan. Dokter Sadewa langsung tersenyum melihat kedatangannya.

"Tepat waktu seperti biasanya Del."

"Iya dok... Kan dianter..."

"Ah, iya sama Satria ya? Tumben orangnya nggak ikut masuk? Kemarin sampai kalut karena kamu hilang dan nggak bisa dihubungi, terus malemnya nyetel musik galau terus."

"Too much information Dok... Masa adik sendiri digituin. Aku yang larang dia kali ini untuk masuk."

"Kayaknya serius nih pembicaraan kita hari ini. Ada apa kemarin?" Kata Dokter Sadewa sambil mempersilahkan Delia untuk duduk di hadapannya.

Delia menarik nafasnya panjang. "Kemarin aku ketemu orang dari masa yang nggak bisa aku ingat lagi Dok... Kami dulu teman kuliah, dan kemarin benar-benar hari yang melelahkan, karena setiap kata dan setiap gesture kecil darinya memunculkan bayangan-bayangan ingatan dan rasanya lelah banget lihat semuanya. Saking lelahnya di hari itu, aku pingsan Dok... Dan itu saat Satria nggak bisa hubungin aku..."

Delia meremas kedua lututnya dan menarik nafas panjang kembali. "Sekarang aku nggak tahu apakah aku siap menghadapi dia lagi Dok..."

"Hmm, yang bisa memutuskan kamu siap atau nggak ya diri kamu sendiri Del, sekalipun aku bisa kasih saran, tapi tetap yang akan jalanin itu kamu. Jadi siap atau nggaknya cuma kamu yang bisa menentukan."

Delia menyetujui perkataan terapisnya itu. Memang nantinya dia yang akan menjalani hidupnya, bukan orang lain. Arahnya akan kemana, Delia merasa biar semesta juga ikut menentukan. Kalau pada akhirnya semua harus dia ingat kembali maka dia akan ingat, meski dirinya sendiri tidak yakin sanggup melewati masa-masa itu nantinya.

"Seberapa banyak kesempatan kamu untuk ketemu lagi sama teman kuliahmu itu?" Selidik Dokter Sadewa.

"Kemarin sih memang aku yang sempatin diri untuk ketemu Dok, nanti kalau aku udah ngerasa lebih baik. Aku akan coba lagi."

"Seperti kataku tadi, kalau kamu sudah siap silahkan saja Del, tapi ada baiknya kamu tetap mengabari seseorang kalau kamu mau ketemu lagi sama teman kuliahmu itu. Setidaknya kalau terjadi apa-apa, ada yang punya informasi tentang kegiatan kamu..."

"Maksudnya Satria ya Dok?" Tanya Delia.

"Nggak harus Satria sih, ya tapi mungkin Satria orang terdekat kamu sekarang ini ya? Bisa siapa aja yang penting ada yang tahu keberadaan kamu."

Dokter Sadewa menyentuhkan telapak tangan kanannya ke belakang lehernya lalu melanjutkannya.
"Kesannya aku jodoh-jodohin kamu banget ya?"

"Iya Dok, hehe..." Delia menganggukkan kepalanya sambil meremas tepian bajunya.

"Nggak niat gitu sih Del, cuma lebih baik aja supaya ada yang tahu. Nggak harus Satria kok."

"Oke dok..." Ujar Delia perlahan.

"Waktu tidur kamu gimana? Nggak keganggu lagi kan?"

"Ah, enggak kok Dok, aku juga udah jarang minum obat tidurnya paling cuma pas banyak petir aja keganggu."

"Obat lainnya?" Lanjut Dokter Sadewa.

"Ah, aku simpan saja Dok. Tapi selalu kubawa kemana-mana kok dok. Sekarang ini nggak pernah aku minum lagi kalau aku memang nggak butuh." Jelas Delia.

"Oke, jangan segan bilang kalau kamu masih butuh. Tapi aku pribadi lebih ingin kamu juga nggak terlalu banyak bergantung sama obat."

"Iya Dok, iya." Ujar Delia sambil sedikit menganggukkan kepalanya.

Setelah selesai dengan sesi terapinya, Delia perlahan keluar dari ruang konsultasi. Matanya langsung membulat saat bertatapan langsung dengan seseorang yang sama sekali tidak ia duga.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Maaf lama nggak update, tinggalkan komen ya buat yang mampir. Makasih! ❤️

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 19, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Did we met before?Where stories live. Discover now