Kamis, 16 Januari 2014

811 143 1
                                    

"Iya, serius. Ini gue udah di apartemen Aldi," jawab saya pada Hilda lewat telepon.

"Terus dia pulang jam berapa?" tanya Hilda lagi.

"Eum ...," saya melihat jam di pergelangan tangan saya yang sekarang sudah menunjukkan hampir pukul 10 malam, "terakhir dia kasih kabar gue sekitar sejam yang lalu, baru mau balik ke Jakarta."

Saya masih sibuk menata lilin diatas kue tart, setelah tadi berhasil meniup sepuluh balon yang kini sudah bertebaran di lantai ruang tamu. Hari ini adalah hari ulang tahun Aldi, saya berniat memberinya kejutan. Tadi pagi saya hanya mengucapkan lewat pesan singkat, karena Aldi yang memang sedang berada di Bandung.

"Padahal dia umurnya bukan tujuh belas tahun lagi."

Saya terkekeh, dan langsung lilin angka 24 di atas kue tersebut. Aldi tujuh belas tahun, tujuh tahun yang lalu.

"Matiin lampunya nanti aja kalau dia udah mau sampe." Hilda memperingatkan saya sebelum menutup telepon.

Kini terasa sangat sepi sekali, padahal televisi sudah saya nyalakan sejak baru sampai. Tahun lalu, tidak ada perayaan seperti ini untu ulang tahun Aldi. Saya hanya memberi ucapan selamat dan hadiah saat makan malam. Aldi juga sebenarnya yang tidak mau diberi kejutan.

"Aku bukan anak kecil lagi, Nja."

Begitu katanya kalau saya berniat membelikan Aldi kue dan melakukan tiup lilin. Benar kata Aldi dan Hilda, Aldi bukan anak kecil lagi. Tapi saya ingin melakukannya. Entah kenapa membayangkannya pun terasa menyenangkan.

Malam ini, saya dan Aldi berencana untuk makan malam bersama, sama seperti ulang tahun Aldi sebelumnya. Tapi kali ini saya mengajaknya untuk makan malam di apartemennya saja, karena dia juga pasti lelah baru pulang dari Bandung. Saya menyuruhnya membeli makanan di jalan, Aldi tahu kalau saya tidak pandai memasak. Aldi juga tahu saya sudah menunggunya di apartemen, tapi dia tidak tahu kalau saya punya rencana lain.

Karena merasa bosan, saya masuk ke kamar Aldi. Wangi khas seorang Aldi Rasendriya langsung menyeruak ke dalam hidung saya. Aldi itu pria yang rapi, sangat rapi. Hanya ada satu atau dua baju yang menggantung di balik pintu kamar. Tempat tidurnyapun tidak bernah berantakan. Satu yang selalu membuat saya senang kalau masuk ke kamarnya, sebuah foto yang terbingkai rapi di atas nakas. Foto saat kelulusan saya, satu tahun yang lalu.

"Aldi, kamu masih lama?" tanya saya pada Aldi di seberang telepon.

"Aku udah di basement."

Jawaban Aldi membuat saya langsung keluar kamar dan kembali menuju ruang tamu.

"Oh gitu, ya udah."

Setelah tanpa ragu mematikan lampu seluruh ruangan, saya langsung menyalakan lilin di kue tersebut. Lalu bersembunyi di tempat yang-semoga-tidak terlihat olehnya ketika pertama kali masuk ke dalam.

Beberapa menit kemudian, saya mendengar Aldi membuka pintu. Rasa gugup dengan degup jantung yang tak keruan semakin terasa. Keringat dingin pun sepertinya sudah muncul sedari tadi.

"Senja?" Aldi menyalakan lampu ruang tamu.

"Kejutan!!!" seru saya sambil muncul dari tempat persembunyian. "Selamat ulang tahun, Aldi Rasendriya!" Saya berjalan mendekatinya yang masih terdiam di tempat.

"Apaan, sih, Nja?" Aldi terkekeh.

"Ayo tiup lilinnya," pinta saya dengan suara yang sedikit bergetar. Saya masih gugup sepertinya.

Aldi mengikuti saja, dia meniup lilin setelah membuat permohonan dalam hati. Saya yang melihatnya hanya bisa tersenyum.

Aldi menatap saya, lekat. "Senja, kamu-" Dia tak melanjutkan kalimatnya, tapi langsung menaruh kue yang saya pegang ke atas meja.

Kemudian memeluk saya. Erat.

"Al..di," ucap saya secara terbata. Tubuh saya benar-benar bergetar hebat. Ada apa ini?

"Nggak apa-apa. Aku di sini. Nggak usah takut." Aldi mengusap lembut rambut saya. Dia menenangkan saya yang ternyata sekarang sedang sangat ketakutan.

Setelah beberapa saat dalam posisi seperti itu, Aldi mulai merenggangkan pelukannya. Kemudian dia menatap saya dalam, mengusap keringat dingin yang memenuhi pelipis saya.

"Aku di sini, Nja. Nggak usah takut," ucapnya lagi.

Saya sudah mulai tenang. Kini saya bisa membalas tatapan matanya, mengatakan kalau saya sudah baik-baik saja. Aldi terlihat sangat khawatir, saya jadi merasa bersalah.

"Maafin aku."

"Aku yang makasih sama kamu."Aldi mengusap rambut saya lagi. "Tapi nanti, jangan kasih aku kejutan kayak gini lagi ya? Nggak usah ada acara gelap-gelapan terus bawain kue lagi." Dia terkekeh.

Saya mengangguk sambil cemberut.

Buku HarianWhere stories live. Discover now