Kamis, 17 Mei 2018

760 140 40
                                    

Saya merapikan lagi tali yang saya simpulkan berbentuk pita pada bagaian depan kerah kemeja yang saya kenakan. Mengaplikasikan maskara dengan hati-hati, lalu merapikan tataan rambut yang kini saya ikat satu.

Saya tak ada waktu untuk pulang ke apartemen atau rumah untuk mengambil pakaian baru. Semalam karena terlalu asik berbincang canggung dengan keluarga Kak Laras, sampai lupa waktu. Akhirnya saya disuruh menginap. Selain jarak rumah Kak Laras dan tempat saya bekerja yang lumayan jauh, kemacetan juga menjadi kendala saya tidak bisa pulang terlebih dahulu. Jadi saya meminta pertolongan Hilda untuk meminjamkan pakaian miliknya. Kebetulan ukurannya tidak jauh berbeda.

"Lama banget sih," gerutu Hilda yang sedari tadi menemani saya di toilet untuk ganti pakaian.

"Nggak kegedean lan?" tanyanya lagi. "Itu kemeja yang gue beli waktu berat badan gue naik soalnya." Hilda terkekeh.

"Nggak apa-apa. Daripada gue pakai baju yang kemarin."

Hilda kemudian mencium rambut saya secara tiba-tiba. "Lo nggak keramas ya?"

"Bau ya?" Saya ikut mencium rambut saya juga beberapa kali.

"Nggak sih. Cuma nggak wangi aja," ucapnya sambil melangkah keluar dari toilet.

"Jadi gimana semalem? Ketemu sama bokap nyokapnya Aldi?"

Saya mengangguk.

"Trus, trus?"

Saya menghela napas, mengingat kembali apa yang dikatakan Tante Farah saat hendak tidur. Ya, saya tidur bersama Tante Farah. Dan Om Arya terpaksa tidur di ruang tamu.

"Aldi bakal senang kalau kamu bahagia, Nja."

Dari cahaya lampu remang yang hanya terpancar dari lampu tidur di atas nakas, saya menatap Tante Farah. Lagi-lagi beliau tersenyum. Saya berusaha untuk membalas senyumnya, berusaha untuk terus menahan air yang terus menumpuk di sudut air mata dan berdesakan meminta keluar.

"Kamu pasti dapat yang lebih baik."

Saya heran, kenapa akhir-kahir ini beberapa orang mengaitkan kondisi saya yang sekarang dengan Aldi. Apa saya terlihat semenyedihkan itu? Saya akan lupa kalau saja kalian semua tidak mengungkit kejadian itu terus menerus. Seharusnya seperti itu. Mungkin.

"Aku ... udah punya pacar, Tante." Dan..., kalimat itu terucap begitu saja tanpa saya pikirkan terlebih dahulu.

"Tante seneng dengernya." Mata Tante Farah sedikit berbinar. "Pasti baik dan ganteng." Seperti Aldi?

"Dia sayang sama aku." Seperti kata Aldi terakhir kali.

"Dia baik sama aku." Seperti bagaimana Aldi memperlakukan saya.

"Dia juga ganteng." Seperti ... Aldi.

"Tante jadi pengen ketemu sama cowok itu."

Saat itu saya hanya bisa tersenyum, tak menjawab. Sampai detik ini, saya masih merasa bersalah pada Tante Farah. Membohonginya seperti itu bukan salah satu hal yang saya rencanakan. Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut saya.

"Bagas, tolong sekalian copy-in ini, ya. Nanti langsung kasih ke Mbak Lusi." Saya memberikan selembar kertas pada Bagas yang tadi sedang berjalan menuju mesin fotocopy.

"Nja, lo nggak niat cari pacar gitu?" Suara Hilda masih terus meracau sejak tadi. "Udah empat tahun, Nja, masih belum move on juga?"

Saya menoleh ke arahnya yang kini sedang menatap layar monitor sambil memakan keripik kentang. Saya menghembuskan napas kasar, lalu pandangan saya teralih pada kalender di atas meja. Sudah tanggal tujuh belas Mei.

Buku HarianWhere stories live. Discover now