Minggu, 10 Juni 2018

805 145 11
                                    

Kalau bukan karena ucapan Fajar saat itu, saya mungkin sudah ada di salon sejak sore tadi untuk memasang hair clip di rambut saya. Saya bukan tidak suka dengan potongan rambut saya yang sekarang, tapi hanya tidak percaya diri saja. Juga ... merasa sedikit aneh.

"Cewek begitu ya kalau mau kondangan? Dandannya lama banget."

Saya mendelik, menatap tajam ke arah Fajar yang kini sudah duduk di kursi penumpang. Ini Fajar sendiri yang meminta saya agar yang menyetir mobil itu saya.

Fajar memang tadi hampir setengah jam menunggu saya selesai ber-make up. Fajar dengan sabarnya memperhatikan saya yang sedang mengaplikasikan sesuatu ke wajah tanpa protes. Dia hanya sesekali bertanya pada saya tentang make up yang kebetulan saya pakai.

"Itu apa namanya?"

"Lipstik itu ada rasanya nggak? Manis?"

"Itu yang mengkilap-kilap apa namanya?"

"Emang begitu cara pakenya?"

Karena pertanyaan-pertanyaan itu saga jadi tahu kalau Fajar tidak sependiam yang saya kira. Dia lebih cerewet ketika punya rasa ingin tahu.

"Nanti kalau saya canggung ketemu sama temen-temen kantor kamu, bantuin ya."

Saya menoleh, terkekeh. "Ngobrol kayak biasa aja, temen saya nggak ada yang suka makan orang kok."

Setelah mobil berhenti, Fajar langsung bergegas untuk turun dari mobil dan mengitari mobil untuk membukakan pintu di tempat pengemudi. Tidak tahu juga apa tujuannya, tapi lagi-lagi itu mampu membuat saya tersenyum.

Pintu mobil sudah terbuka, Fajar sudah mempersilakan saya untuk turun, tapi saya malah bercermin terlebih dulu, melihat apakah tataan rambut saya berantakan atau tidak, apakah lipstik yang saya gunakan sudah luntur apa belum. Padahal, perjalanan ke sini hanya memakan waktu kurang dari lima belas menit.

Fajar tiba-tiba mengisyaratkan tangan saya untuk memegang tanganya, mengaitkannya ke sana. "Biar kamu nggak ilang," katanya.

Walau saya sedikit cemberut karena perkataannya, saya tetap menaruh tangan saya di sana, lalu berjalan beriringan masuk ke dalam ballroom.

Hilda bilang, teman-teman kantor sudah sampai sejak tadi. Jadi sepertinya saya langsung saja bergabung dengan mereka. Fajar tidak apa-apa kan? Karena kalau misah juga tidak enak dengan yang lain. Ya, semoga Fajar tidak masalah dengan ini.

"Nja?!" Hilda melambaikan tangannya pada saya, di sampingnya sudah ada Bagas juga yang melihat ke arah saya.

Saya menoleh ke arah Fajar, Fajar juga.

"Mau ke sana dulu apa samperin pengantinnya dulu?" tanya Fajar.

Saya bergumam panjang. Lalu kembali mengalihkan padangan ke arah Hilda dan Bagas, saya menunjuk-nunjuk arah pelaminan, memberi isyarat kalau saya akan ke sana terlebih dahulu sebelum menghampiri mereka.

Setelah Hilda mengacungkan jari jempolnya, saya langsung bergerak ke arah pelaminan untuk menghampiri Mbak Lusi dan suaminya, mengucapkan selamat, lalu kembali turun. Yang terpenting, Mbak Lusi tahu kalau saya datang malam ini.

"Ke sana nggak apa-apa kan?" tanya saya pada Fajar untuk mengajaknya bergabung bersama teman kantor saya.

Fajar tersenyum. "Nggak apa-apa."

Lalu saya benar-benar mengajak Fajar ke sana, ke tempat teman-teman saya yang sudah duduk dan sedang menikmati beberapa makanan dan minuman. Setelah saya perhatikan, ternyata ada Mbak Ana juga di sana, yang entah sejak kapan ada di sana. Mungkin sejak tadi, tapi saat Hilda memanggil saya, saya tidak menyadari keberadaannya. Atau mungkin baeu bergabung saat saya dan Fajar bertemu dengan kedua mempelai.

"Duduk, Nja." Hilda memberi kursi kosong di sampingnya dan saya mempersilakan Fajar untuk duduk di samping saya.

"Pacar baru ya, Mbak?"

Pertanyaan Bagas barusan membuat Fajar yang baru meminum minumannya langsung terbatuk, dan saya dengan cepat menepuk pelan leher bagaian belakangnya dan mengusap punggungnya. Memangnya yang datang berdua dengan lawa jenis ke pernikahan orang lain itu harus berpacaran saja?

"Bukan ya?" Bagas meringis, seperti menyesali pertanyaannya yang tadi. "Tapi semoga disegerakan ya, Mbak. Biar cepet nyusul Mbak Lusi."

"Masnya yang di coffee shop, 'kan?"

Itu suara Hilda.

Saya memejamkan mata sejenak, berusaha tenang sebelum suara Fajar membuat saya kembali membuka mata.

"Iya, kirain Mbaknya nggak inget sama saya," jawab Fajar dengan senyum khasnya.

Tolong, jangan tersenyum seperti itu. Saya takut Hilda akan jatuh pada lubang yang sama dengan saya. Cukup saya saya, tidak boleh ada yang lain.

Oke, saya sedikit sensitif dengan hal itu.

"Kenal sama Mbak Ana dong."

Ucapan Bagas membuat saya menoleh ke arah perempuan yang duduk di samping kiri Fajar. Fajar juga melakukan hal yang sama, dia menunduk sopan pada Mbak Ana ketika pandangan mereka saling bertemu. Tapi anehnya saya tidak melihat adanya gelombang yang dipancarkan layaknya seorang pegawai kepada atasannya. Ini memang aneh, tapi saya merasa seperti memang ada yang keduanya sembunyikan. Entah Hilda dan Bagas menyadari atau tidak.

"Kapan-kapan traktir saya kopi gratis boleh kali, Mas," ucap Bagas.

"Boleh, Senja juga sering saya traktir kok."

Dan ucapan Fajar berhasil membuat Mbak Ana terbatuk. Seperti yang tadi saya lakukan pada Fajar, Fajar juga melakukan hal yang sama pada Mbak Ana. Wajar sebagai pemilik kedai kopi terkejut mendengar kelakuan pegawainya. Saya tidak yakin kalau setelah ini Fajar masih bisa bekerja di sana atau tidak.

Apa setelah ini saya yang harus berbicara pada Mbak Ana, kalau jangan memecat Fajar karena telah memberikan minuman pada saya beberapa kali?

"Hati-hati kenapa sih," gumam Fajar dengan pelan, namun masih mampu saya dengar.

***

"Kalau habis ini kamu dipecat, gimana?" tanya saya khawatir.

"Dipecat gimana?"

Saya menoleh serius ke arah Fajar, kemudian kembali menatap ke arah jalanan. "Itu gara-gara kamu suka kasih saya minuman gratis."

Fajar tertawa, lalu mengusak rambut saya pelan. Kali saya tidak akan marah, karena acaranya susah selesai, jadi saya tidak terlalu memperhatikan penampilan saya, rambut saya, make up saya, saya tidak peduli lagi. "Saya nggak akan dipecat, Nja."

"Ini kan kalau."

"Ya, emang nggak akan dipecat. Percaya sama saya."

"Tapi kalau dipecat beneran, jangan nyesel karena udah ngasih minuman gratis sama saya ya."

Fajar tertawa lagi. Sepertinya dia memang sedang dalam mood yang baik malam ini. Saya berkali-kali melihatnya tersenyum dengan lebar, tertawa dengan renyah, dan melakukan gestur-gestur yang menyenangkan lainnya. Bahkan Fajar tak canggung untuk melakukan perbincangan dengan beberapa teman kantor saya, seperti yang dikhawatirkan sebelumnya.

Saya senang akan hal itu.

"Nggak, Nja. Saya nggak akan nyesel kok, malah saya seneng bisa bikinin kopi sama cokelat kesukaan kamu. Kamu juga seneng kan?"

Seneng banget. Saya menoleh, memberikan senyuman terbaik saya. "Seneng, saya seneng bisa ketemu sama kamu."

Kali ini saya menyadari satu hal, kalau datang ke pernikahan seseorang, berhadapan dengan yang namanya pernikahan sudah tidak lagi membuat saya gelisah dan sedih secara berlebihan. Saya sudah biasa saja. Bolehkah saya katakan kalau ini karena saya bertemu dengan Fajar? Ini karena Fajar yang perlahan membuat saya sembuh? Sembuh dari rasa sakit dan rasa nyeri.

Tidak salah kan kalau saya berkata bahwa saya senang bertemu dengan Fajar? Saya senang, terlalu senang, teramat senang. Sampai saya sendiri tidak tahu bagaimana mengatakan dan menggambarkannya. Apa saya sudah jatuh sedalam itu? Sungguh? Tidak apa kan? Aldi pasti senang melihat saya senang kan? Karena Aldi pernah bilang, bahagia saya, bahagianya juga.

Buku HarianWhere stories live. Discover now