EPILOG

1.6K 168 96
                                    

very looooooooonngggg chapter

Fajar

Jumat, 04 Mei 2018

Saya sengaja menyetel alarm lebih pagi dari biasanya. Semalam saya sudah pergi ke supermarket untuk menyiapkan ini semua. Ana yang memang saya paksa menginap di sini juga dengan ogah-ogahan membantu saya menyiapkan beberapa porsi nasi goreng untuk tetangga-tetangga baru saya di apartemen ini.

Dan yang pasti sepiring porsi yang sangat istimewa.

"Kan gue bilang, mending beli catering aja. Ribet banget sih lo, Kak." Ana kembali mendumal.

"Lo kan tinggal motong-motong itu doang, yang masak gue!" Kemudian saya menyalakan kompor dan memasukan margarin.

"Gue harus ke kantor hari ini."

"Iya, tahu," jawab saya singkat. Tidak lagi mempedulikan segala keluhan Ana selama membantu saya memasak.

Beruntung, kemarin petugas keamanan di sini memberitahu saya tentang sesuatu yang biasa dibilang... tradisi? Untuk memberi makanan sebagai tanda kekeluargaan antar tetangga apartemen. Biasanya dilakukan oleh penghuni baru, sambil memperkenalkan diri juga.

Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam untuk memasak beberapa porsi itu, akhirnya di hadapan saya sudah ada sepiring nasi goreng yang jelas saya buat dengan sepenuh hati. Saya sudah menghiasnya sedemikian rupa, menyicipinya agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.

"Jadi gue yang nganter ke tetangga lain, sementara lo nganter itu ke Senja?" Ana tidak terima.

Saya mengangguk.

Saya tahu raut wajah Ana benar-benar tidak terima, tapi akhirnya dia pasrah juga.

Sementara Ana masih menyiapkan beberapa piring nasi goreng di sana, saya sudah bersiap untuk ke apartemen sebelah; di mana Senja tinggal. Berharap, Senja belum membuat sarapan atau bahkan berangkat ke kantor.

Di depan pintunya, saya menarik napas dalam-dalam, entah kenapa ini jadi sangat gugup. Kalau ini berjalan sesuai rencana, maka ini adalah yang pertama kali saya dan Senja bertatap mata secara langsung, ketika bertahun-tahun lalu saya hanya bisa menyaksikannya dari kejauhan.

Bel saya tekan sekali, beberapa saat saya menunggu sampai akhirnya pintu terbuka dan seorang yang selama ini saya dambakan berada tepat di hadapan saya dengan tatapan bingungnya.

Setelah sedikit berbasi-basi dan saya sedikit meyakinkan dirinya kalau nasi goreng yang saya bawa tidak beracun atau berbahaya untuknya, Senja menerima piring tersebut dengan senyum yang mengembang. Saya tidak peduli senyuman itu tulus atau hanya sekedar tanda sopan santun saja, yang penting saya sudah berhasil berhadapan dengan dirinya dan melihat senyumnya.

***

Sabtu, 12 Mei 2018

"Apa beneran nggak mau dicoba lagi?"

Saya tersenyum. Ketir. Sudah saya katakan entah berapa kali kalau saya menolak segala bentuk pengobatan yang disarankan oleh banyak orang termasuk Dokter Hadi, seseorang yang sekarang sedang berada di hadapan saya sekarang.

"Kenapa, Jar? Kamu masih punya harapan buat hidup lebih lama lagi daripada sekedar hanya minum obat."

Saya tersenyum lagi. "Tapi presentase itu semakin kecil, Dok kalau dibandingkan yang sebelumnya."

Dokter Hadi menghela napas. Mungkin beliau juga sudah mulai lelah membujuk saya untuk kembali melakukan pengobatan seperti yang saya lakukan selama lima tahun dulu.

Buku HarianDove le storie prendono vita. Scoprilo ora