Minggu, 13 April 2014

675 134 4
                                    

"Aldi, kamu masih di mana?"

Saya dan Nita memperhatikan Kak Laras yang sedang berbicara dengan Aldi lewat telepon. Lalu tak lama kembali dengan wajah yang tak bisa saya tebak.

Kami sedang berada di tempat catering untuk memilih beberapa menu makanan yang nanti akan disajikan di acara pesta pernikahan saya dengan Aldi. Tapi Aldi belum juga datang sampai sekarang.

Awalnya hanya saya dan Aldi yang akan mengurus ini. Tapi kami berdua buta soal masalah makanan seperti itu. Ingin mengajak Mama dan Tante Farah, tapi mereka berdua juga menyerahkan semuanya kepada saya dan Aldi. Karena katanya, mereka tidak tahu soal masakan masa kini. Berakhirlah saya mengajak Nita yang hobi makan dan Kak Laras yang punya pengalaman soal pernikahan.

"Aldi nggak bisa dateng. Katanya, ada urusan mendadak. Gimana? Mau dibatalin aja hari ini?" Kak Laras terlihat sedikit merasa tidak enak.

"Yah, nggak jadi makan dong hari ini." Nita langsung menjawab.

Saya diam. Aldi memang akhir-akhir ini sedikit susah dihubungi. Saya tahu dia sedang mengerjakan proyeknya di Bandung yang hampir selesai. Tapi semalam, Aldi bilang akan datang. Dia sudah izin pada atasannya untuk ini. Jadi saya beranggapan kalau mungkin ini memang benar-benar mendesak.

"Nggak apa-apa, Kak. Aku udah janji sama pihak catering-nya hari ini. Nggak enak kalau tiba-tiba dibatalin," ujar saya sambil berusaha tersenyum. "Soal Aldi, nanti biar aku yang urus."

"Nggak apa-apa?"

Saya mengangguk.

Akhirnya kami bertiga mulai memilih beberapa menu makanan. Mulai dari makanan tradisional sampai makanan internasional. Sebenarnya yang memilih hanya Kak Laras, saya dan Nita hanya ikut mencicipi dan berkomentar sedikit soal selera di lidah kami masing-masing.

"Sup yang ini nanti bisa gak pakai daun bawang?" tanya Kak Laras.

Pemilik catering itu mengangguk. "Bisa."

"Kenapa, Kak?" Nita ikut bertanya. "Yang makan nantikan tamu undangan, bukan Kak Senja," bisiknya pada Kak Laras tapi mampu saya dengar.

Kak Laras hanya terkekeh. Sementara saya hanya diam. Sedari tadi saya tidak bisa fokus pada satu menu makananpun. Pikiran saya hanya tertuju pada Aldi saat ini. Ini mungkin berlebihan, tapi sungguh, saya sama sekali tidak bisa tenang. Sekarang, saya hanya butuh kabar dari Aldi. Saya tahu Aldi sudah memberi kabar tidak bisa datang kepada Kak Laras. Tapi sialnya, itu tidak cukup bagi saya.

Tolong, mengertilah. Saya dan Aldi ini akan menikah, bukan hanya akan mengadakan acara syukuran biasa. Jadi apa benar, urusan Aldi sebegitu mendesaknya sampai harus membatalkan janji temu-nya dengan pihak catering?

"Nja?" Suara Kak Laras membuyarkan lamunan saya.

Ya, sedari tadi saya melamun, bahkan sampai kami bertiga sudah berada di sebuah kafe-pun saya tetap saja melamun. Eh, Nita sudah pulang lebih dulu tadi, jadi sekarang hanya tinggal saya dan Kak Laras.

"Kenapa?" tanyanya.

Saya menggeleng pelan dan segera meminum minuman yang sudah hampir kehilangan suhu dinginnya.

"Kakak pulang duluan ya? Kasian Mas Fahmi dititipin anak sendirian di rumah." Kak Laras terkekeh.

Saya lagi-lagi tak menjawab. Hanya mengangguk sambil tersenyum.

Setelah melihat punggung Kak Laras menjauh dari arah kafe, pandangan saya tak teralihkan dari sebuah mobil yang berhenti di depan sebuah resto, tepat di seberang jalan kafe ini. Saya dapat melihatnya dengan jelas lewat dinding kaca kafe yang kebetulan berada di samping saya.

Seorang pria berkemeja turun dari mobil, kemudian dia berjalan ke sisi mobil yang berbeda untuk membukakan pintu. Tak lama seorang wanita mengenakan dress keluar dari dalam mobil. Dari sini, saya dapat melihat bagaimana pria itu mencoba tersenyum pada wanita tersebut, dan wanita itu membalas dengan senyuman juga. Kemudian mereka masuk ke dalam resto dengan saya yang sudah merasakan sakit terlebih dahulu.

Saya tak pernah melarang Aldi memberikan senyuman manis pada wanita mana pun. Selagi dia masih berbicara jujur pada saya. Saya tak pernah melarang Aldi makan dengan wanita manapun, selagi Aldi masih mau berbagi cerita itu dengan jujur dengan saya.

Tapi saat ini, melihat Aldi memberikan senyuman pada wanita lain, bahkan sampai makan bersama, membuat saya tak tahu harus menahan sakit dari mana dulu. Rasanya sulit digambarkan dan dijelaskan, serta sulit untuk menahan air mata lagi. Yang saya harapkan, saya tak sampai sesenggukan di sini.

Saya sudah berusaha untuk berpikir positif, kalau wanita itu mungkin rekan kerjanya atau client pentingnya. Tapi perlakukan Aldi saat membukakan pintu mobil untuk wanita itu berhasil mematahkan semua pikiran positif yang coba saya bangun. Ini adalah kali pertama sejak saya mengenal sosok Aldi. Wajar kan kalau saya merasakan sakit yang luar biasa?

Saya tak tahu harus apa sekarang. Rasa sakit itu semakin bertambah saat layar ponsel saya menunjukkan kontak bernama Aldi. Itu berlangsung selama tiga kali. Dan semua panggilan telepon itu saya abaikan begitu saja. Sampai akhirnya, Aldi mengirim sebuah pesan singkat yang saya baca dengan pandangan kabur karena tertutup air mata.

Aldi : Maaf, aku batalin janji. Kamu sekarang di mana?

Saya masih belum membalas, dan memang tidak berniat untuk membalas. Tak lama pesan singkat kedua kembali muncul.

Aldi : Aku beneran minta maaf.

Saat itu juga tangis saya kembali pecah. Saya tak lagi mempedulikan beberapa pengunjung yang mulai menatap ke arah saya. Mereka mungkin bertanya-tanya dan akhirnya merasa kasihan pada saya yang terlihat menyedihkan ini.

Ya, saat ini saya memang butuh rasa belas kasihan.

Buku HarianDär berättelser lever. Upptäck nu