Senin, 21 Mei 2018

720 147 40
                                    

Dalam kalender, akan ada hari dimana saya membulatkan sebuah tanggal menggunakan spidol berwarna hitam. Bukan hanya membulatkan, tapi menutup penuh tanggal tersebut, membuatnya tak terlihat dan seolah tidak ada. Tapi nyatanya, saya selalu melewati hari panjang itu. Menganggapnya tidak ada, bukan berarti hal itu juga akan benar-benar hilang. Sekali lagi, saya hanya bisa menganggapnya, tanpa benar-benar membuatnya tidak ada.

Dalam satu tahun, akan ada hari dimana saya akan menikmati semuanya sendiri, jauh dari orang-orang yang mungkin akan mengkhawatirkan saya. Bergelut dengan pikiran dan kesedihan sendiri. Saya akan bangun pagi-pagi sekali untuk mandi lalu bersiap. Dress hitam, make up sedikit tebal, rambut yang ditata sedemikian rupa, stiletto hitam, dan membawa sling bag berwarna hitam. Saya meninggalkan apartemen tanpa membawa ponsel. Bukan untuk berangkat bekerja, namun untuk pergi ke sebuah tempat yang mungkin akan membuat saya gagal menahan air mata.

Sehari sebelumnya, saya sudah memotong pendek rambut saya, walapun memang pada awalnya rambut saya bisa terbilang sudah pendek. Dan itu rutin saya lakukan sekali setiap tahun dalam empat tahun terakhir ini. Kata orang, memotong rambut bisa membuat kita cepat lupa dengan mantan kekasih. Ada juga yang mengatakan, untuk membuang sial. Entah yang mana yang benar, saya hanya melakukannya dengan harapan salah satu diantara mitos-mitos itu terjadi pada saya.

Saya menaruh buket bunga ke sebuah pusara yang sebenarnya sangat sekali saya hindari untuk datang. Lalu menatap nisan bertuliskan Aldi Rasendriya di sana. Tulisan yang membuat pikiran saya memutar kembali memori-memori sebelum empat tahun ini, saat bersama Aldi. Hingga tanpa sadar tetes air mata sudah membasahi pipi.

"Hari ini aku bolos kerja." Saya mulai bisa mengatur napas untuk berbicara. "Kamu jangan marah, soalnya atasan aku nggak kasih izin cuti ke aku. Makanya aku bolos." Saya tersenyum lalu mengusap air mata.

"Kamu apa kabar? Kok sekarang nggak pernah main ke mimpi aku?" Saya menarik napas dalam-dalam lagi.

"Kamu pasti di sana udah ketemu sama bidadari yang cantik. Aku ..., seneng kalau begitu."

Entah kenapa rasanya setiap kata yang keluar dari bibir saya saat ini sangatlah menyakitkan. Seperti butuh tenaga yang kuat untuk itu.

"Maafin aku karena nggak bisa jadi yang terbaik." Dan akhirnya tangis saya pecah.

"Aku kangen, Al. Kangen banget."

"Kalau tahun itu kita jadi menikah, sekarang kayaknya kita lagi sama-sama ngurusin anak. Iya nggak sih?" Dalam sela tangisan saya, saya terkekeh terhadap apa yang barusan saya katakan. Tidak, saya sedang tidak menyalahkan takdir karena mengambil Aldi sangat cepat, bahkan ketika saya sangat menyayanginya. Saya hanya ... sedang berandai-andai?

"Kemarin aku ketemu sama orang tua kamu, sama Kak Laras juga pas ulang tahunnya Mesya." Saya kembali memulai bercerita setelah saya kira tangis saya mulai mereda sehingga saya bisa berbicara dengan lancar tanpa terbata.

"Aku bohong sama Mama kamu tentang aku punya pacar," lanjut saya. Lalu kembali terkekeh. "Kalau aku punya pacar, kamu seneng kan?"

"Kalau gitu, tolong kirimin laki-laki yang kayak kamu. Yang sebaik kamu, yang seperhatian kamu, yang seganteng kamu, juga yang sebegitu mencintai aku kayak kamu."

Saya menarik napas. "Tapi, Al, kalau nanti aku beneran punya pacar, aku nggak akan lupa kalau aku pernah sebegitu mencintai kamu, dan kamu pernah sebegitu mencintai aku."

"Kayak kata kamu, kamu bakal mencintai aku sampai akhir hayat kamu. Kamu memenuhi janji itu, Al. Aku seneng," sambung saya.

Setelah cukup lama saya berada di sana, akhirnya saya pergi meninggalkan tempat itu, masih dengan sisa-sisa air mata yang menempel di pipi atau bahkan disudut mata. Saya bahkan sesekali masih harus mengatur napas karena terlalu sesenggukan.

Saya kemudian menaiki taksi untuk ke tempat selanjutnya. Saya memang sengaja tidak membawa mobil, menyenangkan saja rasanya seperti ini. Eum.. iya, semacam menyiksa diri sendiri.

***

Semilir angin laut, deburan ombak pantai, dan kasarnya pasir pantai sudah menyapa saya. Tanpa alas apapun, saya duduk di atas pasir tersebut, membiarkan dress saya yang mungkin nanti akan kotor. Melepas stiletto yang saya kenakan dan membiarkan telapak kaki saya menyentuh pasir pantai begitu saja. Sesekali terkekeh karena merasa geli akibat pasir pantai yang menyelinap di sela-sela jari kaki.

"Aku cuma takut kamu tiba-tiba ... pergi."

"Aku harus ketemu sama cowo yang kayak gimana biar kamu jadi tambah takut kehilangan aku?"

"Jangan nagis. Kamu percaya nggak kalau ada orang yang sayang banget sama kamu?"

"Kamu? Kamu makin aneh deh, Al."

"Percaya sama aku."

"Iya aku percaya."

Saya menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari sumber suara itu. Tapi tidak ada siapapun di dekat saya yang mampu saya dengar suaranya dalam jarak dekat. Saya sedang sendiri.

Lalu saya tersenyum, entah bagaimana ceritanya saya kembali mampu mendengar percakapan itu dengan jelas.

Kali ini saya akan berusaha dengan keras agar tidak menjatuhkan air mata satu tetespun. Tapi lagi-lagi telinga saya yang aneh ini mampu membuat usaha itu berakhir dengan sia-sia.

"Iya. Love you."

Dan kalimat terakhir yang saya dengar itu mampu membuat saya seketika sesenggukan. Terisak karena menahan sakit, entah karena tentang apa yang saya pikirkan saat ini atau karena menahan agar tidak terus menangis dan berhenti.

Hari yang panjang ini akan tetap saya lewati dengan kesendirian di sini, tanpa bergerak sedikitpun. Bahkan tanpa memakan dan meminum apapun. Saya tak merasa lapar ataupun haus. Saya benar-benar menikmati semuanya.

Kalau biasanya setelah matahari tenggelam dan menyisakan langit hitam, saya akan tetap berada di sini lalu pergi setelah larut malam dengan meninggalkan stiletto saya begitu saja, hari ini entah kenapa saya menginginkan sesuatu yang berbeda. Bukan. Tapi mungkin lebih ke ingin menghilangkan kejenuhan yang ada.

Saya tak tahu apa yang terjadi pada diri saya hingga akhirnya saya berada di sebuah tempat dengan lampu warna-warni yang memenuhi ruangan. Suara musik yang berdentum dengan keras silih berganti dengan riuhnya suara orang-orang yang memasuki telinga saya. Dan ini pertama kalinya saya tertawa dan menari tanpa sadar di tanggal 21 Mei, tanggal yang tidak ingin saya jumpai setiap tahunnya.

Itu terjadi sampai tengah malam tanpa merasakan lelah sedikitpun. Kemudian pulang setelah seorang pria yang entah siapa memesankan saya taksi. Saya sampai gedung apartemen dengan selamat berkat itu.

Mungkin karena ini sudah tengah malam, jadi tak ada orang yang berlalu-lalang di sekitar gedung apartemen. Hanya ada penjaga yang sepertinya tidak melihat saya masuk ke dalam. Saya juga tidak ingin siapapun melihat saya dengan kondisi seperti ini. Jalan yang sudah tak teratur dan berkali-kali hendak jatuh kalau tidak buru-buru menahan diri pada dinding.

Saya sudah sampai di depan pintu apartemen. Kemudian menekan digit password dengan pandangan yang sudah mulai kabur.

"150990."

Lalu pintu terbuka. Belum sempat saya masuk ke dalam, seseorang di balik pintu itu lebih dulu menghentikan jalan saya. Saya menatapnya sekilas. Terakhir yang saya dengan darinya adalah ketika dia memanggil nama saya.

"Senja?"

Buku HarianWhere stories live. Discover now