Minggu-Senin, 22-23 Juli 2018

965 167 56
                                    

"Kak Fajar masih sakit, Nja. Sampe sekarang."

"Dia nggak mau berobat lagi."

"Katanya, berobat cuma buang-buang waktu dan tenaga dia aja."

"Dia nggak mau kelihatan lemah karena harus melakukan serangkaian pengobatan ini itu. Juga ... nggak mau terlihat jelek di hadapan lo."

Segala pernyataan itu masih terus terngiang-ngiang di telinga saya, padahal sudah berminggu-minggu terlewati. Apalagi ketika saya bertemu dengan Fajar, kenyataan tentang segala yang diderita Fajar membuat saya tertampar keras akan perasaan saya yang ternyata entah sejak kapan sudah mulai tidak bisa dikendalikan.

Ana---sekarang saya akan memanggilnya begitu---malam itu telah memberitahu segalanya pada saya. Tidak hanya apa yang sedang di derita Fajar, tapi tentang hubungan Fajar dengan Aldi, juga dengan Ana. Bagaimana tebakan-tebakan buruk saya selama ini, malam itu terjawab jelas oleh segala penjelasan Ana. Fajar yang ternyata memang tidak kebetulan menyewa apartemen di sebelah apartemen saya, Fajar yang ternyata berusaha untuk mendapatkan sewa lantai dasar kantor tempat saya bekerja untuk membuka kedai kopinya, dan tentang Fajar yang tahu hal-hal kecil yang saya sukai dan tidak sukai. Saya sekarang paham semuanya.

Kali ini saya tidak terlalu panik ketika tidak melihat dia kedai kopi, saya hanya takut. Takut kalau hari di mana saya tidak melihatnya ternyata akan membawa saya kepada hari-hari panjang kehilangannya. Seperti kata Ana, Fajar sudah tidak punya waktu sebanyak itu lagi. Dengan atau tidaknya dia berusaha menyembuhkan diri.

Tangis saya, kekuatan saya saat itu juga runtuh seketika di hadapan Ana. Saya tidak tahu harus berkata apa, menanggapi bagaimana, yang jelas, saya hanya merasa sakit dan takut.

"Fajar segitu cintanya sama lo, Nja."

Kalimat itu bahkan terus bisa saya dengar setiap detiknya, setiap saya ingat dengan Fajar, setiap saya bertemu dengan tubuh tinggi dan kurus itu, setiap saya menatap netra indahnya di balik kaca mata yang dikenakannya. Saya selalu bisa merasakan bagaimana perihnya ketika cinta itu malah semakin tubuh dan membesar.

Ketika jari-jarinya menyentuh wajah saya, mengusap lembut rambut saya, dan menggenggam erat tangan saya, saya berani sumpah, kalau saat itu juga ada ratusan rasa yang tengah beradu mencoba memenang diri; rasa sakit yang terlalu dominan dan rasa bahagia yang tidak terlalu kentara.

Saya ingin bilang kalau saya tidak mau kehilangannya, tapi saya juga merasa tidak mampu mengatakan hal itu. Ada rasa takut dan sakit yang seharusnya saya sembunyikan ketika sedang bersama Fajar. Saya hanya tidak mau dia bersedih karena rasa takut saya akan kehilangannya.

Fajar kini tengah berdiri di depan wastafel, tengah membasuh hidungnya yang tiba-tiba mengeluarkan darah. Ini bukan pertama kali. Dalam seminggu ini, Fajar sudah kedapatan seperti itu empat kali ketika bersama saya. Dan mungkin juga ketika tidak bersama saya.

Yang saya bisa lakukan hanya menatap punggungnya, berusaha sekuat-kuatnya untuk tidak runtuh dan menangis sekencang-kencangnya. Karena Fajar pernah mengatakan pada saya, dia tidak suka perempuan yang dicintainya menangis karenanya. Jadi saya tidak boleh menangis.

Ketika dia membalikkan diri, senyum lebar langsung saya temukan, juga rentangan tangan yang seperti memiliki magnet; menarik saya untuk segera menghambur ke dalam dekapannya.

"Udah nggak apa-apa?" tanya saya sambil mendongak. Saya berusaha untuk mengukir senyum terbaik saya di hadapannya.

Fajar lagi-lagi tersenyum. "Nggak apa-apa. Udah nggak keluar lagi kok." Kemudian dia mengecup puncak kepala saya, membawa saya lebih dalam ke dekapannya.

"Saya mau nginep di sini."

Fajar menjauhkan tubuhnya, menatap saya dengan bingung. "Besok kamu harus ke kantor. Seharian ini kan kamu udah sama saya terus di sini. Emangnya kamu nggak bosen sama apartemen saya?"

Sialnya dia terkekeh. Seharusnya saya senang mendengar suara kekehannya itu, tapi seperti biasanya, saya hanya selalu merasakan nyeri.

"Atau mau ke apartemen saya aja? Kamar saya juga wangi kok kayak kamar kamu."

Fajar terlihat memikirkan ucapan saya. Matanya mengerjap-ngerjap lucu, saya jadi semakin menyukainya.

"Kalau tiba-tiba mama kamu sama Nita dateng, gimana?"

Kali ini saya yang tertawa pelan. "Saya udah ganti password, mereka nggak akan masuk kalau nggak saya yang bukain pintu."

Masih ingat dengan kejadian saat Nita marah pada saya karena membuatnya menunggu di depan pintu apartemen saya kan? Kalau malam ini Nita datang secara tiba-tiba lagi ke sini, maka saya akan membuatnya seperti itu lagi.

"Terus saya jadi punya waktu buat ngumpet dulu gitu?"

Saya tertawa dengan keras. Ternyata Fajar dapat membaca pikiran konyol saya.

"Ayok," rengek saya. "Kamu harus cobain juga tidur di kamar sama di kasur saya. Tenang aja, saya yang bakal peluk kamu semaleman."

Fajar mengacak-acak rambut bagian depan saya, membuat saya cemberut. Tapi saat itu juga raut wajah sedih saya hilang karena dia mengecup puncak kepala saya berkali-kali, membuat saya semakin mengeratkan lingkaran tangan saya di pinggangnya.

"Ya udah, ayok."

***

Sudah pukul dua malam, dan saya masih terjaga padahal esok pagi saya harus kembali ke kantor. Saya tidak biasanya mengalami hal ini kalau bukan karena pekerjaan yang harus saya tuntaskan. Tapi kali ini ada wajah yang dalam jarak dekat betah saya tatap lekat-lekat.

Tangan saya menyelusuri lekuk wajahnya, menyentuh setiap incinya, dan setiap itu juga saya mengagumi keindahan yang Tuhan ciptakan pada wajah Fajar.

Mata yang kali ini sedang tidak terbingkai itu tengah terpejam. Saya berkali-kali mengusap kantung mata dan bulu matanya hingga saya yakin, Fajar sebenarnya tidak sedang tertidur, dia mungkin hanya pura-pura terpejam.

Bagaimana bisa tadir sejahat ini pada kehidupan Fajar? Bagaimana bisa takdir sejahat ini pada jalan cerita cinta saya?

Lewat tarikan di tangan yang melingkar di pinggang saya, saya tambah mendekat dengan Fajar. Dari situ juga saya tahu kalau Fajar benar-benar tidak tertidur.

"Udahan ngeliatin muka saya-nya, Nja. Sekarang tidur, udah mau pagi," gumam Fajar.

Saya perlahan mencuri senyuman. Tidak menuruti perintahnya untuk segera terpejam, saya malah mendekatkan wajah saya dengan wajah Fajar, hingga kening kami saling bersentuhan. Saat itu juga Fajar perlahan membuka matanya.

"Saya nggak akan pergi," ucapnya, tapi itu terdengar sedikit menggantung. "Senggaknya malam ini saya nggak akan ninggalin kamu."

Di saat yang sama, saya benci Fajar melanjutkan ucapannya. Kalimat itu terlalu ambigu untuk Fajar lontarkan pada saya saat ini. Apa dia tidak tahu kalau hati saya saat ini tengah mencelos dengan segala rasa sakit yang sedikit demi sedikit menghampiri?

Saya benci tatapan teduh itu. Saya benci suara indahnya. Saya benci sentuhan lembutnya. Saya benci fakta kalau saya malah semakin mencintainya setiap detik yang berlalu.

"Fajar," panggil saya dengan lembut.

Seperti biasa, Fajar segera mengembangkan senyuman.

"Nja." Kali ini Fajar mulai memainkan rambut saya. "Jaga diri baik-baik."

Tolong, jangan katakan hal semacam itu. Saya tidak suka.

"Jangan lupa makan. Jangan terlalu keras kerjanya, nanti kamu sakit. Jangan terlalu banyak minum kopi, saya mungkin nggak bisa kasih kamu kopi gratis lagi."

Tolong, berhenti.

"Jangan terlalu sering nangis."

Tanpa sadar, kalimat itu malah sukses membuat air mata saya lolos keluar dari sudut mata. Fajar segera mengusapnya.

"Jangan keseringan begadang, nanti kamu ada mata pandanganya."

Bisa-bisanya dia terkekeh.

"Dan... Nja, kalau bisa, jangan jatuh cinta sama saya. Biar saya aja yang jatuh, kamu nggak usah."

Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang