Minggu, 23 Februari 2014

718 134 0
                                    

Saya menatap wajah pucatnya dalam-dalam. Sesekali mengigit bibir bawah. Sejak diberi kabar oleh Kak Laras kalau Aldi jatuh pingsan, saya tak bisa tenang sedikit pun. Walau pria yang pingsan itu sudah berada di hadapan saya sekarang.

"Untung Kakak lagi di sini, coba kalau nggak ada siapa-siapa, nggak tau deh selamat atau nggak." Kak Laras memberikan nampan berisi semangkuk bubur, segelas air, dan sudah pasti beberapa obat kepada saya. "Buburnya dihabiskan, obatnya diminum," ucapnya pada Aldi yang masih berbaring.

Saya menghela napas kasar. Masih belum bisa tenang walau Kak Laras sudah memberitahu kalau Aldi tidak apa-apa dan hanya kelelahan saja.

"Kakak tinggal nggak apa-apa kan, Nja? Mas Fahmi udah nunggu di lobi soalnya. Mesya juga udah nangis terus."

Saya mengangguk. "Iya, nggak apa-apa, Kak."

"Kakak nggak akan kasih tahu Mama. Soalnya kalau Mama tahu, pasti khawatir banget," jawab Kak Laras saat saya menanyakan tentang Tante Farah.

Sebenarnya, Kak Laras ke apartemen Aldi hanya untuk memberikan makanan buatan Tante Farah. Tapi katanya, wajah Aldi memang sudah pucat sekali dan tidak lama, jatuh pingsan. Akhirnya kini Aldi terpasang selang infus di lengannya.

"Aku nggak apa-apa, Nja. Beneran." Aldi meyakinkan saya lagi. "Cuma kecapean, kan tadi Kak Laras bilang. Besok juga udah sembuh." Dia mengambil mangkuk berisi bubur itu dari tangan saya, berniat untuk makan sendiri sepertinya.

"Jangan kayak gini lagi, aku khawatir tahu." Saya mengusap tetes air mata yang tadi terjatuh dengan punggung tangan.

"Proyek yang di Bandung belum beres juga?"

Saya baru ingat kalau Aldi akhir-akhir ini sering bolak-balik Jakarta-Bandung. Itu juga pasti yang membuat kesehatannya menurun.

"Lagi kejar target, biar cepat kelar." Aldi mengaduh saat memasukkan bubur itu ke dalam mulutnya menggunakan sendok. Itu bubur yang masih panas. "Biar nanti urus persiapan pernikahannya udah enak."

Saya mengambil alih lagi mangkuk bubur itu dan mulai meniupnya sebelum menyuapkannya ke Aldi. "Kesehatan kamu kan lebih penting."

"Bagi aku, kamu itu lebih penting." Aldi terkekeh dan saya langsung memasukan sesendok bubur ke dalam mulutnya tanpa ditiup terlebih dahulu.

"Panas, Nja."

Sepertinya Aldi hanya pura-pura sakit. Buktinya dia masih bisa bercanda.

"Aku lagi ngomong serius, Al."

Aldi mengacak-acak rambut depan saya. Ini adalah kebiasaan yang membuat saya tidak bisa berbuat apa-apa selama beberapa saat. Hanya menikmati degupan jantung yang berdetak cepat.

Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang