Rabu, 21 Mei 2014

789 162 23
                                    

Begitu telepon terputus, saya kembali duduk sambil sesekali melihat beberapa gaun-gaun yang terpajang di ruangan ini. Saya sengaja tidak mengajak siapapun ketika melakukan fitting gaun hari ini, melainkan hanya dengan Aldi. Kata Aldi, kami tidak akan menghabiskan waktu sebanyak itu, jadi berdua saja sudah cukup.

Benar, kami berdua ke butik di waktu jam makan siang kantor. Aldi juga yang meminta. Tapi sebelumnya saya sudah meminta izin pada atasan saya kalau-kalau saya telat kembali ke kantor. Beruntung, atasan saya tidak mempermasalahkan itu. Saya tidak tahu apa Aldi juga melakukan hal sama dengan saya atau tidak, dia tidak mengatakan apapun.

Saya kembali melirik jam di pergelangan tangan saya yang menunjukan bahwa sebentar lagi sudah masuk waktu masuk kembali ke kantor, tapi Aldi belum juga sampai di butik. Terhitung sudah dua puluh menit sejak saya mematikan sambungan telepon itu. Seharusnya, Aldi tidak memakan waktu sebanyak itu, apalagi dia mengatakan kalau jaraknya ke butik sudah dekat. Bahkan ketika Aldi memang masih di kantornya-pun, saya yakin, dua puluh menit adalah waktu yang sangat cukup untuk sampai ke sini.

Saya jadi gelisah. Ditambah, beberapa pegawai butik sudah terus-menerus menoleh ke arah saya. Apa memang saya harus fitting duluan seperti kata Aldi di telepon tadi?

Tapi baru beberapa langkah saya bangkit untuk menemui pegawai butik, ponsel yang sedari tadi saya genggam kuat-kuat, berdering. Sebuah nama yang saya khawatirkan, muncul jelas di layar ponsel saya. Saya sempat tersenyum kecil ketika melihat nama Aldi di sana.

"Halo, Al? Kamu—"

Lalu perlahan, senyum kecil itu luntur berbarengan dengan suara bising orang-orang dan klakson kendaraan yang silih berganti memasuki telinga saya lewat telepon. Dan suara pria yang entah saya tidak tahu dia siapa mengatakan sesuatu yang membuat seketika kaki saya melemas dan tangan saya bergetar hebat hingga tak mampu lagi memegang ponsel tersebut.

Beberapa pegawai butik yang semula hanya menoleh pada saya, kini mulai menghampiri saya dengan terburu ketika saya dengan begitu saja terduduk sambil terus mengeluarkan air mata yang entah sejak kapan keluar.

Mereka bertanya pada saya, tapi jangankan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, untuk sekedar mengatur napas saja rasanya sudah sangat sulit. Saya sudah begitu sesak. Sampai akhirnya sebuah deringan kembali terdengar dari ponsel saya yang tergeletak begitu saja di atas lantai.

Kali ini nama Kak Laras yang muncul.

"Nja, kamu di mana? Aldi—"

Entah, saya tidak tahu kenapa Kak Laras menggantungkan kalimatnya. Yang jelas, selanjutnya, saya hanya mendengar suara tangis dari Kak Laras yang malah semakin membuat saya juga sesenggukan.

Saya tidak tahu takdir akan berkata seperti apa pada Aldi, pada keluarganya, pada saya, pada hubungan kami. Dalam hati, saya terus merapalkan sebuah doa terbaik untuk kekasih saya itu. Dalam hati, saya terus memberitahu Tuhan kalau ada banyak orang yang begitu mencintainya, termasuk saya. Dalam hati, saya terus meminta belas kasihan Tuhan agar Aldi diberi takdir yang baik untuk dirinya, untuk keluarganya, dan untuk saya; kekasihnya.

Selama dalam perjalan menuju rumah sakit yang Kak Laras beritahu tadi, saya tak berhenti mengingat betapa mengerikannya kalimat yang seorang pria asing itu ucapkan pada saya lewat ponselnya Aldi. Sebegitu menyakitkannya, sebegitu mengiris hatinya sampai saya tak tahu harus dengan cara apa agar saya bisa meredakan sesenggukan ini.

Berkali-kali saya merapalkan kalimat-kalimat positif dalam diri saya yang sekiranya dapat membantu saya jadi lebih tenang. Aldi pasti baik-baik saja. Aldi pasti tidak kenapa-kenapa. Takdir pasti tidak sejahat dan sekejam itu. Walau, pada kenyataannya saya tidak bisa setenang itu.

Bahkan ketika saya sudah sampai di rumah sakit, melihat keluarga Aldi di sana yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan saya, saya jadi lebih tidak bisa tenang. Bahkan ketika Kak Laras berlari menghamburkan sebuah pelukan pada saya, saya malah menumpahkan segala sesuatu yang tadi sempat saya tahan selama dalam perjalanan ke sini.

"Kak, aku mau lihat Aldi. Aldi nggak apa-apa kan, Kak?"

Saya menatap mata merah Kak Laras beberapa saat sebelum akhirnya kembali merengkuh tubuh saya. Ada sesuatu yang dialirkan oleh Kak Laras hingga mampu membuat saya semakin menangis dengan kencang. Sesuatu yang tidak diucapkan, tapi mampu saya tangkap maksudnya. Sebegitu mengerikannya arti tersebut, sebegitu tidak sukanya saya terhadap hal tersebut, sampai saya menjatuhkan diri ke lantai.

Lalu gelengan kepala Kak Laras memperjelas semuanya.

Dunai saya telah runtuh saat itu juga saat sebuah kalimat yang Kak Laras ucapkan, masuk ke dalam telinga saya.

"Ikhlasin, ya, Nja."

Dengan begitu, seharusnya saya tidak semudah itu menyimpulkan kalau kekasih saya pergi meninggalkan saya dan tidak akan kembali lagi. Seharusnya saya tidak mudah percaya kalau kekasih saya berhenti mencintai saya di dunia hidup ini. Seharusnya takdir tidak seburuk ini pada Aldi. Aldi itu orang baik, jadi saya tidak percaya kalau takdir akan jahat padanya.

"Ada sesuatu yang mau Aldi omongin sama aku, Kak setelah fitting hari ini. Aku harus denger." Saya meraung, setengah berteriak menyuarakan kalau saya sedang tidak terima pada apa yang saya ketahui hari ini.

Semalam Aldi berkata, kalau dia ingin bercerita tentang suatu hal pada saya, dia ingin mengenalkan seseorang pada saya. Dia bilang, kalau dia tahu tentang apa yang belakang ini saya pikirkan tentang dirinya, dan Aldi mengatakan, dia akan menceritakan semuanya pada saya.

Tapi, benarkah semesta sejahat itu pada saya dan Aldi hari ini?

Kekasih saya, cinta saya, lelaki saya, sekarang sedang berbaring dengan beberapa luka di wajahnya yang sudah dibersihkan, yang membuat saya semakin merasa sesak ketika melihatnya. Dengan ragu, dengan gerakan perlahan, saya menyentuh pipi Aldi, lalu detik berikutnya, saya kembali menarik tangan saya setelah saya berhasil merasakan sesuatu di kulit saya.

"Kamu dingin, Al."

Begitulah akhirnya saya benar-benar kehilangan kesadaran karena sudah tidak sanggup menatap sesuatu yang membuat saya merasakan sesak yang amat luar biasa di seluruh sudut hati saya.

Sekali lagi, dunia saya sudah runtuh. Cinta saya hari ini telah menemukan takdir baru. Kekasih saya tidak bisa memperlihatkan binar mata indahnya lagi pada saya.

Buku HarianWhere stories live. Discover now