1. Alena

32.1K 1.3K 73
                                    

Gadis itu berlari masuk ke dalam sebuah gedung tinggi dengan empat lantai. Membawa buku-buku tebal di tangannya. Sneakers putih yang ia pakai senada dengan langkah kakinya. Melihat antrian lift yang cukup membludak pagi ini membuatnya berpikir dua kali untuk menunggu. Sepertinya tangga darurat adalah solusi akhirnya.

Dengan sedikit berlari sambil terengah. Mengabaikan tatapan aneh beberapa orang, gadis itu berlari menuju tangga darurat. Untuk segera masuk ke ruang kelasnya, lantai tiga nomor empat kosong lima.

"Alena.." Panggil seseorang membuat gadis itu menghentikan langkahnya.

"Kenapa, Luna? Aku buru-buru banget nih. Nanti aja ya!!" Katanya kemudian kembali berlari.

Seseorang yang di panggil dengan sebutan Luna itu menganggukan kepalanya. Kembali menuruni anak tangga yang sempat ia naiki demi menyusul temannya itu.

Dengan langkah tergesa dan sedikit keringan yang membasahi keningnya, gadis yang di panggil Alena sampai di depan pintu yang bertuliskan empat kosong lima. Menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. Tangannya terangkat untuk melihat arloji yang melingkar di tangannya.

"Telat lima belas menit. Semoga masih boleh masuk," gumamnya sendiri kemudian mulai mendorong pintu di depannya.

Seorang Dosen yang sibuk menjelaskan menghentikan aktivitasnya sambil melihat kedatangan Alena dengan senyum kikuknya. Sepertinya gadis itu menyadari kesalahannya.

Orang-orang yang duduk juga ikut memperhatikan Alena, sungguh itu membuatnya malu.

"Sudah telat lima belas menit. Maaf kamu nggak bisa ikut kelas saya.." kata Dosen tadi sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Alena menghembuskan napas lelah. Kemudian tersenyum sebelum akhirnya kembali menutup pintu kelas dengan pelan. Gadis itu berjalan agak menjauh dari sana, kemudian bersandar pada sisi tembok dengan mata terpejam. Hari ini benar-benar sial. Alena pasti akan ketinggalan mata kuliah Psikologi Komunikasi kali ini. Namun, tiba-tiba suara pintu kembali terbuka. Membuat Alena segera membuka matanya.

"Gara, kamu ngapain keluar?" Tanya Alena bingung.

"Ya masa sebagai sahabat gue tega ngebiarin lo nggak ikut kelas dan nggak dapet materi sendirian," jawab Lelaki yang di panggil Gara itu dengan senyuman.

Alena tersenyum, Gara memang sangat baik. Sahabat laki-lakinya itu memang sangat peduli padanya.

"Terus? Kok kamu bisa keluar? Emang nggak di marahin?" Tanya Alena lagi.

"Bilang ke toilet mau minum obat soalnya pusing, terus obatnya ada di dalem tas.." jawab Gara dengan percaya diri.

Alena tersenyum, sahabatnya itu memang paling bisa dalam hal memberi alasan. Menurutnya, dalam otak Gara ada seribu alasan untuk berbohong.

Gara merangkul lengan Alena untuk pergi dari sana, meninggalkan lorong kampus yang sedikit ramai itu. "Mending kita nongkrong aja. Anak Komunikasi mah gausah terlalu ambis. Nyantai aja nyantai.." kata Gara lagi-lagi membuat Alena tersenyum.

"Jadi mau kemana tuan putri? Tempo Gelato, Mekdi, atau hatiku?"

Mendengar hal itu Alena memukul lengan Gara kasar. Dengan terkekeh, ia juga melepaskan pelukan tangan Gara di lengannya.

"Kamu tuh jangan jadi fuckboy terus. Sesekali lah jadi goodboy."

"Nggak ah, jadi goodboy nggak enak. Sekarang cewek cantik itu sukanya sama Fuckboy." Ucap Gara dengan bangga.

"Cuih! Husss huss jangan bilang sebentar lagi kalo ada cewek jilbab an lewat kamu mau godain.."

Gara menganggukan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian membuktikan ucapan Alena saat mereka berpapasan dengan salah satu mahasiswa cantik.

"Asallamualaikum ukhti, semangat ya hari ini.." kata Gara dengan nada menggoda membuat gadis tadi tersenyum malu-malu.

Alena memutar bola matanya. Tangannya bergerak menarik telinga Gara yang tingginya melampaui batas itu.

"Adehh..adeh.. Alen. Sakit.. adeeh.. lepasin..." Pinta Gara merasa perih di telinganya.

"Mamam nih mamam.."

"Aduhh..."

Alena tertawa puas setelah berhasil menginjak kaki Gara. Cowok itu meringis kesakitan. Jujur saja, saat seperti ini seolah Alena melupakan semua masalahnya. Terkadang gadis itu merasa bersalah, tidak mengatakan yang sebenarnya pada Gara. Bahwa faktanya Alena bukanlah sahabatnya yang dulu. Melainkan Alena, yang menjadi istri Rafa. Semuanya terlalu mendadak dan terjadi begitu cepat. Membuat Alena sendiri sulit memahaminya. Tapi, bisakah gadis itu egois kali ini saja? Ia lebih mementingkan egonya sendiri.

Lagi pula orang tuanya sudah tega menjualnya dengan pembisnis lain dengan ikatan pernikahan. Tapi, Alena rasa ini sudah menjadi kewajibannya sebagai anak. Dia tidak mungkin membiarkan bisnis kedua orang tuanya hancur. Alena tidak setega itu. Tapi bagaimana dengan masa depannya? Dengan cita-cita dan keinginannya? Apa menikah muda adalah salah satu harapannya?

"Alen, ngapain bengong?" Tanya Gara penasaran. Lelaki itu sudah berhasil menyusul langkah Alena yang berdiri di depan lift. Alena menggelengkan kepalanya, di akhiri dengan senyuman. Untuk meyakinkan pada Gara bahwa dia baik-baik saja.

"Jadi? Mau es krim? Kulit ayam? Atau aku?" Tanya Gara lagi.

"Kayaknya lagi pengen makan es krim.." jawab Alena yang di angguki Gara.

Pintu lift pun terbuka. Mereka berdua masuk secara bergantian. Gara berdiri di belakang Alena, seperti ingin melindungi gadis itu dari tatapan- tatapan beberapa lelaki yang satu spesies dengannya, Fuckboy.

Pintu pun kembali terbuka, lantai satu yang menjadi tujuan mereka masih ramai di penuhi orang-orang yang mengantri masuk ke dalam lift. Alena tidak peduli itu, gadis itu memilih pergi meninggalkan Gara yang masih terhimpit orang-orang yang tidak mau mengalah.

"Len, Alen... Tungguin.." panggil Gara sambil berusaha meloloskan diri dari jebakan mendadak itu.

Alena memutar tubuhnya, kemudian menjulurkan lidahnya ke arah Gara. Mengejek sahabatnya yang memang memiliki tubuh tinggi bak tiang bendera. Berbeda dengan dirinya, seratus enam puluh dua sepertinya cukup ideal untuk ukuran tubuh Alena. Yah, meskipun terkadang ia sering di juluki dengan sebutan "Banana" yang artinya "Si Bantet Alena."

ALENA (Here With Me) Where stories live. Discover now