tiga

12.7K 2.2K 86
                                    

RAHMAN menunggu hingga mereka tinggal berdua saja sebelum menanyakan sesuatu yang menggelitik pikirannya.

"Lo nitip kepentingan apa?" tanyanya to the point. Sambil berdiri di depan jendela lantai 15 gedung Dhanubrata Grup, tempat kantor Track Construction berada.

Karnaka tersenyum memandang profil Rahman. Kedekatan yang terbina sekian lama membuat keduanya bisa saling memahami dengan baik. "Selesaikan semuanya tanpa ribut sama Pak Hilmy."

"Kenapa lo protektif banget sama Pak Hilmy? Dirutnya itu lo, Bro! Pengendali dan decision maker perusahaan. Kalau emang udah nggak layak, ngapain tuh orang dipertahanin?" kejengkelan yang sejak tadi ditahan Rahman, akhirnya terluapkan.

"Pak Hilmy orang yang pernah nolong bokap gue, Man. Nggak bisa dong gue seenaknya sama beliau! Yang bener aja lo! Itu yang bikin gue mikir seribu kali buat mengambil sikap. Emang lo pikir kenapa selama ini gue diem aja dengan segala tindakan beliau yang nggak masuk akal itu?"

"Tapi dia seenaknya sendiri sama lo!" bantah Rahman sengit. "Lagian orang macam beliau hanya mau bertindak berdasarkan kepentingan. Jadi harusnya lo paham, nggak mungkin Pak Hilmy nyerang civil engineering kalau nggak punya maksud khusus. Kalau ributnya sama orang gudang atau pengadaan, gue maklum, karena di situ sumber duit. Tapi engineering? Itu posisi paling kering kerontang buat orang mata duitan kayak Pak Hilmy."

"Mungkin dia punya orang untuk ditaruh di posisi itu, jadi orang lama harus dibuang dulu."

Orang lama yang dimaksud itu kebetulan bernama Asra Najah.

"Ya udah, kalau emang dugaan lo kayak gitu, mending kadivnya aja yang dimutasi ke sini," komentar Rahman berusaha terdengar senetral mungkin untuk menyembunyikan tendensinya. "Biasanya pegawai yang sudah sampai di posisi kadiv memiliki kualitas yang lumayan. Sayang kan, kalau dibuang begitu saja hanya untuk menjaga ego orang kayak Pak Hilmy? Lagian banyak kerjaan di engineering pusat. Si kadiv bisa bekerja di sini. Semua bisa segera beres, jadi gue nggak perlu lama-lama berada di sana."

"Masalahnya ini menyangkut duit gede, Man. Bukan melulu soal buang-membuang orang! Kalau urusan ini nggak secepatnya beres, gue harus bilang apa coba saat meeting dengan para investor di Singapura? Dan itu dua bulan lagi. Gila aja lo, kalau sampai leher gue digorok mereka yang udah gelontorin duit buat mainan Pak Hilmy ini," terlihat sekali betapa tertekannya sang bos. "Hampir enam ratus miliar nambahnya. Itu angka gede banget!"

Rahman menatap Karnaka tajam. "Urusan sama Pak Hilmy emang nggak bakal mudah. Tapi sesulit apa pun itu, gue akan coba selesaikan sebaik mungkin. Lalu balik ke sini."

"Omong-omong soal Pak Hilmy, kepikir nggak sama lo, kalau beliau udah tua dan bentar lagi pensiun? Just random thought, gue pikir orang yang tepat gantiin beliau itu lo."

Rahman memelototkan mata dengan garang kepada sahabatnya. "Apa sih yang lo nggak paham dari pernyataan bahwa gue nggak akan stay di Malang?"

Membuat Karnaka tertawa terbahak-bahak. "Jangan buru-buru mutusin, Bro! Ini urusan serius yang perlu waktu buat mikirin. Kan, gue juga nggak minta lo langsung jawab. Sekarang lo capek banget kayaknya, makanya mood lo jelek."

Rahman mengusap rambut ikalnya yang mulai panjang.

"Lo bisa berangkat besok?"

"Gila! Kasih gue waktu buat istirahat dan bersiap-siap."

"Siap-siap apaan?" tanya Karnaka. Lalu matanya mengerling jail menangkap satu peluang untuk kembali menginsengi juniornya ini. "Emang lo mau siap-siap buat pindah domisili? Pastiin lo urus surat pindah dengan benar biar masalah KTP ntar lebih mudah."

After All This Time (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang