empat

11.6K 2.2K 37
                                    

PESAWAT berukuran sedang itu merendah, bersiap mendarat di bandara kecil Abdul Rahman Saleh. Sinar matahari siang terlihat cerah dari balik jendela. Menghadirkan pemandangan indah yang berusaha Rahman abaikan pesonanya. Setelah persiapan selama satu minggu, akhirnya bersama kedua koleganya, Rahman bertolak ke kota ini. Malang lagi, aduh, batinnya.

Ketika pesawat melandas, lampu tanda larangan merokok pun padam. Dari pengeras suara di langit-langit mulai mengalun lembut instrumentalia Yesterday The Beatles. Membuat Rahman kian melesakkan punggungnya di kursi pesawat, seolah enggan meninggalkan tempat. Hantaman rasa nyeri di kepalanya membuat pria itu menutup wajah dengan kedua tangan. Mungkin aku hanya kelelahan, bukan sesuatu yang serius, kok.

Seorang pramugari datang mendekat. Menanyakan apakah dia baik-baik saja.

"Oh, nggak apa-apa. Terima kasih," jawab Rahman sopan. Dan memalingkan wajah ke jendela ketika sang pramugari tersenyum sambil berlalu.

Dari bagian belakang tempat duduknya dia bisa mendengar suara ribut dari Havez dan Heru yang seolah tak henti bercakap-cakap. Itulah alasan Rahman memilih duduk terpisah. Karena menyadari kalau mungkin suasana hatinya tidak baik-baik saja saat menginjakkan kaki di kota ini. Bagaimanapun penyesalan itu masih sering diam-diam muncul kembali saat dia tanpa sadar menghitung waktu hidupnya yang terbuang sia-sia akibat kesalahpahaman. Juga ingatan pada beberapa orang yang telah memilih pergi dari hidupnya.

Dari semua peristiwa yang terjadi sebelas tahun lalu, yang paling keras menamparnya adalah ketika mendengar pemberitahuan kakak sulungnya, Rosyad, yang mengatakan kalau tidak bisa mempertahankan janin dalam kandungan Shinta, istrinya saat itu. Karena wanita itu entah melakukan apa untuk membunuh calon bayi malang tersebut. Begitu besar kah kesalahannya sebagai seorang suami, hingga calon bayi yang tidak bersalah pun harus menjadi korban?

Sekarang Rahman memang sudah tidak merasakan lagi kemarahan dan kekecawaan pada hidupnya di masa lalu. Tetapi bukan berarti perasaan-perasaan yang pernah menyakiti hatinya dengan teramat dalam itu telah benar-benar pergi.

Pesawat berhenti sempurna. Dan musik pun berganti dengan instrumentalia Every Breath You Take The Police. Para penumpang mulai melepaskan tas dan barang bawaan lain dari kabin. Kesibukan mulai meningkat ketika mereka berdiri berdesakan memenuhi lorong. Rahman tidak bisa menghindari ajakan Havez dan Heru untuk bersiap turun dari pesawat.

"Sekretaris Pak Hilmy barusan menyampaikan pesan kalau kita sudah dijemput driver," kata Heru sambil mengotak-atik HP-nya. "Pak Rahman nggak ada acara mampir ke mana gitu dulu?"

Rahman menggeleng. "Nggak ke mana-mana. Kita cuma perlu mampir makan siang aja sebelum ke kantor."

"Oh, gue pikir mau mampir pulang dulu ketemu emak," celetuk Havez sambil tertawa.

Rahman menyeringai. "Gue belum kumpulin nyali buat ketemu emak," selorohnya. Yang disambut tawa oleh kedua temannya.

Karena menghadapi ibunya jauh lebih sulit daripada menghadapi pertanyaan-pertanyaan usil dari Karnaka. Memangnya dia pernah menang menghadapi wanita yang telah membesarkan serta mendidiknya? Mustahil!

***

Pemberitahuan yang mendadak membuat Rara tidak bisa mengatur ulang jadwal kerja timnya. Padahal dia perlu mengajak beberapa orang untuk menyertainya memenuhi undangan rapat dari Pak Hilmy bersama orang dari kantor pusat. Jadi sekarang, karena anggota tim inti yang dimiliki divisinya masih berada di lapangan, mau tidak mau Rara harus hadir sendirian.

Rini, sekretaris Pak Hilmy, menggiringnya langsung ke ruang pertemuan yang terletak di ujung lorong bangunan bagian depan, tempat kantor kepala cabang berada.

"Orang-orang pusat sudah ada di sana. Kamu langsung masuk saja. Ditungguin tuh dari tadi. Mereka sudah siap sejak habis istirahat tadi," kata Rini tanpa keramahan seperti biasa.

"Kalau tahu rapatnya habis istirahat, lalu kenapa kamu bikin undangan jam setengah dua siang?" Rara balas bertanya. Sudah jadi kebiasaan gadis itu, tidak mau disalahkan tanpa alasan.

Rini menanggapinya dengan cemberut. Rara dan segala argumentasinya memang bukan lawan seimbang buatnya. Jadi dia membiarkan gadis itu mengetuk pintu untuk mengabarkan kedatangannya kepada para pria di dalam ruangan. Yang menyambut kehadiran sang kadiv dengan serentak menoleh menatapnya.

"Selamat siang," sapa Rara dengan resmi, lalu mengangguk singkat sambil memetakan situasi yang akan dia hadapi. Ada Pak Hilmy yang sedang menatapnya dengan enggan. Lalu dua orang asing yang pastinya anggota rombongan dari kantor pusat.

Lalu ada Rahman Hartala. Seketika jantung Rara berdebar dua kali lebih cepat ketika memandang sosok mantan dosennya dalam versi beberapa tahun lebih tua dari yang diingatnya. Aku hanya terkejut.

"Halo, Rara. Selamat bertemu kembali," sapa Rahman, menatapnya tajam, tanpa senyum.

"Halo juga, Pak Rahman," jawab Rara yang suaranya sedikit bergetar, karena tidak menyangka bahwa pria itu masih mengingatnya.



After All This Time (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang