empat belas

12.7K 2.4K 79
                                    

UJIAN semester membuat kesibukan Rara padat, apalagi beban studi yang dia ambil lebih banyak daripada teman-teman seangkatan. Itu sebabnya baru pada hari terakhir ujian dia mendengar gosip tentang Rahman yang diduga melakukan pelecehan pada Silvy.

"He? Yang bener aja?" tanya Rara tak percaya. "Kapan kejadiannya?"

"Nggak tahu. Tapi mahasiswa yang ikut kelas dan bimbingan beliau, pada dipanggilin loh. Kamu emang nggak dipanggil?" tanya Andy heran.

"Nggak tuh," jawab Rara. "Apa belum ya?"

"Emang kamu belum ketemu Pak Rahman lagi, Ra?"

"Belum. Pak Rahman nggak nongol waktu ujian, hanya dijaga panitia. Dan gile, soal-soal yang keluar sama persis dengan yang selama ini Pak Rahman tanyain ke aku saat bimbingan." Mata Rara berbinar-binar. "Si Bapak emang baik deh. Semoga nilaiku bagus."

"Hedeehh... Rara. Saat ini Pak Rahman mana sempat mikirin nilai kamu? Pasti beliau sedang puyeng tuh, karena kalau tuduhan pelecehan itu terbukti, habis deh kariernya sebagai dosen. Kasusnya berat, karena Silvy mengaku sudah dinodai secara fisik oleh Pak Rahman."

"Maksudnya dinodai?" tanya Rara sok polos.

Yang membuat Andy membelalak sebal.

"Emang ada penjelasannya?" tanya Rara sambil cengengesan. "Maksudku, detail kejadiannya gitu? Jangan-jangan otakmu aja yang mesum kebanyakan nonton film porno, jadi fantasimu kebablasan sampai ngebayangin adegan Silvy dinodai Pak Rahman yang ...."

"Oke deh, skip bagian dinodai! Intinya, Pak Rahman dianggap memanfaatkan posisinya sebagai dosen untuk mendapatkan keuntungan pribadi berupa kenikmatan ...."

"Nikmat ya, Ndy?" potong Rara iseng.

"Kayaknya," Andy menyeringai bandel. "Tanya ke Silvy, yuk!"

"Bego!" Rara tergelak-gelak sambil menoyor kepala Andy. "Oh ya, Ndy, kasus pelecehan seksual itu gimana sih? Aku belum pernah tahu kejadian real-nya kecuali hanya dari baca atau nonton berita. Dalam bayanganku udah kayak horor gimana gitu, pake acara lapor polisi dalam kondisi berdarah-darah atau habis digaplokin atau diperkosa."

"Itu sih karena kamu kebanyakan nonton film," gerutu Andy.

"Eh tapi, menurut aku nih ya, kalau kasusnya pelecehan seksual, susah dong dibuktiin karena subyektif banget. Paling hanya mengandalkan saksi-saksi. Dan kalau kejadiannya di tempat tertutup yang nggak ada saksi, pengusutan kasusnya hanya bisa dilakukan berdasarkan asumsi saja, dan bisa jadi setiap orang memberi kesaksian yang berbeda."

"Maksud kamu gimana sih, Ra?"

"Gini, lho. Misalnya aku. Kalau aku ditanya tentang bagaimana hubungan antara Silvy dan Pak Rahman, ya aku akan bilang, nggak gimana-gimana. Beberapa kali kami bimbingan bareng, nggak ada tuh tanda-tanda mereka melakukan sesuatu yang aneh." Lalu Rara teringat sesuatu. "Contoh nih, kamu inget nggak waktu kita ke kantor Pak Rahman tempo hari? Waktu kita ngintip? Yang nempel-nempel ke Pak Rahman siapa? Silvy, kan?" tanya Rara.

Andy menggeleng. "Masa? Nempel gimana?" tanya Andy tidak mengerti.

"Itu lho, pemandangan sekilas di ruangan Pak Rahman."

"Oh, iya ya, inget."

"Inget kan, saat itu yang duduknya lurus siapa? Yang duduknya miring siapa?"

"Pak Rahman lurus. Silvy miring."

"Nah, kan?" Rara menjentikkan kedua jarinya.

"Iya sih. Tapi kalau begini, kamu kesannya belain Pak Rahman lho, Ra. Padahal kamu sendiri yang bilang kalau Pak Rahman pilih kasih dan over perhatian ke Silvy."

After All This Time (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang