enam

11.2K 2.1K 115
                                    

SATU hari sebelum kuliah pertama semester ini dimulai, Pak Hardo, mantan rektor yang baru saja lengser, menghubungi Rahman.

"Apakah benar kalau besok Mas Rahman akan memulai kelas Manajemen Lalu Lintas?" tanya pria senior itu to the point. Ketika Rahman mengiyakan, beliau melanjutkan. "Kebetulan anak kedua saya semester ini mengambil mata kuliah tersebut. Namanya Silvy Arumi Dewi. Mohon dibantu ya, untuk kelancaran kuliahnya. Besok dia akan memperkenalkan diri pada Mas Rahman."

Rahman masih terdiam beberapa saat setelah telepon ditutup. Bukan sekali dua kali dia menerima kode serupa dari para kolega yang ingin 'menitipkan' anak-anak mereka, sekaligus permintaan tersirat berupa jaminan nilai yang layak. Dalam beberapa kasus, para anak-anak itu sebenarnya cukup mampu mengandalkan usaha sendiri. Hanya saja ada orangtua yang tidak cukup percaya diri pada kemampuan sang anak. Tetapi banyak juga anak-anak dosen maupun karyawan yang memang kacrut, mulai dari mentalnya hingga kemampuan akademisnya. Menyedihkan memang.

Sudah tiga tahun berlalu sejak Rahman menyelesaikan program masternya di Australia, dan diangkat menjadi dosen di universitas almamaternya ini. Namun dia tetap merasa tidak rela ketika dipaksa mengikuti aturan main begini. Sungguh sayang sekali kalau beberapa kursi yang disediakan sebagai 'jatah' anak-anak orang dalam ini diisi oleh mereka yang sama sekali tidak layak mendapat privilese itu. Apalagi dengan mengorbankan hak anak-anak lain yang bertarung secara adil dengan mempertaruhkan prestasi dan hasil ujian masuk yang diseleksi dengan ketat.

Rahman bersyukur karena orangtuanya tidak mempermalukannya dengan keistimewaan tanpa harga diri begini. Meskipun baik ayah dan ibunya cukup memiliki posisi di tempat mereka bekerja. Kalau pun si sulung, Rosyad, bisa sukses menjadi dokter kandungan terkemuka dan memimpin rumah sakit yang telah dirintis sang mama, semua semata-mata karena dia layak mendapatkannya. Dan Radid, si nomor dua, memang lulusan akuntansi. Tetapi tidak membuat ayahnya mengambil jalan pintas dengan memasukkannya ke instansi tempat beliau memiliki jabatan cukup tinggi di sana.

Ketika Rahman si nomor tiga memilih jurusan teknik sipil, semua mendukungnya. Jurusan ini yang sepertinya cocok bagi anak laki-laki yang di keluarga dikenal cerdas tapi suka memberontak ini. Dan dia membuktikan kalau pilihannya tidak salah. Rahman sukses membuat anggota keluarganya terkejut ketika memutuskan untuk menjadi asisten dosen sambil menunggu kesempatan melanjutkan pendidikan dengan beasiswa ke luar negeri. Tidak berhenti sampai di situ, setelah lulus dari program master, Rahman bukan hanya berhasil menjadi dosen tetap, tetapi juga berhasil menyunting salah satu keponakan dosen senior, yang juga putri seorang pemilik perusahaan konsultan di bidang rekayasa teknik.

Goal yang dicapainya memang terlihat indah dari luar. Meskipun sebagaimana kehidupan yang selalu menyembunyikan jebakan di tempat-tempat tak terduga, pernikahan yang terlihat kukuh itu ternyata rapuh sejak awal.

"Siapa yang telepon?" tanya Shinta, istrinya yang petang itu baru pulang kerja.

Sebagai pegawai bank, istri Rahman baru bisa meninggalkan kantor setelah semua urusan transaksi selesai dilaporkan. Bahkan tak jarang wanita itu pulang larut malam.

"Pak Hardo, mantan rektor," jawab Rahman pendek.

"Ada urusan apa?" tanya Shinta lagi sambil meletakkan tas kerjanya di rak yang ada di ruang tengah rumah mereka.

"Biasalah. Nitip anaknya yang besok masuk di kelasku," jawab Rahman. "Tapi mau gimana lagi? Ini anaknya orang kuat di universitas."

Shinta meletakkan sepatunya di rak dengan kasar. "Dan kamu masih aja betah jadi dosen di situ," gerutunya. "Ngapain sih, bela-belain kerjaan yang gajinya nggak seberapa ini? Kamu bisa dapet lebih banyak kalau fokus di kantor konsultan milik papa."

After All This Time (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang