lima

11.4K 2.1K 99
                                    

RARA duduk di baris ketiga ruang kuliah bersama untuk mengikuti kelas Manajemen Lalu Lintas—mata kuliah yang sebenarnya diselenggarakan untuk mahasiswa semester enam ke atas. Membuatnya yang baru menginjak semester empat itu sebagai peserta termuda. Privilese ini dia dapatkan sebagai reward atas nilai IP semester dan IP akumulatifnya yang cukup tinggi.

Sebenarnya bisa saja Rara tidak mengambil mata kuliah ini sekarang, dan menunggu sampai tahun depan, bersama dengan teman seangkatannya. Tetapi sekarang pun tidak masalah, karena membuat beban SKS kumulatifnya akan semakin berkurang. Di bulan Mei tahun ini dia akan berusia sembilan belas tahun. Bila Rara ingin menyelesaikan kuliah di usia dua puluh dua tahun, di semester delapan, dia perlu mengoptimasi waktunya sejak sekarang.

Manajemen Lalu Lintas adalah pilihan praktis dan mudah untuk menggenapi jumlah SKS-nya, karena tanpa syarat praktikum. Meskipun sebagai risikonya Rara memerlukan usaha lebih keras untuk beradaptasi dengan para seniornya. Tapi biasanya penyesuaian hanya terjadi di pertemua awal. Selanjutnya pasti gampang, pikir Rara sok percaya diri.

Lagipula mata kuliah model manajemen begini bisa jadi selingan yang cukup menyenangkan buatnya. Selain ilmunya bisa didapat dari membaca, syarat mengikuti ujian akhir semester pun hanya berupa tugas dengan bimbingan dosen atau asisten dosen. Terlihat lebih mudah dijalani. Apalagi bila dibandingkan dengan Statika dan Mekanika Tanah lanjutan yang dia ambil juga di semester ini. Karena selain melibatkan banyak hitungan njelimet dan ruwet, mata kuliah model ini juga mewajibkan tugas besar dan praktikum yang membuatnya harus siap begadang mengerjakan laporan.

Kejutan terjadi di hari pertama perkuliahan. Berupa ruangan berukuran besar yang penuh oleh mahasiswa. Wew! Ternyata pesertanya sebanyak ini. Seolah semua mahasiswa semester enam dan delapan yang menjelang lulus, tumplek jadi satu di sini. Rara menoleh pada orang di kanan dan kirinya, mencari teman berbicara. Dua-duanya cowok satu tingkat di atasnya.

"Rame banget ya, Mas, pesertanya," katanya berbasa-basi.

Cowok di sebelah kanan tidak peduli kepadanya karena lebih asyik dengan ponselnya. Tinggal cowok di sebelah kiri yang tidak keberatan meladeninya dengan senyum manis.

"Karena kuliah ini cuma diselenggarakan tiap semester genap. Dan disatuin jadi sekelas gini," komentar si cowok senior di sebelah kiri.

"Pantesan. Aku udah datang tepat waktu, tapi masih nggak kebagian tempat duduk di baris depan," gumam Rara.

Bagi gadis itu, berada di posisi baris ketiga cukup menyiksa karena body size-nya yang termasuk ukuran mini membuatnya kesulitan melihat ke depan. Selalu saja halangan pandangan itu datang dari peserta kelas lain yang didominasi para cowok, dan rata-rata bertubuh lebih besar dan lebih tinggi darinya.

"Lain kali datangnya sepuluh menit lebih awal aja. Kalau nggak, kamu kalah sama cewek-cewek lain. Perhatiin aja tuh, siapa yang duduk di baris depan. Cewek semua, kan?"

"Hm ... iya, ya." Rara mengalihkan tatapannya pada seisi ruangan.

"Dosennya cakep, sih. Bikin cewek-cewek pada semangat."

"Secakep-cakepnya dosen, emang kayak apa sih?" cibir Rara.

"Ya, lihat aja bentar lagi," sang kakak kelas tersenyum geli.

Rara baru sadar akan pengaruh kemunculan sang dosen beberapa detik kemudian. Ketika sosok tinggi ramping itu melangkah kalem memasuki ruangan. Bagai tersihir, suasana pun hening seketika. Rara mengingat pria yang baru datang itu sebagai salah satu dosen tampan yang selama ini sering dilihatnya mondar-mandir di sekitar gedung perkuliahan dan kantor jurusan teknik sipil.

"Lebay nggak sih, ini? Kayak slow motion," komentar Rara iseng sambil berbisik.

Cowok di sebelahnya terkikik geli. "Bukan tipe kamu, ya? Ya udah, kamu ngalah aja. Pak dosen biar memanjakan mata kakak-kakak kelasmu. Kamu main-main sama oppa Korea aja."

After All This Time (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang