sepuluh

14.1K 2.4K 284
                                    

RARA merasa keberuntungan sedang menjauhinya di semester ini.

Jujur dia menyukai kelas Rahamn. Tetapi mengakui bahwa dirinya jauh tertinggal karena banyak hal yang belum dia ketahui karena belum mengambil beberapa mata kuliah pendukung. Idealnya memang baru tahun depan dia ikut kelas ini. Tetapi mau mundur pun sudah terlambat. Apalagi pembagian kelompok tugas sudah dilakukan. Dan kesialannya bertambah, dong. Pertama, karena dia sekelompok dengan Silvy yang selalu membuatnya. Kedua karena mereka dibimbing langsung oleh Pak Dosen yang ganteng ini. Orang yang suka mengolok-oloknya.

Ntar, kalau dianaktirikan gara-gara ada Silvy, bagaimana? Belum-belum Rara sudah berburuk sangka. Sampai akhirnya dia hanya bisa menerima dengan pasrah nasibnya di tangan dosen pilih kasih yang cuma peduli dengan cewek cantik ini. Dan harapannya terkabul. Konsultasi pertama Rara bersama sang dosen gagal total.

"Kok bisa? Padahal barusan kamu bimbingannya lama banget," komentar Andy yang menunggu Rara di depan ruang dosen dan melihat wajah temannya merengut kesal.

"Setengah jam, Ndy. Itu waktu yang digunakan oleh Silvy untuk konsultasi entah apaan. Awalnya kami barengan, tapi si 'Mbaknya' keberatan dan maunya terpisah. Jadi aku nunggu. Pas giliranku konsultasi, ternyata Pak Dosen ditelepon orang dan harus pergi. Kan asem banget, tuh!" kata Rara saat mereka menyusuri koridor menuju tangga ke lantai bawah, tempat kantor laboratorium Mekanika Tanah berada.

"Itu, Silvy, begonya nggak ketulungan, makanya lama banget. Entah otaknya dibuat dari apa, materi segampang itu nggak nyambung juga."

Andy tertawa terbahak-bahak. "Savage, Ra!"

"Eh, iya lho. Dan dosennya sama begonya, karena meladeni kebegoan itu."

"Atau jangan-jangan Silvy bayar SPP-nya dobel kali, makanya dapat jatah perhatian lebih," timpal Andy masih terbahak-bahak.

"Iya kali. Bukan dobel lagi, tapi tripel! Makanya dia bisa konsultasi tiga puluh menit, dan aku, zonk!" sahut Rara kesal. "Ih, padahal aku juga bayar, lho!"

Tapi Andy mendadak bungkam ketika sosok Rahman Hartala tiba-tiba melintas dengan cepat menyalip mereka. Terlalu asyik berbicara membuat mereka tidak menyadari kehadiran dosen tersebut dari arah belakang. Sekarang keduanya hanya menatap punggung Rahman yang bergerak cepat meninggalkan mereka dengan ekspresi horor.

"Gila kamu, Ra! Kalau orangnya dengar bagaimana?" Andy bergidik, ngeri.

Rara mendesah pasrah. "Semoga dosen bener-bener hanya bisa melihat makhluk berjidat licin. Jadi tampang kusem butut kayak aku nggak bakal dikenali."

"Tapi kamu baru keluar dari ruangannya, Ra. Sejelek-jeleknya kamu pasti ingatlah!"

"Jadi aku beneran jelek, ya?" tanya Rara nggak penting.

"Kan, kamu sendiri yang bilang? Ntar aku bilang cantik, kamu juga nggak bakal percaya."

Rahman masih mendengar sayup-sayup obrolan Rara dan pacarnya -- ? —ini, sambil menahan tawa. Sayang waktunya mepet sekali, karena harus bertemu orang yang mungkin bisa membantu masalah keuangan di perusahaan milik mertuanya. Kalau tidak, pasti akan diisenginya mereka berdua habis-habisan.

Hm ... jadi cewek lucu itu punya pacar? Kelihatannya cowok yang baik. Cara mereka mengobrol dan bercanda membuatnya iri. Ah, kapan ya, terakhir kali aku tertawa selepas itu bersama Shinta? Istri Rahman semakin sensitif akhir-akhir ini. Salah Rahman sendiri, yang semakin tidak punya waktu untuk mereka berdua. Karena di antara jadwal mengajar dan mengurus perusahaan yang sedang berada dalam titik kritis, energi dan emosinya terkuras habis. Berinteraksi dengan Shinta sering kali membuat kesabarannya semakin menipis karena tidak bisa mengikuti naik turunnya perasaan sang istri.

After All This Time (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang