dua belas

12.8K 2.5K 167
                                    

RASANYA aneh melihat seorang Rahman Hartala berdiri di depannya saat ini.

Dalam keruwetan masalah yang baru terjadi, untuk beberapa saat Rara mengabaikan arti kehadiran kembali pria dari masa lalunya ini. Tetapi sekarang, ketika pria itu berdiri di hadapannya, membuatnya menyadari bahwa mereka hanya berdua berada di ruangan tertutup ini. Dan debar-debar itu kembali lagi. Sialan. Benar-benar tak tepat waktu.

"Pak ...."

"Hm ...," Rahman menatapnya tajam. Tubuhnya yang tinggi terlihat menjulang dan mengintimidasi di mata Rara.

Kali ini Rara tidak bisa lagi menyembunyikan rasa groginya. Dalam posisi berhadapan seperti ini membuatnya bisa memperhatikan mantan dosennya dengan lebih jelas. Kesimpulannya, bagi pria berusia di atas empat puluh, Rahman seperti vampir yang menolak tua. Tidak buncit dan tidak botak. Rahman Hartala masih selangsing dosen tampan yang diingatnya dulu.

"Apakah kamu berencana menikah dengan laki-laki tadi?" tanya Rahman tak terduga.

Rara terkejut. "Kenapa?"

"Meskipun hubungan pribadi antar lawan jenis dalam satu kantor sudah tidak dilarang, kalian harus tetap mempertimbangkan efek lainnya. Mungkin akan lebih baik bila hubungan itu diresmikan secepatnya, menghindari interaksi fisik seperti tadi. Di kantor ini banyak orang berseliweran. Yang kalian lakukan tadi bisa menimbulkan kesalahpahaman."

Rara menghela napas lega begitu memahami arti kalimat Rahman. Kesalahpahaman paling nyata justru terjadi pada pria ini. Demi Tuhan penguasa langit dan bumi, belum pernah Rara mendengar kesimpulan seabsurd ini.

"Baiklah, Pak. Maaf, kami tidak sengaja," jawabnya, tak ingin memperpanjang masalah. Persetan orang mau berkata apa, sebentar lagi toh dia akan pergi.

"Saya sedang beres-beres barang pribadi saya. Jadi kalau surat pemecatan saya terima, saya tinggal angkat kaki," lanjut Rara ketika Rahman menatap heran pada barang-barangnya yang berserak di meja.

"Pemecatan?" Rahman mengerutkan kening, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tampak sebuah ransel berukuran besar terbuka di lantai, sepertinya siap menampung aneka barang, relate dengan kondisi beberapa laci yang terbuka. Saat itu barulah Rahman paham dengan jalan pikiran Rara.

"Duduklah," kata pria itu sambil menarik kursi di depan meja dan mengempaskan diri di sana. Tetapi melihat gadis itu hanya berdiri mengawasi, pria itu tersenyum. "Apakah kamu sudah begitu tidak tahan ingin keluar dari sini?"

Rara menatapnya ragu. "Pak Hilmy...."

"Pak Hilmy baik-baik saja."

"Berarti saya harus keluar sekarang. Karena selama Pak Hilmy berada di sini, tidak mungkin saya tetap tinggal. Selain situasinya tidak enak, juga mustahil."

"Kenapa mustahil?"

"Pak Hilmy pasti sudah tidak sabar ingin membuang saya. Kecuali saya punya orang kuat yang bisa mempertahankan saya tetap di perusahaan ini. Orang yang pengaruhnya setara, bahkan kalau bisa, lebih kuat daripada Pak Hilmy. Dan orang seperti itu ... tidak ada."

"Kenapa kamu tidak berpikir kalau kedatanganku untuk menyelamatkanmu?"

Ha? Rara sampai melongo mendengar ucapan pria di depannya. "Pak Rahman? Menyelamatkan saya? Buat apa?" tanya Rara spontan.

Refleks emosional Rara membuat Rahman menyadari bahwa di mata gadis itu, posisi dirinya tidak lebih dari Pak Hilmy, orang yang tidak segan-segan untuk menyingkirkannya. Dan Rahman merasakan dorongan kuat untuk mengubah pendapat Rara tersebut.

Dengan bersedekap pria itu memandang Rara yang beringsut menyelipkan tubuhnya di balik kursi yang ada di seberang meja. "Kenapa kamu punya pikiran kalau aku tidak akan membantumu?" tanyanya santai.

After All This Time (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang