delapan

11.4K 2.1K 78
                                    

JADWAL kuliah kelas Rahman dimajukan harinya. Rara mengumpat dalam hati membaca pengumuman yang ditempel di depan kantor jurusan. Padahal jadwal sebelumnya sudah ideal karena buat Rara Rabu adalah hari paling longgar baginya. Ini kenapa jadi hari Selasa pagi, sih?

"Iya, dimajuin sehari," terdengar obrolan cewek-cewek teman setingkat Silvy. "Karena Rabu bentrok sama mata kuliah lain. Akhirnya Silvy yang berinisiatif menghubungi Pak Rahman untuk meminta ganti hari. Tahu sendirilah, kalau Silvy yang ngelobi, dosen cowok mana yang bisa nolak? Denger desahan dia aja udah pada mati kutu mereka."

Rara mengentakkan kaki sambil pergi meninggalkan tempat itu. Sebel banget dia mendengar tawa penuh konspirasi dari kelompok mahasiswa angkatan tua ini.

"Gimana aku nggak emosi, seenaknya aja ganti jadwal tanpa konfirmasi yang lain," omel Rara dengan kesal. "Itu hari Selasa, kamu tahu sendiri kan hari itu horor banget buat kita? Ada kelas Struktur Baja, Struktur Beton, dan sorenya ada praktikum di Lab Tanah. Kalau semua ngasih tugas barengan, gimana aku nggak mampus? Belum lagi kalau bertepatan dengan jadwal setor data lab. Apa nggak bikin begadang sampai pagi, tuh?"

"Kenapa kamu nggak menyampaikan keberatan aja, seperti yang dilakukan kakak tingkat? Mungkin bisa diambil kebijakan, geser hari lain lagi," kata Andy enteng.

"Nggak mungkin, Ndy. Di kelas itu aku masuk golongan minoritas. Sendirian. Keberatanku nggak bakal didenger. Mana dosennya itu rasis banget. Ngeselin! Dia cuma peduli pada mahasiswi yang cantik, semok, semlohai, yang suaranya mendesah kayak video mesum di HP kamu."

Tawa Andy meledak. "Ngegasnya jangan kekencengan, Ra. Ntar ketahuan kalau kamu sirik," cowok itu menatap Rara geli. "Perasaan kamu aja kali yang terlalu sensitif."

"Idih, nggak percaya," bantah Rara sambil menceritakan suasana di kelas. Tentang bagaimana dosen itu seperti sengaja melewati acungan tangannya meskipun gadis itu sudah duduk di bangku paling depan.

"Mungkin waktunya sudah habis," komentar Andy enteng.

"Tentu aja habis, kalau Pak Rahman berlama-lama dalam menjawab pertanyaan Silvy yang sama sekali nggak mutu. Aku yang baru semester empat aja tahu kok, pertanyaan cewek itu tolol."

Andy tergelak-gelak sampai membungkukkan badannya yang kurus. "Yah, dimaklumi aja, orang tolol nyambungnya lama. Jadi harus dijelasin dengan detail banget baru paham. Bersyukurlah Ra, kamu pinter. Bisa nyari jawabannya sendiri lewat baca buku! Eh katanya dosennya ganteng banget, Ra. Idola cewek-cewek."

"Apa hubungannya?"

"Ya mungkin aja, karena ganteng secara nggak sadar kamu jadi tertarik. Orang yang tertarik, biasanya berkespektasi tinggi, dan akhirnya jadi kecewa ketika harapan nggak sesuai kenyataan. Begitu!"

"Analisis ngawur!" semprot Rara. "Emangnya aku berharap apa sih, Ndy?"

"Kamu berharap diperhatiin dosennya."

"Ya iyalah, Ndy, ngaco, kamu! Itu hakku karena aku bayar SPP!" bantah Rara geregetan. "Dan nggak bakal aku tertarik sama Pak Rahman. Nggantengnya mainstream, pasaran, bukan seleraku!"

Komentar Rara justru membuat teman dekatnya sejak dari SMA itu semakin ngakak. Andy cukup mengenal Rara, yang suka gengsi mengakui perasaan sendiri. Jangankan di kehidupan nyata begini, urusan ngefans artis saja Rara jaim banget kok.

Zaman mereka SMA, Maroon 5 lagi ngetop-ngetopnya. Tetapi gadis itu bilang nggak tertarik dengan alasan yang benar-benar tidak bergizi seperti ciki. Yaitu karena teman-temannya yang lain udah pada suka. Dia nggak mau ikutan. Padahal ketika diputerin lagu-lagu yang dinyanyikan Adam Levine itu jempol Rara goyang juga. Absurd banget emang cewek satu ini.

After All This Time (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang