Cuplikan BAB 34

1.3K 60 0
                                    

Cerita selengkapnya ada di Joylada dan KBM App ya say..
Yang penasaran bisa langsung baca kelanjutannya di sana yaa..

Dalam sebuah pernikahan ada yang disebut ujian, ada yang bernama kesalahan.

Ujian itu datang dari Tuhan. Seperti, ketika Tuhan mengambil sesuatu yang sebelumnya Ia titipkan, bertujuan untuk menguji hambaNya. Semisal ujian ekonomi, Tuhan bisa sewaktu-waktu mengambil harta yang Ia titipkan. Apakah pernikahan itu bisa bertahan, atau hancur?

Lain hal dengan kesalahan. Di sana tidak ada campur tangan Tuhan. Itu mutlak kesalahan manusia. Karena manusia dikaruniai akal, bisa memilih hal yang benar dan yang salah. Ketika manusia memilih hal yang salah, itulah kesalahan.

Begitulah yang terjadi padaku. Aku sadar, mencintai lelaki lain selain suamiku adalah kesalahan. Namun, dengan pongah aku memilih itu.

Mengabaikan nurani, menutup mata akan perasaan Aldi. Larut dalam euforia bak ABG yang dimabuk cinta. Sekarang, semua terkuak. Ternyata tak hanya Aldi yang tersakiti, tetapi orang-orang yang selama ini begitu tulus menyayangiku pun ikut tersakiti. Terlebih putriku, Alisa. Ia yang paling besar merasakan imbasnya.

Meski jika waktu bisa diputar, yang terjadi tetaplah sama. Karena jatuh cinta adalah karunia. Namun setidaknya, seharusnya aku bisa menggunakan logika. Tak kalah, bahkan dipecundang sebuah rasa.

Menahan diri, bagaimanapun rasa cinta merajai. Mengubur rindu, meski di dalam sini menggebu-gebu. Aku harus ingat, ada hati yang semestinya harus dijaga. Meski rasa ini luar biasa. Merongrong, tak hentinya berupaya mengalahkan logika. Namun, semestinya aku tak kalah, lalu kini menjadi salah.

Kini aku merasakan, betapa hati ini lebur melihat air mata Alisa. Wajah yang biasanya secerah mentari, kini awan hitam menyelimuti. Semua hanya karena aku yang tak bisa mengendalikan hati. Dan kini maafku sudah tak berarti lagi.

"Mama!" Alisa memanggilku dalam tangis. Kemudian melebur jarak di antara kami.

"Maafin Mama." Hanya itu kata yang bisa aku ucap. Semua kata yang ingin terucap hanya sampai di tenggorokan, membuat dada ini semakin sesak.

"Mama jangan menangis!" pintanya sambil menghapus air mataku. Namun, semakin dia hapus, semakin berjejalan buliran itu keluar dari pelupuk mataku. "Pa, Mama kenapa?" tanyanya kemudian sambil terisak.

"Alisa ke kamar dulu, ya! Nanti Papa sama Mama jelasin semuanya ke Alisa," titah Aldi sambil mengusap kepala putrinya.

"Tapi, Pa?" protesnya yang langsung direspon dengan gelengan oleh Aldi.

Alisa kembali menatap wajahku dan menghapus air mata di pipiku. "Mama jangan menangis! Alisa sedih." Air mata putriku pun menyeruak kembali. Kurengkuh erat buah cintaku dengan Aldi.

Air mataku semakin deras. Bagaimana aku harus menjelaskan segalanya pada Alisa? Ia harus menjadi korban broken home karena memiliki mama tak bermoral sepertiku. Bagaimana aku bisa menghadapinya?

"Mba, ajak Alisa ke kamar, ya!" titah Aldi pada Mba Weni.

Mba Weni meraih tangan Alisa dan menuntunnya masuk. Aku menunduk sambil tergugu.

Ampuni aku, Tuhan!

"Nak Aldi, tolong pikirkan lagi! Pertimbangkan masa depan Alisa juga!" Ayah bersuara setelah sekian detik ruangan ini begitu hening.

"Aldi sudah mempertimbangkan semuanya, Yah. Aldi minta maaf, tapi ini yang terbaik." Kali ini suara Aldi terdengar tenang. Justru membuat aku semakin takut. Aku takut, ia benar-benar tak memberiku kesempatan lagi.

"Mas, aku mohon! Demi Alisa, Mas!" mohonku sambil memegangi kaki Aldi.

"Al, semua masalah bisa diselesaikan baik-baik. Jangan begini!" bujuk Ibu mertua.

Aldi terlihat menjatuhkan kedua bahunya. Kemudian mengusap wajah dengan kasar. "Bangunlah, Don!" pintanya.

Aku masih bergeming sambil mencoba membaca sorot mata Aldi. Apakah ia benar-benar menuruti perintah ibunya?

"Bangunlah, Don!" pinta Ibu mertua sambil mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. "Tolong, kalian pikirkan juga Alisa. Ibu enggak mau, cucu ibu menderita."

Ruang tamu kini begitu hening. Aldi masih mengunci rapat-rapat mulutnya. Semua tampak sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Sedang aku, hanya bisa menunduk. Meski Aldi tak mengungkapkan permasalahan kami, tetapi aku sangat malu pada semua. Aku yakin, mereka pasti tahu kesalahan terbodohku itu.

"Tolong, dinginkan dulu kepala kalian. Setelahnya kalian bisa bicara baik-baik. Sementara Alisa ayah ajak ke rumah dulu," ucap Ayah.

"Betul, Al. Jangan gegabah memutuskan sesuatu," timpal Ayah mertua.

"Aldi sudah memikirkannya masak-masak, Yah. Aldi enggak bisa." Begitukah laki-laki? Ketika harga dirinya ternodai sudah tak akan ada maaf lagi?

Bahuku terkulai lemah. Kini aku pasrah. Jika takdir menggariskan pernikahan ini berakhir, aku bisa apa? Berat. Ini sangat berat, tetapi aku juga tidak bisa memaksakan sebuah rasa.

Saat cinta di hati seseorang telah memudar, sekeras apapun kamu berusaha, tidak akan bisa membuatnya indah kembali. Semua akan semakin hambar jika dipaksakan. Maka aku memilih merelakan. Mengalir bersama takdir.

Meski air mata masih tak bisa berhenti mengalir, setidaknya hatiku kini telah lapang. Akan kuterima apa yang seharusnya harus kuterima. Aldi lelaki baik. Ia berhak bahagia dengan wanita yang sepadan dengannya. Bukan wanita sepertiku.

SUAMIMU CANDU UNTUKKUWhere stories live. Discover now