POV Aldi

2.1K 83 8
                                    

Pernahkah kamu merasakan waktu berjalan begitu lambat? Saat ini aku sedang merasakanya. Setiap detik terasa begitu menyiksa. Seolah tumpahan air mata tak cukup untuk mengungkapkannya.

Dinginnya lantai pagi ini tak membuatku beranjak. Aku masih setia bersimpuh dengan nada sumbang penuh harap untuk keselamatan istriku.

"Tuhan, apa yang harus aku serahkan agar istriku segera membuka mata?" ratapku pilu berharap Tuhan iba.

Setengah jam lebih tim medis di ruangan Dona. Tak juga ada kabar baik yang bisa menentramkan jiwa. Aku masih menunggu berbalut pilu. Rasa takut kehilangan semakin mendera.

"Aku tak sanggup, Tuhan," rintihku memikirkan kemungkinan terburuk terjadi pada Dona.

"Selamatkan istriku, aku mohon, Tuhan!" isakku semakin menjadi.

Sesak semakin menyergap. Kupukul-pukul dada ini berharap sesak itu bisa menghilang. Namun justru semakin menggunung.

Terdengar suara pintu dibuka diiringi ketukan sepatu. Aku langsung menghambur ke arahnya diikuti keluargaku dan lelaki itu.

"Bagaimana istri saya, Dok?" tanyaku tak sabar.

"Kondisi istri Bapak masih kritis, silahkan jika salah satu keluarga akan menemaninya. Akan lebih baik jika orang terdekatnya memberikan stimulus untuk merangsangnya."

Dokter berperawakan tambun itu melenggang pergi diikuti beberapa perawat yang menangani Dona. Aku kembali tertunduk, merutuki kebodohanku. Aku yang biasanya bisa menahan emosi saat itu benar-benar kalap. Istriku jadi korbannya. Apapun masalahnya saat emosi tak terkendali memang hanya akan berbuah penyesalan.

Aku menoleh pada Ayah dan Ibu mertua. Barangkali mereka hendak melihat Dona.

"Kamu duluan, Al!" titah Ibu mertua seolah mengerti isi hatiku.

Gagang pintu itu terasa begitu dingin. Jantungku berdebar hebat mengiringi langkah gontaiku. Kembali kulihat wajah pucat pasi itu. Tak percaya rasanya jika yang terbaring itu istriku.

"Mbul," isakku mencium jemari lentiknya.

"Mbul, ini aku. Kamu bisa mendengarku, kan?" Aku menatap penuh harap wajah yang masih terlelap itu agar mau membuka mata.

"Mbul, buka matamu. Kamu ingin kita berangkat bersama setiap pagi sekalian mengantar Alisa, kan?" Suaraku serak menahan sesak yang begitu menyiksa.

"Ayo, Mbul! Alisa nungguin kamu."

"Mbul!"

Dadaku semakin sesak tak bisa berkata-kata lagi. Aku tergugu dalam pilu sembari menciumi jemari dinginnya.

"Mbul, aku mohon buka matamu! Apapun pintamu akan kupenuhi, Mbul. Tolong bangun, Mbul!" Aku memohon padanya, berharap dia akan meresponku.

"Jangan hukum aku seperti ini, Mbul. Aku enggak sanggup hidup tanpamu, Mbul." Tangisku semakin menjadi, hatiku seperti tercabik.

"Aku mencintaimu, Mbul. Kamu ingin dengar aku mengucap itu, kan?"

"Aku mencintaimu, Mbul. Aku mencintaimu. Tolong temani aku, Mbul. Sampai kita renta nanti."

"Aku tak mampu hidup tanpamu, Mbul."

Aku menangis sambil mencium pipinya yang dingin. Kusandarkan keningku di pipi pucat itu.

"Mbul, kamu dengar aku kan? Tolong jawab aku, Mbul!" isakku di telinganya.

Cukup lama aku mengajaknya bicara, tapi tak sekalipun dia meresponku. Dia tetap terlelap tak menghiraukan suara tangisku. Aku menghapus air mata yang masih tak berhenti membasahi pipi. Kucium kening dan pipinya.

SUAMIMU CANDU UNTUKKUWhere stories live. Discover now