Bagian 8

5.8K 272 2
                                    

Langkah kaki Aldi tak kudengar lagi, membuat dada ini semakin sesak. Nyatanya, dia memilih pergi tak menghiraukan hatiku yang berdarah-darah. Tangisku kian pilu merasakan duka bertubi ini. Memikirkan suami di kamar dengan wanita lain saja rasanya begitu perih, bukannya luka ini dia balut malah dia siram dengan air garam. Perih.

Tubuhku luruh di lantai. Entah berapa lama aku larut dalam kepedihan ini. Temaram lampu jalanan mulai menerangi.

Kuputuskan untuk bangkit, menata hati yang kepingannya terinjak sadis oleh suami sendiri. Kutatap Alisa yang masih damai dalam mimpinya, perlahan senyum tersungging di bibirku. Hanya gadisku ini pelipur laraku. Namun buliran hangat itu kembali membanjiri pipi.

Terdengar langkah kaki menaiki tangga. Segera kuhapus air mata menyedihkan ini. Aku tak ingin terlihat mengenaskan oleh siapapun. Kulangkahkan kaki ke kamar mandi, kubasuh wajah dan kupoles sedikit makeup untuk menutupi sembabnya.

Langkahku terhenti ketika membuka pintu kamar mandi melihat sosok tinggi tegap sedang berdiri menatapku. Wajahnya begitu sendu. Ingin kumenghambur ke dada bidangnya tapi aku tak bisa. Sekuat tenaga logikaku menahan. Namun mataku tak mampu lagi menahan genangan yang ingin segera tertumpah.

Melihatku menyedihkan seperti ini dia langsung merengkuhku, "Maafkan aku! Maafkan aku kembali menyakitimu."

Tangisku pecah dalam pelukannya. Kutumpahkan segala lara yang begitu menyesakkan dada. Tak kupedulikan suara tangis yang memalukan memenuhi ruangan ini. Dengan sabar dia menungguku tenang, membelai rambutku dan mengucup puncaknya.

Setelah cukup tenang aku mengurai pelukan ini. Aku menunduk tak ingin wajah menyedihkan ini ditatapnya. Tapi jemarinya menarik daguku keatas sehingga mata kami bertemu. Menatap mata teduh itu hatiku semakin tak menentu. Rasa yang sejak kemarin aku tekan kembali membuncah.

Dia menuntunku ke sofa kemudian berlalu. Kudengar suara sendok berpadu dengan gelas memecah keheningan.

"Minum dulu, badanmu sampai kedinginan seperti ini," ucapnya seraya memberikan teh panas.

Pelan-pelan aku menyesap teh panas itu. Kehangatannya menjalari tubuh. Kulihat Alisa masih sangat pulas.

"Kita dari bawah saja takut mengganggu Alisa," ajakku seraya berdiri dengan cangkir masih di genggaman.

Suasana begitu sepi, hanya suara jalanan saling bersahut silih berganti. Mungkin anak buahku tahu aku ribut dengan Aldi sehingga pulang tanpa pamit.

Senyum miris terbentuk di bibirku saat merasa kedua bahuku ditutupi jaket tebalnya. Yang paling kubutuhkan siapa yang di sisiku siapa.

"Karina gimana?" ucapku memecah keheningan.

"Hhmmm, sama saja." Senyum kecut tersungging di bibinya tanpa aku tahu maknanya.

"Aku minta maaf telah melukaimu separah ini, Sayang." Tangannya meremas lembut jemariku, namun aku menariknya.

"Kenapa, Sayang?" Melihat responku Damar seperti kaget.

"Aku nggak bisa seperti ini Dam, aku nggak mau melukai siapa-siapa." Meskipun kata-kata dan hatiku bertentangan, tapi aku harus tetap waras. Bagaimanapun baiknya Damar, bagaimanapun cintanya dia padaku kami sudah sama-sama menikah.

"Tapi Don ... ." Damar tak terima dengan ucapanku.

"Damar, kamu milik Karina, okey?"

"Tapi aku cinta kamu, Don, kamu tahu itu."

"Stop Dam, aku nggak bisa." Aku mengangkat telapak tanganku kearahnya.

"Dona, please! Lihat mataku, tatap aku, Don!"

SUAMIMU CANDU UNTUKKUWhere stories live. Discover now