Bagian 2

10K 316 1
                                    

Aroma maskulin yang dulu begitu akrab dengan hari-hariku memenuhi ruang. Aku sangat merindukannya. Merindukan aroma itu serta pemiliknya yang kini ada di depanku, dia menarik kursi dan duduk sambil tersenyum padaku. Diantara kami ada meja kayu bundar dengan diameter sekitar setengah meter, di tengahnya ada bunga lili putih dengan vas cantik sesuai seleraku.

Tatapan kami bertemu. Kuabsen tiap inci wajah tampan dengan kulit kuning langsat itu, rambut hitam tersisir rapi menyamping, alis tebal menyempurnakan mata indahnya yang teduh, hidungnya mancung dan di bawahnya kumis tipis tercukur rapi menghiasi bagian atas bibir tipisnya. Tak berubah.

Makhluk Tuhan yang satu ini benar-benar telah memporak-porandakan hatiku, menghancurkan janji suci pernikahan di hatiku yang selama ini aku jaga. Aku benar-benar memujanya, memuja seluruh yang ada padanya. Sikapnya lembut penuh pengertian. Dia tahu bagaimana memperlakukanku, ketika aku sedih, marah, dan segudang suasana hatiku yang lain. Dia selalu bisa mengatasinya dan membuatku kembali tersenyum.

"Khemm ... ." Aku berdehem sambil tersenyum dan menundukan wajah yang saat ini pasti merah merona. Aku berusaha menjernihkan pikiran dari bermacam hal yang berkecamuk disana.

"Sudah makan?" Damar masih tak melepas tatapannya padaku. Seolah kami sudah bertahun-tahun tak bertemu. Ya, ini memang pertemuan kedua kami setelah aku kembali ke kota ini. Kota sejuk yang selalu aku rindukan.

"Belum, kamu sudah lapar?" Sebenarnya aku masih ingin disini. Menatap jalanan dari kaca yang basah karena gerimis di luar. Aku menggosok telapak tangan karena kedinginan.

"Belum juga." Senyumnya mengembang melihatku menggosok-gosong telapak tangan.

"Kamu sama sekali gak berubah ya, Don." Melihatku menggosok-gosok telapak tangan, dia langsung menggenggamnya memberikan kehangatannya.

"Oh Tuhan! Aku sangat merindukanmu Dona." Dia menatapku sambil menggenggam erat tangan dingin ini.

Nafasku tercekat, kaget dan ingin menarik kembali tanganku ketika tanpa izin dia menggenggamnya, persis seperti yang selalu dia lakukan dulu. Aku memang mudah sekali menggigil kedinginan, entah apa yang bermasalah pada tubuhku, aku tak mengerti.

"Kenapa? Kamu nggak suka?" tanyanya lembut mencari jawaban di manik mataku sambil mempererat genggamannya.

Kubiarkan jemari ini berada dalam genggamannya. Merasakan kembali kehangatan yang telah lama hilang. Malam itu kami bernostalgia, bercerita tentang masa lalu kami yang indah tapi menyakitkan penuh siksa dan derai air mata. Cinta memang membuatku benar-benar buta.

.

Suasana rumahku begitu sepi, tak hanya malam ini sebenarnya. Setiap haripun selalu sepi. Penghuninya sibuk dengan tugas masing-masing. Hampir tak ada canda tawa di dalamnya kecuali canda tawa dari program televisi yang sering kutonton. Aku memarkir mobil di garasi kemudian berjalan perlahan memasuki rumah. Bunga warna-warni di kanan kiri jalan setapak yang di hiasi bebatuan putih kecil-kecil mempercantik depan rumah. Kubuka pintu yang tak terkunci, terlihat Mba Weni sedang asyik menonton sinetron di ruang keluarga.

"Mba, Alisa sudah tidur?" Suaraku rupanya mengagetkannya. Ucapan salam ketika masuk rumah memang jarang sekali terdengar di rumahku. Paling Mba Weni yang kadang mengucapkannya ketika pulang.

"Hehehehe kamu kaget ya?" Aku tertawa melihat ekspresinya.

"Hehehe iya Bu, habis sejak Alisa tidur saya sendirian Bu," jawabnya seperti ada keluhan di dalamnya.

"Lho, Mas Aldi belum pulang?" Kulihat jam di dinding sudah pukul 22.13 tapi Aldi belum pulang.

Kuambil ponsel di tas. Teleponku tersambung ke Aldi.

SUAMIMU CANDU UNTUKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang