3

73 24 2
                                    


Layar laptop Kina menyala. Sebuah tulisan artikel menganga pada kalimat yang tak selesai, sementara sang penulis kini meringkuk di atas tempat tidur, membiarkan tubuhnya merasa aman dalam pelukan seorang pria.

"Aku rasa itu bukan pocong," kata pria itu, Ryan, sambil mempererat pelukannya.

"Aku juga nggak bilang kalau itu pocong. Aku cuma bilang kalau guling itu aneh," kata Kina.

Sejak kedatangan Ryan, Kina sudah berusaha menjelaskan apa yang ia lihat di rawa. Soal guling yang bergerak sendiri mendekat ke arahnya, tentang darah yang merembes keluar dari dalam guling, dan tentang ia yang terjatuh ke dalam air rawa. Namun berkali-kali Ryan berhasil membuatnya meragukan persepsinya sendiri. Tempat itu gelap, cahaya minim, dan ia sedang banyak pikiran. Mungkin semua yang ia lihat di rawa hanyalah ilusi yang timbul dari rasa takutnya sendiri.

"Terus siapa yang bilang itu pocong?" tanya Ryan lagi.

"Andrea," jawab Kina.

Ketika menyebut nama itu, tiba-tiba saja dadanya seperti ditusuk. Ia menelan ludah dan berusaha melupakan curhat Andrea tentang Ryan.

Tidak ada yang bisa melarang siapa pun untuk jatuh cinta. Lagipula, perasaan Andrea cuma satu arah.

"Wajar sih kalau dia berpikir begitu. Soalnya dari jauh lumayan mirip. Tapi nggak semua yang mirip pocong itu pocong. Lagian, menurutku, hantu pocong itu overrated."

Kina menghela napas mendengar kata-kata Ryan.

"Overrated gimana? Bagiku, hantu pocong itu tetap hantu paling seram, dibandingin vampire, mumi, atau alien," ujar Kina.

"Jelas. Itu karena kita hidup di masyarakat yang mayoritas muslim. Pocong itu, kan, cara membungkus mayat dalam ajaran Islam. Imej kita tentang mayat—termasuk mayat hidup—jadi identik dengan pocong."

"Berarti di Amerika nggak ada pocong?"

"Kamu pernah lihat hantu pocong di film horor Amerika?" tanya Ryan, mencubit hidung Kina gemas.

"Nggak pernah, sih," jawab Kina sambil tertawa. "Tapi mereka juga punya hantu-hantu yang serba putih gitu. Sama kaya kita. Kenapa, ya? Kan mayat mereka nggak dibungkus kain putih?"

Ryan menarik napas dalam, bola matanya melirik ke atas, mungkin sedang mengingat-ingat, mungkin sedang mengarang cerita.

"Ada yang pernah bilang, manusia itu sebenarnya bukan takut pada sesuatu yang nggak dikenalnya, tapi pada sesuatu yang terlupakan. Sesuatu yang pernah kita kenal, tapi kita lupakan, lalu mati, menjadi mayat di dalam ketidaksadaran kita. Itulah hantu yang sebenarnya."

"O ... kee? Jadi apa hubungannya dengan pocong dan hantu putih?"

"Aku punya teori, cuma teori, atau lebih tepatnya dugaan, bahwa memori tentang cahaya putih di tengah kegelapan adalah memori paling primitif, paling awal, yang pernah masuk ke dalam kesadaran manusia. Sesuatu yang paling awal yang kita lupakan. Hantu dari segala hantu," ucap Ryan, diakhiri dengan tatapan mata tanpa kedip ke mata Kina.

Sejenak, pria itu seolah menunjukkan sifat aslinya. Ryan yang dulu kutu buku di kampus seolah muncul lagi ke permukaan. Bedanya, kini ia berkali-kali lipat lebih percaya diri mengungkapkan kegilaan isi pikirannya. Mungkin terlalu percaya diri.

Kina membalikkan badannya, memunggungi Ryan, tapi tak melepaskan tubuhnya dari pelukan lelaki itu. Ia tak suka ditatap seperti itu.

"Aku nggak setuju. Cahaya di tengah kegelapan ... bukannya itu malah lambang harapan? Semacam light at the end of a tunnel," ujar Kina. "Sesuatu yang terang, positif, suci, divine. Cahaya putih itu bisa jadi malaikat, atau dewa, atau pencerahan."

PelukWhere stories live. Discover now