5

69 23 1
                                    


Kina telentang di atas kasurnya, menatap langit-langit kamar yang memantulkan cahaya temaram berbentuk gelombang air dari sebuah lampu proyektor. Suara gemericik air terdengar dari dua speaker kecil di sudut kamar. Dia merasa seperti tidur di dalam air.

Meski sudah dibantu perangkat-perangkat perekayasa suasana itu, tubuh Kina masih jauh dari rasa rileks. Sendi-sendi tubuhnya terasa nyeri dan matanya perih, seolah kelopak matanya baru saja disayat-sayat silet. Ia tahu, setidaknya ada dua alasan mengapa matanya terasa perih.

Alasan pertama, waktu tidurnya hari ini menjadi sangat kacau. Teror guling misterius di rawa adalah pemicunya. Kehadiran Ryan kemarin malam bukannya membuat ia lebih tenang menghadapi rasa takutnya, tapi malah membuatnya terjaga semalaman. Ketika akhirnya berhasil terlelap, ia malah dibangunkan oleh mimpi buruknya dan ketukan pintu anak pemilik kost. Selepas itu, ia harus membujuk Ryan untuk pergi dan bahkan membantunya mengendap-endap di lorong kos agar tak ada penghuni lain yang melihat.

Setelah Ryan pergi, apakah lantas Kina bisa kembali tidur? Tentu tidak. Ia harus berusaha menyelesaikan tulisannya sembari menahan rasa kantuk dan nyeri di kepalanya. Entah sudah berapa kali dalam proses mengetik itu ia ketiduran dan bermimpi. Seperti para supir berpengalaman yang dapat mengendarai mobil dalam keadaan tidur, Kina pun dapat membuat artikel sambil bermimpi.

Berkat bantuan tiga cangkir kopi (yang membuatnya ingin muntah pada cangkir ketiga) ia akhirnya bisa menyelesaikan artikelnya hingga kalimat terakhir.

Ia menghembuskan napas berat ketika menekan tombol Send di halaman email-nya. Untunglah modem internetnya sedang tak bermasalah. Draft artikel itu terkirim tanpa hambatan. Biasanya, sang klien akan membalas emailnya sehari kemudian sehingga ia masih punya jeda waktu untuk berleha-leha sebelum gelombang revisi menimpanya.

Namun mungkin sang klien sedang bersemangat saat itu. Dalam waktu kurang dari lima belas menit, ia membalas email Kina. Awalnya hanya satu email berisi ucapan terima kasih dan sedikit teguran karena terlambat. Tak sampai lima menit kemudian, muncul lagi email kedua. Kali ini isinya adalah sindiran tentang isi artikel yang banyak mengandung typo dan susunan kalimat yang seperti ditulis sambil mabuk. Ia meminta revisi. Segera.

Kina mengerang. Ia kesal, tapi terlalu lelah untuk membalas email itu, apalagi untuk merevisi tulisannya. Ia pun memutuskan untuk menyimpan kekesalan itu di dalam sebuah lemari kecil di dalam benaknya tempat ia menyimpan semua janji-janji yang tertunda.

Ia memutuskan untuk merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia butuh istirahat. Hal terakhir yang ia lakukan sebelum menyalakan "lampu bawah laut" dan audio suara airnya adalah memeriksa notifikasi di ponsel. Ia meraih ponselnya yang semalam sempat ia lempar karena tak ingin mengangkat telepon dari Andrea.

Ada sepuluh panggilan tak terjawab terpampang di layar ponselnya. Berbanding terbalik dengan dugaannya, hanya satu dari sepuluh panggilan itu yang berasal dari nomor telepon Andrea. Sembilan panggilan lainnya berasal dari nama yang hanya terdiri dari empat huruf: Mama.

Jantung Kina terasa berhenti ketika membaca nama itu. Ia segera memeriksa pesan masuk. Benar saja, ada pesan dari ibunya di WhatsApp yang belum ia baca sejak tadi malam. Bukan hanya satu pesan, tapi beberapa pesan yang datang bertubi-tubi.

Nara, angkat teleponnya.

Nara, Papa udah nggak ada.

Papamu udah meninggal.

Mama cuma ngabarin. Papa langsung dikebumikan sesuai protokol.

Untung Papa meninggal karena Covid, jadi kamu nggak perlu repot-repot mikir mau ke sini, kan?

PelukWhere stories live. Discover now