7

68 21 2
                                    


Biasanya, perjalanan pulang selalu terasa lebih singkat daripada perjalanan pergi. Namun hal ini tak berlaku bagi Kina. Ia berlari, berusaha menjauh secepat mungkin. Ia tahu bahwa Ryan tak akan mengejarnya–dan itu adalah hal yang bagus, tapi ia tak ingin berada dekat dengan lelaki itu dan menghirup udara yang sama dengannya.

Bukan hanya Ryan, tapi juga, dan terutama, Andrea. Semakin jauh ia berlari, ia semakin dapat berkata jujur kepada dirinya sendiri, bahwa persahabatannya dengan Andrea selama ini hanyalah kepura-puraan. Dalam kisah mereka, ia hanyalah seorang sidekick. Tokoh pelengkap yang bertugas mendengarkan keluh kesah dan memuaskan ego si tokoh utama. Seharusnya sudah sejak dulu ia melarikan diri seperti ini.

Ia berhenti dan bersandar pada sebuah batang pohon beringin yang besar dan tampak tua. Napasnya terengah-engah, lututnya gemetar. Sesekali ia terbatuk dan nyaris muntah. Ketika napasnya mulai dapat dikendalikan, ia melihat kondisi sekelilingnya. Ada di mana ia sekarang? Ia tidak mengenali tempat itu.

Kina sadar bahwa ia telah mengambil keputusan yang salah ketika mencoba memotong jalan. Ponselnya mati karena kehabisan daya dan tak ada satu pun kendaraan umum yang lewat. Bila berjalan kaki ke rumahnya lewat jalan biasa, mungkin ia baru akan tiba menjelang Shubuh. Andai saja ia laki-laki, mungkin ia akan lebih berani untuk tidur di mushola atau di emperan toko sambil menunggu pagi.

Sekarang, apa yang ia lihat di sekelilingnya adalah jalan setapak kecil, semak belukar, dan pohon tua yang menjadi tempat bersandarnya. Mungkin ada yang lain, tapi ia tak dapat melihatnya di tengah kegelapan ini.

Sudah terlambat untuk kembali ke jalan semula, selain itu ia pun tak tahu ke mana arah jalan kembali. Ia memutuskan untuk berjalan pelan-pelan menyusuri jalan setapak itu, merentangkan tangannya untuk meraba-raba permukaan apa pun yang dapat ia temukan: ranting pohon, dedaunan, dan dinding batu.

Kina melihat ke langit, berharap ada cahaya bulan atau bintang yang bisa memandunya. Namun malam itu adalah malam bulan mati. Hanya ada sedikit cahaya yang berpendar, mungkin dari pantulan cahaya lampu jalan dan kendaraan dari tempat yang jauh.

Ketika sedang memandangi langit, ia dikejutkan dengan kemunculan sebuah benda. Awalnya, benda itu hanya terlihat seperti bulatan putih kecil yang mengambang. Lama-kelamaan, benda itu turun perlahan, dan ukurannya terlihat semakin membesar. Pada akhirnya, ia menyadari bahwa benda itu tidak benar-benar bulat, melainkan agak memanjang.

Benda itu turun dari langit, semakin dekat dan berpendar lemah.

"UFO?" gumam Kina. "Hantu?"

Semakin rendah benda itu turun, semakin Kina dapat melihatnya dengan jelas. UFO mungkin bukan istilah yang tepat, karena kini ia mulai dapat mengidentifikasi benda itu. Benda itu adalah guling putih yang selama ini menghantuinya.

Guling itu mendarat sekitar dua meter di hadapannya. Permukaan benda itu berpendar putih. Selama beberapa detik, mereka saling tatap. Guling itu memang tak memiliki wajah, tapi Kina yakin bahwa ia sesungguhnya sedang menatap wajahnya.

"Kamu siapa?"

Pertanyaan itu akhirnya keluar juga dari mulut Kina. Seharusnya ia menanyakan hal itu sejak awal, tapi ia tak yakin bahwa makhluk itu akan menjawab pertanyaannya.

Benar saja. Guling itu tak menjawab. Ia tetap membisu. Hanya saja, Kina merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Jantungnya berdetak kencang, dadanya terasa hangat. Namun apa yang ia rasakan sekarang bukanlah rasa takut, melainkan suatu perasaan yang sangat lembut dan sulit ia definsikan. Rasa sayang? Kerinduan?

Perasaan itu bekerja seperti sebuah magnet yang membuat kaki Kina melangkah maju. Ia berjalan mendekat ke arah guling itu tanpa sempat mempertanyakan niatnya sendiri. Permukaan guling itu terlihat begitu nyaman. Sarungnya yang berwarna putih kini terlihat bersih, tidak ada lagi noda bekas tanah atau basah bekas air rawa.

PelukWhere stories live. Discover now