4

68 22 0
                                    


Sebelum terlelap, Kina sempat mendengarkan cerita Ryan tentang pengalamannya diculik UFO yang terkenal di kalangan para alumni itu.

Peristiwa itu terjadi sekitar setahun setelah ia lulus kuliah. Ryan, menurut pengakuannya, dalam kondisi terpuruk secara mental. Mungkin itu adalah semacam quarter life crisis, suatu fase ketika seorang pemuda menyadari bahwa ia sama sekali tidak siap untuk menjadi orang dewasa dan gagal menjadi "diri ideal" yang ia bayangkan selama ini.

Dengan IPK yang cukup tinggi, ia sama sekali tidak kesulitan dalam mencari pekerjaan. Tidak sampai sebulan setelah lulus, ia langsung diterima masuk kerja sebagai karyawan sebuah perusahaan. Namun saat itulah ia menyadari bahwa semua sudah terlambat.

"Waktu itu aku merasa, aku sudah sampai pada point of no return. Aku udah nggak bisa lagi mengubah siapa diriku. Udah terlambat. Aku cuma akan jadi satu di antara miliaran manusia yang hidup sia-sia, mati sia-sia."

Suatu malam, setelah kerja lembur yang melelahkan dan penuh tekanan, ia termenung di gerbong KRL. Ia teringat cita-citanya semasa kecil yang ingin menjadi ilmuwan, menjadi penemu yang bisa memuaskan rasa ingin tahunya sekaligus bermanfaat bagi umat manusia. Setelah dewasa, cita-citanya agak berubah. Ia sempat ingin menjadi dosen, meskipun tidak yakin memiliki kemampuan komunikasi yang baik, apalagi kemampuan mengajar. Namun, pada akhirnya ia hanya menjadi pekerja kerah putih biasa seperti jutaan orang lainnya.

Bukan berarti tak bersyukur, hanya saja ia merasa telah melangkah ke jalur yang salah. Jika dunia paralel itu benar-benar nyata, pikirnya, maka realita yang ia tinggali sekarang adalah realita yang tidak ideal. Ia adalah dirinya yang tidak ideal—dan itu menyisakan kehampaan yang menggelisahkan.

Saat kereta itu berhenti di salah satu stasiun, ia melihat dua sosok yang ia kenal sedang berdiri di peron. Itu adalah Kina dan Andrea. Sembilan puluh persen kenangan teman-teman sekolah dan kuliahnya telah lama redup dalam ingatannya, tapi dua orang perempuan itu adalah pengecualian. Mereka selalu menarik perhatiannya selama kuliah dan terus bertahan hingga saat ini.

"Kalian kelihatannya seru. Pasti asyik kalau bisa berteman dengan kalian. Sayang, aku nggak pernah bisa melakukan itu. Aku takut ditolak, takut dianggap aneh, takut nggak nyambung. Terutama kamu, Kina. Aku nggak pernah punya nyali untuk ngajak kamu ngobrol."

Pada saat itu, muncul dorongan kuat dari dalam dirinya untuk turun di stasiun itu. Ia ingin menghampiri Kina dan Andrea, menyapa mereka, mengobrol basa-basi, dan saling melempar senyum. Ia percaya bahwa hal itu akan membuat hidupnya menjadi sedikit lebih bermakna.

Sekarang atau tidak sama sekali.

Dengan tergopoh-gopoh, Ryan menembus kerumunan penumpang di dalam gerbong, kemudian melompat ke pintu keluar kereta sesaat sebelum pintu itu menutup otomatis. Ia hampir membuat kaki kirinya terkilir ketika mendarat di lantai peron, tapi ia segera berdiri tegap dan menahan rasa sakit itu, seolah semua baik-baik saja.

Ia merapikan kemeja kerjanya dan menarik napas dalam-dalam. Dengan langkah pelan, ia berjalan di peron stasiun. Jantungnya berdebar kencang. Sebisa mungkin, ia ingin sikapnya terlihat natural. Ia harus terlihat seperti seorang penumpang biasa yang kebetulan berpapasan dengan teman-teman lamanya. Ya, kebetulan. Hanya kebetulan.

Ryan melirik ke arah antrean penumpang. Di antara kerumunan orang, tampak Kina dan Andrea berdiri sambil menunggu kereta tiba. Andrea sedang sibuk menatap layar ponselnya, sementara Kina sedang asyik mengulum permen lolipop. Sesekali, kedua perempuan itu berbincang tanpa saling menatap satu sama lain.

Ryan pun ingin memiliki persahabatan seperti itu—sahabat yang tak membuatnya merasa bersalah ketika saling diam karena tak punya bahan pembicaraan atau ketika mengobrol tanpa saling bertatapan.

PelukWhere stories live. Discover now