Chapter 1 : Aurora's Necklace

185 10 2
                                    

Disaat malaikat lain sedang sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Disaat Bella—sahabatku, sedang bersenang-senang dengan sayap berpendar biru gelap yang baru saja ia miliki semenjak penaikan jabatan malaikat tadi malam. Disinilah aku, di tempat penahanan malaikat yang sangat tidak layak untuk dihuni makhluk apapun, termasuk malaikat seperti aku.

Ugh...
Biar ku jelaskan padamu. Tidak ada apapun disini, hanya sebuah ruangan yang ditutupi pintu, tempatnya sangat kotor, dindingnya tidak terawat, baunya sangat menyengat. Bahkan tempat ini tidak layak untuk dikatakan tempat penahanan atau penjara atau apalah itu, ini seperti tempat pembuangan sampah.

Dewi Aurora sungguh kejam padaku. Ia menghukumku hanya karena kesalahan yang menurutku tidak terlalu serius. Aku hanya memasuki ruangannya tanpa sepengetahuannya.

Apa?

Aku hanya ingin melihat kalung yang ia gunakan di malam penaikan jabatan malaikat seluruh akhirat semalam.
Kalungnya begitu cantik. Kalau kau lihat kau juga pasti akan tertarik seperti aku dan Bella.
Hanya saja, ia memergokiku saat aku mencoba mengambilnya di ruangannya, dan aku belum sempat menjelaskan apapun padanya. Ia terlihat sangat marah. Jujur saja aku sangat takut karena ini adalah pertama kalinya ia marah padaku. Ia seorang Dewi tetapi akan tampak seperti iblis kalau sedang marah.

*Malam Kenaikan Jabatan*

"Rebecca!!! Aku naik pangkat, yeay! Akhirnya aku menjadi seorang malaikat penyelamat sepertimu." seru Bella setelah mendapatkan pendar biru gelap di sayapnya, tidak seperti milikku yang berwarna ungu. Berbeda? Tentu saja, pendar ditentukan sesuai warna kesukaan kami. Kecuali kau adalah seorang Dewi, maka pendarmu akan berubah menjadi warna pelangi.

Bella memanggilku sangat kencang, suaranya sangat melengking hingga memekakkan telinga.

"Bisakah kau pelankan suaramu, Bella mungil? Eh, tapi selamat ya, Bella sayangku. Akhirnya kita akan lebih sering bersama, hihi." aku memeluk Bella dengan erat.

Meskipun Bella termasuk teman baruku—lebih tepatnya temanku sejak setahun yang lalu, tepat hari kematiannya saat ia pertama kali menjadi malaikat. Aku menyukainya, ia lucu, apalagi saat bersikap manja padaku. Kita seumuran tapi karna tubuhnya yang mungil, aku menganggapnya seperti adik.

"Becca, lihat itu!" Bella setengah berteriak kepadaku dan menunjuk ke arah Dewi Aurora.

"Woaah, indah sekali." mataku langsung berbinar melihat kalung yang dipakai Dewi Aurora, kalung silver dengan kristal ungu di tengahnya, tentu saja—warna kesukaanku.

"Meskipun aku menyukai warna biru, setelah melihat kalung Dewi Aurora, sepertinya ungu bisa dipertimbangkan." ujar Bella sambil melirikku yang langsung kubalas tatapan tajam.

"Aku ingin itu!!!" Teriakku tanpa memikirkan apa yang kukatakan. Seketika aku langsung menatap Bella seakan berkata 'bantu aku mengambilnya' lalu tersenyum penuh harap.

"Yang benar saja, Rebecca. Dewi Aurora akan mengamuk dan mematahkan sayapmu jika kau melakukannya!"

"Tidak usah banyak bicara. Dia tidak akan marah, dia 'kan seorang Dewi." jawabku santai lalu berjalan keluar ruangan yang kemudian diikuti oleh Bella dengan celotehan khasnya.

"Mungkin kau benar. Mungkin juga tidak. Bisa saja Dewi Aurora marah, bagaimanapun juga kau berniat melakukan sesuatu yang tidak baik, bahkan mengerikan. Rebecca, Apa kau pernah melihat seorang malaikat marah?" Tanyanya dengan wajah serius.

"Tentu saja. Aku sendiri adalah seorang malaikat, dan aku akan marah apabila ada malaikat lain yang merebut tugasku, misalnya." Karena menurutku, tugas itu berkah. Semakin banyak tugas yang kuselesaikan, semakin cerah pendarku, semakin meningkat jabatanku, semakin dekat pula kemungkinanku menjadi seorang Dewi. Asal tahu saja, kalau kau ingin menjadi seorang Dewi, kau harus naik jabatan 99 kali, itu artinya kau harus menyelesaikan 99 tugas, dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama.

"Jadi, apa kau yakin Dewi Aurora tidak akan marah?" Tanyanya sekali lagi.

"Sudahlah, kau tidak usah pikirkan itu. Sekarang kita pulang. Aku sudah tidak sabar ingin merebut..eh, maksudku mengambil kalung itu."  ucapku sambil tertawa kecil.

Aku pun terbang menuju rumahku dan sebelum aku sampai di rumahku, aku bertabrakan dengan seorang malaikat. Iya, aku bertabrakan dengan seorang malaikat saat aku terbang, kedengarannya lucu, tapi ini benar terjadi.

"Maaf." ucapnya dengan sopan.

"Tidak masalah. Kau bukannya malaikat yang mendapatkan pendar hijau cerah tadi, 'kan? Wah, sebentar lagi kau akan menjadi Dewa." Hebat sekali dia, ia seumuran denganku dan Bella tetapi sebentar lagi akan menjadi Dewa, pasti ia sangat hebat dalam melakukan tugasnya.

"Ah, jangan berlebihan, kau membuatku malu." ujarnya. Kulihat pipinya sudah merah merona.

"Aku Rebecca, malaikat penyelamat, kau siapa?" tanyaku lalu menyodorkan tanganku untuk bersalaman.

"Aku Brian, malaikat pencabut nyawa" jawabnya sambil membalas menjabat tanganku.

"Benarkah? sepertinya tugasmu sulit" Aku serius. Dia juga serius. Malaikat pencabut nyawa, seperti yang sering kalian dengar di khotbah keagaaman.

"Tidak juga. Aku hanya menjalankan tugasku sesuai yang diperintahkan Dewan dan mematuhi aturan-aturan mereka. Hanya saja, aku selalu merasa kasihan terhadap manusia yang ku cabut nyawanya dan orang-orang yang ia tinggalkan, kadang aku merasa tidak tega, tetapi inilah tugasku."
Mendengarkan penjelasannya, aku juga merasa kasihan, sama seperti ketika aku menghembuskan nafas terakhirku di rumah sakit karena penyakit tumor otak yang kualami. Aku kasihan melihat orang tua dan keluargaku, aku tidak ingin meninggalkan mereka secepat ini, karena aku sangat menyayangi mereka, tetapi inilah takdirku, aku harus meninggalkan mereka.

Aku menepuk pundak Brian dan berkata, "Aku turut prihatin mengenai hal itu, Brian. Tapi, sebentar lagi kau 'kan menjadi Dewa. Bukankah itu hal yang sudah biasa?"

"Iya, sih. Hanya saja aku kadang masih merasa kasihan."

"Sudahlah. Oh ya, kau mau kemana?" Tanyaku setelah sadar aku ingin cepat-cepat pulang ke rumah dan bersiap menyusun rencana untuk aksiku besok.

"Aku? Ingin pulang. Aku pergi dulu, Rebecca. Rumahku diujung jalan ini jika kau ingin berkunjung." jelasnya sambil berpamitan yang langsung ku jawab, "Baiklah. Di ujung jalan ini. See you, Brian."

Entah mengapa aku merasa senang bertemu dengannya, ia kelihatannya baik.

Rebecca: Life After DeathTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon