Chapter 8 : Green - Flo

60 8 2
                                    

"Kita harus berpencar."

Pangeran Han dari arah luar gua langsung memecahkan keheningan kami bertiga. Kami masih saling menatap bingung.

"Okay. Aku dan Alexandra akan mencari ke arah barat dan selatan, sementara kalian berdua, carilah mereka ke arah timur dan utara." jelasku sambil memandangi mereka satu persatu. Kulihat Bella mengernyitkan alisnya.

"Maksudmu aku akan pergi bersamanya?"

Ku tahu Bella akan menanyakan itu, rencanaku ini bukan tidak ada maksud. Tentu saja, aku ingin mereka lebih dekat, syukur-syukur kalau mereka menyukai satu sama lain.

"Tidak masalah kan?" kata Alexandra lalu berjalan mendekatiku sambil tersenyum. Kurasa Alexandra mengerti maksudku.

"Terserah kalian saja." jawab Bella lalu memalingkan wajahnya. Ia berjalan keluar gua.

"Aku tahu dia tidak akan menolak." bisikku kepada Alexandra.

"Aku mendengarmu, Rebecca." kata Bella masih tetap berjalan.

Melihat Bella yang sudah berada diluar gua, Alexandra dan aku masih terkikik karena sikap Bella yang—tidak usah kau tanyakan lagi, semua orang disini tahu ia sangat kekanakan.

Pangeran Han yang sedari tadi hanya diam akhirnya angkat bicara.

"Teman-teman. Kita harus cepat karena aku tahu kalian tidak ingin berlama-lama terluntang-lantung disini." kata Pangeran Han dengan suara agak lantang. Kutahu ia ingin Bella juga mendengarnya dari luar sana.

Setelah merayu Bella agar mau mencari malaikat-malaikat yang lain bersama Pangeran Han dengan sekuat tenagaku (padahal hanya menjanjikan liburan bersama—itupun kalau aku tidak lupa). Akhirnya aku dan Alexandra menuju arah selatan dan barat, sedangkan Bella dan Pangeran Han menuju utara dan timur. Kami berempat lalu meninggalkan hutan dan berpencar ke seluruh penjuru kerajaan Dinasti Ming dan berjanji akan kembali bertemu di tempat ini pada saat menjelang malam nanti.

Selama diperjalanan, aku dan Alexandra banyak bercerita tentang kehidupan kami di dunia. Dari pembicaraan ini aku menjadi tahu sedikit banyak mengenai Alexandra.

Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, meninggal dunia pada tahun 2004 saat usianya 17 tahun karena bunuh diri akibat stres yang ia alami semasa hidupnya.

Mengenai keluarganya, ayah dan ibunya meninggal saat ia masih kecil, kedua kakaknya tidak pernah memperhatikannya sehingga ia harus dirawat oleh salah satu kerabat dari keluarga ayahnya. Tetapi, tinggal bersama paman dan bibinya bukan berarti kehidupannya menjadi lebih baik, dia justru harus menerima perlakuan kejam dari bibinya—seperti anak tiri, diperlakukan kasar dan bahkan tidak diberi makan apabila tidak menuruti perintah, dan ia mengakui ia pernah dijual oleh pamannya kepada pria hidung belang. Karena tak tahan dengan sikap mereka akhirnya ia pergi meninggalkan paman dan bibinya untuk tinggal sendiri sebagai tunawisma, selama dua tahun ia hidup menjadi pemulung dan tinggal di dalam gubuk mengerikan. Sampai akhirnya ia putus asa dan bunuh diri.

"Aku masih tidak mengerti mengapa hidupku begitu menyedihkan." kulihat wajah Alexandra menyiratkan kesedihan, membuatku merasa iba. Kurangkul bahunya untuk mencoba menenangkannya.

"Setidaknya sekarang kau tidak perlu merasakan itu semua lagi."

Alexandra tersenyum. Meskipun ia lebih tua dariku, tapi aku merasa harus melindunginya, agar tak lagi merasakan kesedihan seperti saat ia masih di alam fana.

"Jadi, kau belum pernah bertemu ibumu?" tanya Alexandra mencoba mengalihkan pembicaraan. Kutahu ia tidak ingin terus-terus mengingat kehidupan lamanya yang menyedihkan.

Rebecca: Life After DeathWhere stories live. Discover now