Bagian 1 : Ayah dan Laki-laki yang Super Narsis

289 26 17
                                    

Matahari masih setengah meninggi saat Rani memanasi motor yang berada di garasi rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari masih setengah meninggi saat Rani memanasi motor yang berada di garasi rumah. Gadis dengan baju setelan rok jeans dan kemeja warna putih berbahan sifon itu berdiri memegang stang sepeda motor merek bith keluaran 2018 warna hitam kesayangannya. Asap halus beradu dengan desir angin beraroma hujan dini hari tadi, berbayang mengepul seperti membelah udara kosong. Rani menguap dan mengeluarkan asap udara napas dari mulutnya, karbondioksida yang hangat bertumbuk dengan drastis udara dingin. Suara gemericik kolam ikan di halaman, ayam milik tetangga terdengar berkokok sesekali, dan angin berembus pelan menyatu indah. Seakan menciptakan harmoni berjudul 'Dingin Pagi Hari'.

Tubuh Rani bergidik pelan, merinding karena dingin.

Iya, dingin seperti sikapnya. Nggak, ini bercanda, kok, jangan terlalu serius.

Rani, gadis itu memiliki perawakan mungil yang tidak terlalu tinggi, wajahnya oval dan poni tengah renggang berjarak menghiasi dahinya. Kulitnya berwarna ivori, putih semu gading yang terkadang berubah sedikit merona memerah saat terkena sinar matahari terlalu lama. Rani menyelipkan beberapa helai rambutnya yang berjatuhan di pipinya ke belakang telinga. Sejak pagi-pagi sekali, ia sudah memasak nasi dan bersiap untuk berangkat kuliah, tentu saja termasuk mandi, menata rambut tak lupa beserta poninya dengan gelungan, dan sunscreen dua ruas jari.

Srak-srak-srak

Rani menoleh ke arah lelaki tua yang sedang mengelap mobil kijang tua terawat kesayangannya dengan telaten dan bersemangat, walau uban menyelip di banyak bagian rambutnya. Wajahnya pun dihiasi keriput di sana-sini. Siapa lagi kalau bukan ayahnya Rani?

"Gosok-gosok terus, sampe kinclong," celetuk Rani yang membuat ayahnya menoleh ke sumber suara.

"Panasin aja terus sepedanya sampai nanti sepedanya terbakar cemburu," jawab ayahnya yang dihadiahi tatapan tidak percaya Rani. "Itu sepedanya mbok ya dicuci biar bersih gitu, loh. Masak sepedanya anak perawan kotor kayak habis dibawa trail-trailan," lanjutnya saat melihat kondisi sepeda anaknya itu.

Rani meringis mendengar ucapan ayahnya yang tepat sasaran. "Ayah kan tahu, sekarang lagi musim hujan, nanti kan percuma kalau udah dicuci terus kehujanan lagi sepedanya," kilah Rani.

"Berarti percuma juga dong mandi? Kan habis mandi terus aktivitas seharian buat badan kita kotor lagi," ucap Ayahnya yang kembali melanjutkan aktivitasnya sebelumnya.

"Nggak gitu juga kali, Yah."

"Nah, kan nggak gitu juga, ya, Rani."

"Nggih, Yah," jawab Rani dengan nada malas-malasan. "Oiya, Ayah berangkat ngajar jam berapa?"

"Nanti, jam enam lebih seperempat berangkat."

"Oke, Yah. Rani tadi udah siapin bekal, kok. Masakannya Ayah juga udah Rani taruh di atas meja, sepaket sama tudung sajinya. Ayah jangan lupa sarapan dulu nanti sebelum berangkat."

Semara LokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang