Bagian 7 : Bertemu Ayah Rani

45 7 0
                                    

Saat Rani dan Ilham sedang asyiknya tertawa, mereka dikagetkan oleh Wiryo yang baru saja keluar dari kamar dengan muka bantalnya.

"Temennya Rani, ya?" tanyanya. Dua pasang mata yang ada di dapur itu refleks menoleh ke sumber suara.

"Ayah udah bangun?" tanya Rani dan memperkenalkan Ilham padanya. "Ini temen yang Rani bilang, Yah. Namanya Ilham Adhitama, biasa dipanggil Ilham. Kak Ilham, ini ayahku namanya Mardi Suwiryo, biasa dipanggil Wiryo."

Ilham mengangguk kemudian salim pada Wiryo. "Ilham, Om. Salam kenal," ucap Ilham.

"Panggil Ayah aja, Ham," ucap Wiryo membenarkan.

"Eh?"

Ini yang sering aku baca di novel-novel kan? Yang disuruh panggil Ayah artinya dapat restu? batin Ilham.

"Siap, Yah!" ucapnya dengan mantap membuat Wiryo mangut-mangut sambil menepuk pundak Ilham dan tersenyum seolah memastikan sesuatu.

"Ayah ngapain, sih? Udah ah, yuk duduk, ayo makan dulu," timpal Rani menghentikan suasana aneh di antara Wiryo dan Rani.

"Ayo Ilham duduk dulu, isi tenaga dulu sebelum bikin kue," ucapnya.

"Baik, Yah." Ilham menurut dan langsung duduk di samping Wiryo, sedangkan Rani berada di kursi seberang meja.

Sambil makan, sesekali Wiryo bertanya tentang Ilham. Suasana hangat dan baik-baik saja sampai Wiryo menyinggung tentang melon yang ada di kulkas.

"Oh iya, Ran, nanti bikin es melon serut, ya. Pasti waktu bebikin kue selesainya haus, Ayah udah serutin melonnya tadi pagi."

Ilham dan Rani saling berpandangan.

"Melonnya tadi nggak sengaja Ilham masak, Yah," jawab Ilham jujur dan sedikit malu.

"Oh? Masakan jenis baru, ya? Sini coba aku rasain gimana rasanya." Wiryo bangkit dan berjalan menuju tempat melon tumis berada.

Rani menendang pelan tulang kering Ilham dan berbicara dengan isyarat bibirnya. "Kenapa bilang?"

Ilham menggedikkan kedua bahunya. "Emang kenapa?"

Rani mengembuskan napasnya dan berkata, "Bukan masakan jenis baru, Rani salah kira itu labu siam. Jadi kukasih garem tadi pagi," jelas Rani.

Wiryo tergelak mendengar penjelasan Rani. "Kok bisa sih kamu ini, Ran? Ayah jadi penasaran gimana rasanya," ucapnya kemudian melahap satu sendok. 

Rani dan Ilham menatap dengan penasaran gimana reaksi Wiryo. Muka Wiryo terlihat baik-baik saja seperti tidak ada yang salah dengan melon tumis itu.

Wiryo tersenyum dan berkata, "Ini enak kok--huek!" Ekspresi wajah Wiryo berubah seperti hendak muntah.

"Ayah!" kaget Rani dan Ilham langsung mengambil air untuk laki-laki yang sedang mengelus dadanya itu.

"Lidah emang gak bisa bohong, sih, kenapa masih dipaksain elah, Yah...," gerutu Rani.

"Kan niatnya biar menghargai gitu."

"Nggak ada, nggak usah, udah dibuang aja itu," larang Rani.

"Kalau melonnya dibilas dicuci dulu?"

"Ayah...," geram Rani yang dikekehi Wiryo. 

"Iya-iya, bercanda doang. Sensi amat sih anak ayah ini."

"Ayah yang mulai."

Ilham melihat dua orang di depannya sedang asyik mengobrol merasa sungkan untuk nimbrung, ia hanya berdiri sambil membawa gelas berisi air dengan pandangan ke kanan dan ke kiri sesuai arah suara yang bicara. Seakan frame kamera hanya menyorot ke arah dua orang tersebut.

"Setelah makan mau langsung bikin kuenya?" tanya Wiryo yang diangguki Rani. 

"Boleh. Gimana, Kak Ilham? Eh? Kak Ilham ngapain berdiri diem gitu?"

Wiryo pun ikut menoleh ke arah Ilham. "Oh, ngambilin Ayah minum, ya? Terima kasih calon mantu. Baik, deh," ucap Wiryo sambil mengambil gelas dari tangan Ilham.

Rani yang mendengar ucapan Wiryo bergidik sendiri. Merasa cringe dengan ucapan Wiryo. "Apasih, Yah, udah kayak scene legend di novel-novel aja! Iya, nggak, Kak?" tanyanya sambil menoleh ke arah Ilham.

"Lah?! Kak Ilham ngapain blushing?!!!!" teriak Rani kaget.

Ilham menggaruk kepalanya. "Hehe."

***

Setelah makan, sesuai ajakan Wiryo, mereka langsung membuat kue bersama. Rani yang sedang mengupas dan mencuci ubi ungu sebelum dikukus menoleh ke arah meja, ia melihat Wiryo dan Ilham sedang menimbang bahan bersama sambil bercerita, entah apa yang mereka bicarakan, tapi Rani melihat mereka terlihat sangat akrab.

"Entah apa yang mereka bicarain, dua orang random bertemu pasti obrolannya lancar dan mulus macam jalan tol," gumam Rani sambil menaruh ubi yang sudah bersih ke dalam kukusan.  Rani mengabaikan mereka dan memainkan ponselnya.

"Wahahaha!" Suara tawa bariton menggelegar di dapur, suara Wiryo dan Ilham bersamaan.

"Bita," ucap Ilham.

Rani menoleh. "Ya?"

"Tuh kan," heboh Wiryo.

Rani mengernyitkan dahinya. "Apa sih? Lagian sejak kapan Kak Ilham pakai kucir rambut model gitu?" tanya Rani saat melihat rambut Ilham dikucir satu dan wajahnya penuh coretan tepung.

 "Apa sih? Lagian sejak kapan Kak Ilham pakai kucir rambut model gitu?" tanya Rani saat melihat rambut Ilham dikucir satu dan wajahnya penuh coretan tepung

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Mahakarya Ayah, nih. Bagus, kan?" Wiryo terlihat bangga pada Ilham.

"Kenapa Ayah kelihatan bangga gitu, sih?" sinis Rani.

"Ternyata nama lainmu Bita, ya?" timbrung Ilham.

"Ya kan namaku Rania Tsabita, bisa dipanggil Rani, Nia, Bita."

"Tapi nggak biasa dipanggil sayang, ea....," sindir Ilham kemudian Wiryo mengangkat tangannya ke atas untuk tos bersama Ilham.

"Apasih, sesama jomlo dilarang menghina!" gerutu Rani. "Udah ah, ini  ubinya udah mateng terus diapain, Yah?"

"Masukin ke blender, campur sama minyak dan santan," jawab Wiryo.

"Oke."

"Ilham kocok telur sama gula stevianya ya, SP-nya juga masukin," perintah Wiryo yang diangguki Ilham.

Setelahnya, mereka kembali memasak kue sambil berceletuk dan bercanda tawa. Semilir angin masuk melalui pintu besar yang berbatasan dengan garasi dan taman. Hari mulai beranjak sore, cahaya menerobos masuk ke dapur. 

Ilham tersenyum penuh makna melihat ke arah Rani dan Wiryo. Senang karena merasa diterima dengan baik. Hari yang indah.

 Hari yang indah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Semara LokaWhere stories live. Discover now